Wanda pikir Alia bercanda saat meneleponnya untuk mengajaknya ke Tarakan. Meski Alia menjelaskan alasannya, meminta untuk bersiap-siap, tapi Wanda tidak berpikir itu benar-benar ajakan serius. Jadi keesokan harinya setelah Isya, tentu Wanda kaget dengan kehadiran Alia di depan rumahnya.
Mana kebiasaan Alia yang tidak memberikan kabar kalau mau datang. Tahu-tahu nanti sudah di depan rumah memanggil nama Wanda untuk minta dibukakan pintu. Padahal sudah bersahabat sejak 6 tahun yang lalu, tapi tetap saja Wanda suka kaget sendiri dengan kelakuan random Alia yang sebenarnya sudah punya polanya.
“Kamu beneran serius ajak aku pergi?” tanya Wanda setelah mempersilahkan Alia masuk dan perempuan itu memilih langsung duduk di atas sofa ruang tamu. “Sumpah, Al. Randommu kali ini kelewatan.”
“Padahal aku udah jelasin loh alesannya kenapa.”
“Ya tapi aku orang luar. Masa aku ikutan ke tempat kerjaanmu gitu aja.”
“Jadi fix kamu gak masalah nih aku kalo pergi berduaan sama cowok?” tanya Alia yang membuat Wanda mendelik. “Tuh, reaksimu begitu. Makanya daripada nanti kamu pas nanya kabarku saat survey terus tahu keadaan yang sebenarnya marah-marah, mendingan ikutan aja.”
“Gimana kalau bos kamu tahu terus marahin kamu?”
“Aman aja selama Ko Delon dan Sapta diem.”
Wanda menatap Alia, ragu dengan ide tersebut. Sementara Alia justru malah merapikan meja ruang tamu Wanda. Mulai menyusun toples sesuai dengan tingginya, mengembalikan kotak tisu ke tempatnya—yang mana selalu Alia taruh di pojokkan meja—dan sekarang justru sedang membongkar ulang tatanan bunga di vas bunga yang memajang bunga-bunga palsu.
Padahal baru juga tiga hari yang lalu Alia membongkar tatanan bunga tersebut. Pasti nanti Alia beralasan dengan Wanda jika ditanyai alasannya melakukan ittu karena merasa rangkaian sebelumnya jelek dan mau membuat yang lebih bagus lagi. Hal yang membuat Alia bertanya-tanya alasan sebenarnya Alia memilih masuk ke teknik tata kota dan bukan desain interior saat berkuliah.
“Aduh serius sekali wajah penulis tersayangku,” celetukan Alian membuat Wanda menatap perempuan itu yang memasang ekspresi jahil, kemudian kembali berucap, “tapi serius, Wanda. Kamu mau ikut, ‘kan?”
“Apa aku punya punya pilihan saat kamu ke rumah udah datang bawa kopermu?”
Alia hanya nyengir dan Wanda menghela napas panjang. Pada akhirnya mereka memesan makan malam di luar karena tidak ada bahan makanan apa pun yang ada di kulkas Wanda. Sebenarnya niatnya Wanda hari ini belanja, tapi deadline pekerjaannya sebagai penulis script yang sering tiba-tiba dimajukan adalah penyebab kulkasnya menjadi kosong.
***
Penerbangan pertama ke Tarakan keesokan harinya adalah jam 05.25 pagi dan itu berarti sudah peraturan tidak tertulis untuk Alia dan Wanda sampai di bandara jam 3 pagi. Kebiasaan mereka yang lebih baik menunggu di bandara daripada terburu-buru pergi ke bandara. Meski sudah sangat jelas mereka benar-benar mengantuk saat check in dan keadaan bandara yang sepi tidaklah membantu keduanya untuk tidak terus menerus menguap.
“Hoam...,” kuap Alia yang entah sudah keberapa kalinya dalam 10 menit terakhir, “kepengen makan anget, tapi yang ada di depan mata malah nasi padang.”
“Ya itu anget juga, Al.”