Karena sebenarnya yang dibutuhkan hanyalah dokumentasi bahwa tempat yang akan menjadi resort sudah dilakukan survey, kecelakaan kerja yang menimpa Rizki dan ketiga temannya tidak begitu diambil pusing oleh bos mereka. Memang keluarga dari ketiga rekan kerja Rizki itu—yang sejujurnya Alia pada titik ini sedikit merasa bersalah karena tidak mengingat nama mereka—mengancam akan membawa ke jalur hukum akibat kecelakaan kerja sekaligus karena merasa tidak mendapat uang duka dengan nominal yang sesuai.
Alia tidak begitu mengikuti kasus tersebut, tapi Sapta yang bertanya kepada Delon saat mereka kembali ke kantor di Jakarta bilang jika kecelekaan itu tidak akan ditanggung oleh kantor mereka karena terbukti melarikan diri saat jam kerja telah berlangsung. Terima kasih kepada rekaman kamera dari mobil yang memang menjadi syarat untuk bisa disewa oleh kantor mereka. Alia sebenarnya malah lebih terkejut dengan fakta jika Rizki tetap memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya meski telah digigit ular yang bentuknya aneh dan ketiga rekan kerjanya meninggal.
“Alia,” panggil Sapta yang membuat perempuan itu menoleh ke rekan kerjanya. Sapta tampak tidak yakin mengatakan apa yang akan dipikirkannya dan Alia langsung yakin jika ini adalah hal yang tidak bagus. Benar saja, karena Sapta akhirnya bertanya, “Al, lo kenal sama yang namanya Wanda?”
“Hah? Kok tahu-tahunya nama bestie aku?”
“Tadi pas gue ngobrol sama Ko Delon tuh dia ada nyebut nama itu. Kirain nama cewek barunya yekan, tahunya dia bilang mau ajuin jadi salah satu pekerja kontrak di site.” Sapta melihat ekspresi Alia yang kesal itu membuatnya merasa telah melakukan hal yang tidak seharusnya. “Udah deh, lupain aja. Gue mungkin salah dengar kali.”
Alia menahan tangan Sapta yang hendak segera melarikan diri darinya. Menatap lelaki itu kesal, lalu berucap, “Lanjut gak ceritanya!”
“Al, lepasin dong. Nanti ada yang cepu ke gebetan gue.”
“Gak, nanti malah lari dan bukan cerita.”
“Enggak ... enggak. Janji gue.”
Alia menatap Sapta yang benar-benar memelas. Saat akhirnya Alia melepaskan tangan Sapta, lelaki itu segera celingukan untuk memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka. Kemudian Sapta menghela napas lega. Akan tetapi, kelegaan itu tidaklah lama karena tatapan Alia yang seperti siap mengulitinya hidup-hidup jika tidak segera memberikan informasi yang diinginkannya.
“Al, jangan galak gitu dong natapnya.”
“Makanya buru ceritain!”
Sapta menghela napas panjang dan merasa menyesal karena membawa-bawa nama itu. Hanya karena Sapta ingat jika Alia sering cerita sahabatnya di Balikpapan bernama Wanda dan otak cocokloginya berpikir jika itu adalah orang yang sama.
“Nama itu banyak yang punya, Al.” Sapta mencoba untuk bersikap netral meski rasa-rasanya sudah terlambat karena narasi awalnya sudah menuduh Delon mengajuka nama sahabatnya Alia itu. “Tapi intinya, Ko Delon bilang dia butuh sekre yang rapiin dokumen serta laporan on time ke bos.”
“Jabatan dia gak setinggi itu buat punya sekre?!”
“Ya mana gue tahu, Al. Gue nyampaikan apa yang tadi diomongin sama dia.”
Alia berdecih dan meninggalkan Sapta begitu saja. Membuat Sapta memijit pelipisnya dan yakin setelah ini akan ada drama di kantornya. Seharusnya Sapta memang mengerem mulutnya untuk tidak menceritakan semuanya tanpa filter kepada Alia. Padahal Sapta pernah menjadi saksi bagaimana Alia sampai bela-belain naik pesawat dari Bali untuk kembali ke Jakarta hanya karena sahabatnya yang bernama Wanda ini bilang dia gagal surprise karena apartemen perempuan itu kosong tidak berpenghuni.
“Aduh, gue dianjing-anjingin gak sih ntar sama Ko Delon ini?”
***
Delon baru keluar dari ruang kerja Pak Bara saat melihat Alia yang bersedekap dan bersandar pada dinding. Membuat Delon menghela napas panjang, karena memang tidak punya ekspetasi jika Sapta tidak akan bercerita kepada orang lain saat menceritakan apa yang terjadi di Malinau. Akan tetapi, Delon tidak mengira orang yang diajak Sapta untuk berbicara pertama kali adalah Alia.
“Kenapa harus Wanda? Aku pikir Koko gak suka lihat dia.”
“Kerjaan dia bagus.”