“Gila ya klienmu itu?” tanya Wanda yang tidak dijawab oleh Alia karena dia sedang fokus mencatat pengeluarannya dari struk belanja yang ada di atas meja restoran tempat mereka bertemu saat ini. “Bawa dukun ke meeting aja udah aneh, terus maksa kamu buat gak pake baju warna merah sama hitam?”
“Kalo itu masih bisa aku tolerir sih, Wan. Gelang dari Nini aku disuruh buang.”
Wanda yang hendak meminum airnya, sampai menghentikan gerakannya. Berpikir untuk melanjutkan minumnya atau mengamuk, tapi melihat Alia yang sudah tidak menggunakan gelang giok—yang dari dulu diledek desainnya aneh itu—membuatnya mendelik, tidak terima karena sahabatnya menuruti perintah klien dengan guru spiritualnya itu.
Oke, sebenarnya lebih bagus disebut dukun daripada guru spiritual. Bukan tanpa alasan, karena Alia memperlihatkan fotonya bersama klien dan orang yang disebut-sebuat sebagai guru spiritual Zhao. Apalagi mendengar semua cerita Alia saat rapat, Wanda tidak merasa ini adalah keputusan baik untuk membiarkan sahabatnya meneruskan pekerjaannya ini.
“Al, kamu bisa berhenti.” Wanda mencoba untuk menghentikan Alia untuk pergi, meski tahu ini tidak akan berguna. “Aku tahu kamu takut kalau uangmu kurang, tapi percayalah kalau uangmu saat ini lebih dari cukup untuk hidupmu.”
Alia yang sudah selesai mencatat semua pengeluarannya di aplikasi ponselnya, menatap Wanda dan tersenyum. Meski tahu maksud Wanda itu baik, tapi Alia sejak dahulu tidak senang mendengar seseorang berujar tahu rasanya menjadi dirinya. Itu kebohongan yang digunakan untuk menghibur orang lain, padahal kenyataanya tidak ada yang benar-benar tahu rasanya menjadi seseorang meski kisah hidupnya terlihat mirip.
“Wanda, makasih udah khawatikan aku. Tapi aku tetap pergi.” Alia tetap tersenyum meski melihat Wanda yang terlihat gusar. “Juga kamu belum pernah merasakan benar-benar tidak punya uang, jadi kamu tidak bisa bilang tahu rasanya gimana, Wan.”
“Kayaknya ini bukan saat yang tepat untuk menggugat apakah yang aku ucapkan itu benar menurut egomu gak sih?” tanya Wanda yang membuat Alia menghela napas. “Aku khawatir kamu gak balik dalam keadaan hidup, Al. Kamu sendiri yang bilang Ibu dan Adik laki-lakimu cuma punya kamu.”
“Kamu kayaknya kebanyakan dengerin podcast horor deh makanya paranoid.”
“Al, kamu lebih dari tahu aku orang yang gak suka nonton horor!” Sahut Wanda yang semakin gusar, tapi Alia justru malah tertawa. “Alia, can you be a serious right now?”
Alia berhenti tertawa dan menatap Wanda yang jelas terlihat gusar. Kemudian ekspresi Wanda mengernyit saat Alia mengacungkan jari kelingking ke arahnya dan berucap, “I’ll be okay, Wanda. I promise.”
Wanda sebenarnya tidak tenang untuk membiarkan Alia pergi. Akan tetapi, melihat Alia yang tetap tersenyum kepadanya—padahal tahu itu adalah hal yang paling malas dilakukan oleh sahabatnya—dan tetap mengulurkan jari kelingking ke arah Wanda yang membuat akhirnya dia luluh.
Menyambut kelingking Alia dengan kelingking Wanda, kemudian Wanda berucap, “Janji itu hutang ya, Alia. Kamu harus balik dalam keadaan hidup.”
“Iya, aku janji, Wandaku sheyenk.”
Wanda mendelik mendengar ucapan alay itu, sementara Alia tertawa puas. Pada akhirnya, Wanda hanya menghela napas panjang dan kelingking mereka tautannya terlepas saat makanan pesanan mereka sampai. Alia dan dengan kecintaannya pada nasi goreng di mana pun mereka makan. Hal yang membuat Wanda merasa harusnya mereka bukan makan di restoran, tapi warung pinggir jalan jika itu yang dipilih oleh sahabatnya itu. Akan tetapi, kali ini Wanda tidak memprotes pesanan Alia karena tahu ini adalah hari terakhir mereka bertemu. Besok Alia pasti sibuk untuk mempersiapkan barang-barang yang dibawa untuk survey lapangan dan saat proyek berjalan, sahabatnya itu tidak akan pulang jika tidak mengajukan cuti atau ada hal gawat yang terjadi pada keluarganya.
***