Sejujurnya Alia tidak melihat keharusan dirinya yang menemui investor dari Malaysia di ruang rapat hotel ini. Akan tetapi, perintah bos adalah mutlak dan lagipula meski kesal karena waktu cutinya yang dipotong seenaknya begini, setidaknya kompensasinya membuat Alia menyabarkan dirinya.
Digaji per jam karena waktu cutinya dipotong pendek sampai hari waktunya kembali bekerja sih, mana bisa Alia tolak. Apalagi cita-cita menjadi perempuan pengangguran yang tampak menjadi beban keluarga, padahal punya kosan sedikit lagi bisa tercapai. Hutang Ayahnya dengan bank sudah lunas bulan ini—alasan terkuat Alia akhirnya mengambil cuti setelah tiga tahun bekerja tanpa cuti—dan uangnya sekarang sebenarnya cukup untuk menjadikan impian itu nyata.
Akan tetapi, Alia tetap butuh uang untuk biaya hidup selama menganggur dan menjadi beban keluarga. Maka dari itu, Alia tetap harus bekerja keras untuk menyelesaikan proyek terbaru yang diberikan secara sepihak oleh bosnya.
“Asli ya, Pak Bara emang anjing banget!” maki Sapta yang hanya bisa Alia beri senyuman sebagai reaksi persetujuan. “Baru dua malam tidur di kampung Nini gue, udah disuruh balik kerja aja.”
“Resign aja udah,” sahut Delon yang membuat Sapta berdecak, “lagian udah dibilangin kalau emang mau cuti tenang tuh, gak usah nyalain HP.”
Sapta melengos, lalu berucap, “Lah lo sendiri napa nyalain HP? Tidak mengamalkan ilmu yang diketahui.”
“Asli ye, niat mau jadi anak bangkong, malah si ama[1] malah mau jodohin sama amoy[2] antah berantah, la.” Delon yang malah jadi curhat colongan yang membuat Alia dan Septa tertawa. Apalagi ekspresi Septa yang terlihat puas banget yang membuat Delon berdecak. “Nih orang MY mane la. Katanya kita jangan telat, lah merekanya yang molor sejam!”
Sapta yang akhirnya mampu mengendalikan tawanya, berucap, “Udah gak usah alihkan pembicaraan. Jadi, gimana amoy yang mau dikenalin ama lo?”
Delon berdecak dan Sapta kembali tertawa. Alia yang kebetulan duduk di sebelah Delon, menepuk-nepuk pundak lelaki itu, kemudian berucap, “Sabar-sabarin aja sama kelakuan Sapta ya, Ko.”
“Kurang sabar ape la aku tu?” tanya Delon yang membuat Alia tersenyum. “Balik kerja padahal baru cuti dua hari yang lalu, eh malah setim dengan Saptanjing ini.”
Septa yang mendengar namanya diplesetin seperti itu tentu kesal dan berseru, “Si bangsat Delonjing!”
Alia mendelik ke arah keduanya sambil menatap ke arah pintu. Meski investor mereka orang Malaysia keturunan Cina, tapi tetap saja kalau kedengaran dua orang saling memanggil dengan sayang—makian itu Alia tahu adalah bentuk sayang meski kedua lelaki itu akan denial jika mendengarnya—dan tidak ada yang menjamin jika orang tersebut tidak mengerti Bahasa Indonesia.
Akhirnya setelah refill teh hangat untuk ketiga kalinya, investor yang ditunggu oleh mereka bertiga datang. Akan tetapi, tidak seperti ekspetasi mereka yang akan datang dengan banyak orang—makanya bos mereka sampai sewa ruang meeting berkapasitas dua puluh orang—ternyata yang datang hanyalah dua orang.
Alia berdiri dan berjalan menghampiri kedua orang tersebut. Berjabat tangan dengan lelaki paruh baya keturunan Malaysia Cina tersebut, Evan Shi lalu berkata, “Good morning, Mr. Shi and....”
Menyadari Alia yang menggantung perkataannya karena lelaki tua yang dibawanya tidak kunjung menyambut uluran tangan perempuan itu, buru-buru Evan menjelaskan, “Oh, he’s my spiritual guru. Guru Zhao, she is Alia. One of people who will help me to build resort.”
Alia tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Akan tetapi, angin dingin tiba-tiba lewat begitu saja di tangan yang diulurkan sehingga membuat bulu kunduknya berdiri. Alia tentu pura-pura tidak tahu dan tersenyum ke arah Guru Spiritual Zhao. Meski kepala Alia tidak memungkiri sedang berpikir bagaimana seseorang yang terlihat pintar seperti Evan ternyata masih mempercayai dukun. Meski namanya diperindah dengan sebutan guru spiritual, tapi dari sekali lihat pun, Alia tahu jika orang itu adalah dukun.
“You don’t need to offer your hand to me.” Ucapan Guru Spiritual Zhao memabut Evan segera menoleh ke arah lelaki itu, sementata Alia tetap tersenyum dan perlahan menurunkan tangannya. Bohong kalau Alia tidak merasa kesal mendengar itu.