Perjalanan menuju Tarakan dari Balikpapan itu memakan waktu 65 menit. Saat sampai di Bandar Udara Juwata Tarakan, terasa kelabu karena hujan tengah turun. Mereka menjadi penumpang terakhir yang turun dari pesawat karena Wanda tidak kunjung berdiri. Delon tidak mempermasalahkan karena memang biasanya begitu jika sedang dalam perjalanan. Beda dengan Alia yang menggerutu karena tidak segera pergi dari pesawat.
“Harusnya kita bisa lebih cepat turun, tahu.” Lagi, Alia menggerutu saat sedang menunggu bagasi kopernya dan Wanda. “Asli laper banget ini, Wanda. Mana tadi kita dari Balikpapan gak ada makan sama sekali.”
“Sabar, tunggu koper dulu baru makan.”
“Pengen milo anget, Wan.”
“Beli ntar di depan pintu kedatangan bisa kok.”
Sejujurnya, Delon tidak menyangka akan melihat sisi Alia yang seperti ini. Apalagi melihat Alia yang terus mendumel kepada Wanda, sementara perempuan itu tampaknya tidak masalah untuk terus merespon. Seolah-olah yang Delon hadapi sekarang adalah orang lain yang memiliki wajah persis Alia. Bukan Alia yang dikenal Delon selama tiga tahun ini yang tegas, kadang-kadang akan memutuskan untuk melawan bos mereka jika perkataannya tidak pantas untuk diucapkan dan terlihat amat sangat anti dengan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh perempuan seumurannya.
“Ko Delon, ayo.” Panggilan Alian membuat Delon mengerjapkan matanya. Menyadari tidak melihat Alia dan Wanda di depannya yang membuat lelaki itu mencari-cari keduanya. “Ko, I’m here!”
Delon akhirnya melihat Alia dan Wanda sudah membawa koper masing-masing. Membuatnya menghela napas, karena dua perempua ini bersikap sama dalam satu hal. Sama-sama tidak mau membiarkan laki-laki untuk mengangkat koper mereka karena merasa bisa melakukannya sendiri.
Memang benar kalau perempuan berada di lingkungan yang didominasi oleh laki-laki itu diharapkan untuk bisa melakukan apa pun sendiri. Akan tetapi, Delon tetap tidak suka jika perempuan mengangkat benda-benda berat sendirian saat dirinya bisa membantu. Akan tetapi, kali ini Delon tidak bisa berkeras melakukan hal itu kepada Alia seperti biasanya karena ada Wanda.
Seharusnya Delon tidak begitu peduli dengan siapa Alia berteman, tapi entah kenapa sejak pertama kali bertemu Wanda di bandara saat masih di Balikpapan itu tidak memberikan impresi baik untuknya. Akan tetapi, Delon berusaha mengabaika perasaan itu karena percaya Alia tidak berteman dengan seseorang yang salah dan mungkin hanya dirinya yang sensitif.
***
“Ko, seriusan gak sih bos itu ngutus orang buat jemputin kita?” tanya Alia yang mrmbuat Delon menghela napas.
Bukan karena isi pertanyaannya, akan tetapi ini adalah kali kelima belas Alia bertanya dalam rentang waktu 1 jam ini. Sebenarnya wajar Alia bertanya karena mereka sudah 1 jam di area bandara. Alia bahkan sudah makan 5 bungkus roti dengan berperisa kopi yang dijual di depan pintu kedatangan. Delon melirik Wanda yang sudah membuka laptop dan menggunakan earphone wireless. Seolah-olah sudah tahu jika Alia akan bersikap seperti itu sehingga memilih untuk melakukan urusannya sendiri.
Menghela napas, Delon mencoba untuk menelepon nomor orang yang diberikan oleh bosnya sebagai orang yang akan menjemput mereka. Masih tidak aktif dan Delon benar-benar habis sabarnya. Memutuskan untuk mengirim WA kepada bosnya untuk memberitahukan keberadaannya yang masih di bandara.
“Al, sini.” Panggil Delon yang sengaja membuka kamera depannya. “Foto dulu.”
“Ko, muka kucel begini gak usah difoto dong.”
“Buat laporan ke bos kalau kita masih ada di bandara.”
Alia hanya bereaksi ‘oh’, tapi mendekati Delon untuk selfie bareng. Hanya 1 foto karena Alia sudah kembali ke sisi Wanda dan bertanya tentang yang dituliskan oleh Wanda. Sebenarnya Delon malah lebih heran karena Wanda masih menjawab semua pertanyaan Alia meski menggunakan earphone wireless. Membuatnya curiga jika sebenarnya perempuan itu tidak mendengarkan lagu sama sekali.
Suara dering ponsel Delon membuatnya kembali menatap ponselnya. Menghela napas panjang karena nama bosnya yang terpampang di layar dan akhirnya Delon mengangkat telepon itu.
“Pagi, Pak Bara.” Delon menyapa saat mengangkat telepon tersebut. “Saya rasa Bapak sudah membaca pesan saya sehingga memutuskan untuk menelepon.”
“Kenapa kamu bukannya langsung pergi ke hotel dan terus hubungi Aldi?!?”
“Kalau Bapak lupa, instruksi di WA dengan jelas bilang kami harus menunggu orang yang diutus oleh Bapak di bandara.” Delon bertemu pandang dengan Alia dan Wanda yang tengah menatapnya. “Kami sudah satu jam di sini dan nomor Aldi tidak aktif. Jadi bagaimana instruksi Bapak selanjutnya?”
“Hhh ... si tolol sipit ini.” Makian bosnya itu sudah tidak akan bisa membuat Delon sakit hati, karena dia sudah mendengar hal lebih buruk dari mulut Pak Bara. “Kalian ke hotel! Saya yang bakalan ngurus sisanya karena kalian sebego itu gak bisa dipake otaknya!”
“Baik, Pak. Terima kasih atas instruksinya.”
Delon bahkan tidak peduli jika sambungan teleponnya diputuskan secara sepihak oleh bosnya itu. Alia menatap Delon dengan prihatin dan lelaki itu hanya tersenyum. Sengaja tidak membiarkan Alia yang mengambil inisiatif untuk menghubungi bosnya karena tahu perempuan itu akan mendengarkan ucapan-ucapan sampah yang sebegitu ringannya untuk dilemparkan.