Seperti kesepakatan pada rapat kemarin, mereka pergi dari hotel setelah sarapan. Akan tetapi, ekspetasi untuk pergi sebelum jam 7 pagi nyatanya tidaklah bisa terlaksana lantaran ketiga temannya Rizki belum kunjung bangun. Rizki berkali-kali meminta maaf kepada Delon dan berusaha untuk menelepon ketiga temannya itu. Hanya saja semakin lama waktu yang berlalu, wajah Rizki semakin memucat.
Seolah-olah jika hidup dan mati Rizki saat ini di tangan ketiga orang tersebut.
Delon menghebuskan napas, kesal dengan apa yang terjadi. Sebenarnya Delon tidak setuju jika mengambil orang luar untuk berada di tim survey karena salah satu alasannya adalah tidak disiplin. Biasanya pihak yang dipekerjakan oleh kantor hanyalah sebagai bentuk pencitraan di depan semua orang karena tetap mempekerjakan orang lokal.
Padahal orang-orang lokal itu tidak lebih dari pesuruh untuk mengangkat barang, menjadi supir dan menunjukkan jalan ke tempat-tempat yang mereka tuju. Bukan benar-benar bekerja dan Delon sudah tahu sejak awal jika pekerjaan ini tidak akan mudah karena bukan menggunakan ritme bekerja yang biasanya, tapi bosnya tidak mau tahu karena mengejar untung. Baik keuntungan untuk kantor mau pun masuk ke kantong pribadinya Pak Bara.
Semua orang tahu jika Pak Bara bersikap melebihi pemilik kantor yang sebenarnya, Pak Dean. Akan tetapi, tidak ada yang berani melaporkan karena melihat sendiri Pak Dean tidak ambil pusing selama semua pekerjaan yang diserahkan ke kantornya selesai tepat waktu dan klien merasa puas.
“Oh, saya baru tahu jam sarapan kalian seperti babi.” Delon tidak berbasa-basi saat jam telah menunjukkan 7.30 dan ketiga teman Rizki baru muncul di lobi hotel. “Ini pertama dan terakhir kalinya kalian saya toleransi seperti ini. Kalau besok kalian masih tetap seperti ini, saya minta ke orang pusat untuk memutuskan kerja sama dengan kantor kalian.”
Rizki mendengarnya menjadi pucat pasi, tapi tidak pada tiga orang itu. Mereka tampak cengegesan, meremehkan Delon. Alia yang sejak kemarin sudah kesal dengan sikap mereka, melengos. Wanda menatap semua orang, kemudian menggelengkan kepalanya.
Setidaknya kali ini mereka pergi dengan 2 mobil. Alia dan Wanda semobil dengan Pak Sungai dan Rizki. Sementara Delon semobil dengan ketiga orang yang menghambat perjalanan mereka untuk sampai ke tempat survey secepatnya. Pak Sungai yang membawa mobil di belakang mobil yang ditumpang Delon, tentu menyadari aura yang tidak menyenangkan melingkupi Rizki dan Aulia.
“Kalian kenapa? Suram banget mukanya.”
“Pagi-pagi dengerin omelan, Pak.” Sahut Wanda yang membuat Alia terkejut, karena tumben sekali Wanda mau memulai percakapan dengan orang lain tanpa keterlibatannya. “Biasa, orang on time ketemu jam karet.”
“Oalah.” Pak Sungai menganggukkan kepala. “Tapi mungkin mereka merasa bisa santai-santai sih, Mbak Winda.”
“Nama saya Wanda, Pak Sungai.” Wanda mengoreksi namanya yang membuat Pak Sungai tertawa. “Tapi tetap aja gak profesional. Namanya kerja ya harus tepat waktu.”
“Tapi mau survey apa lagi sih, Mbak?” tanya Pak Sungai yang membuat Alia mengernyit. “Soalnya baru bangetkan itu survey ke tempat itu. Ko Delon itu juga datang saat survey yang lalu.”
Meski Alia bingung, tapi dirinya berusaha untuk tenang dan menjawab. “Oh, kita mau survey sekeliling dan tanahnya, Pak. Kemarenan hanya foto lokasi doang.”
“Oh saya baru tahu kalau survey perlu sampai tiga kali, Mbak.” Ucapan Pak Sungai itu membuat Alia semakin kebingungan. “Soalnya sejujurnya saya sudah tiga kali ke tempat ini, Mbak. Pertama kali tahun dua ribu enam belas. Kedua tahun dua ribu dua puluh tiga yang lalu.”
Penjelasan Pak Sungai jelas membuat Alia terkejut. Karena Delon tidak pernah bercerita hal itu kepadanya atau kepada Sapta. Tapi ini seperti menjawab pertanyaan kantornya yang memiliki foto lokasi saat belum sepenuhnya deal dengan klien Singapura itu. Bahkan Alia baru menyadari, aneh sekali kantornya yang biasanya hanya sebagai kontraktor yang membangun suatu tempat yang ditunjuk oleh klien, tiba-tiba punya tanah di tempat sejauh Malinau ini.
“Ada sesuatu yang aneh tidak saat dua survey terdahulu?” tanya Wanda yang membuat Pak Sungai yang tadinya tengah bercanda dengan Rizki, tiba-tiba terdiam. Menyadari ada yang aneh, Wanda bertanya, “Pak, kenapa tiba-tiba diam?”
“Eh, gapapa kok, Mbak.”
“Saya tahu bapak sedang bohong.” Ucapan Wanda yang tegas itu membuat Pak Sungai tampak gelisah. “Jadi lebih baik jujur saja pada kami. Gak akan ada yang cepu, tenang aja, Pak.”
Pak Sungai menghela napas panjang, tetapi itu justru membuat Alia tidak mengerti. “Janji ya Mbak gak bakalan ngomongin ini di depan Ko Delon. Saya masih mau cari uang di sini, Mbak.”
“Iya janji.” Wanda menyahut, lalu menyenggol Alia. Memberi kode untuk melakukan hal yang sama. “Iya, ‘kan, Alia?”