Pada akhirnya, Alia dan orang-orang kantornya ditarik kembali ke Jakarta karena Hadi meninggal. Meski begitu, Wanda tetap tinggal dan itu membuat Alia kesal. Akan tetapi, Alia tahu bahwa Wanda tidak akan pergi karena tanggung jawab atas pekerjaan yang telah diterimanya.
Hanya saja, saat berada di kantor Jakarta, bukan ketenangan yang didapatkan oleh Alia. Justru amukan dari bosnya, Pak Bara karena Hadi meninggal. Padahal yang memiliki perusahaan kontraktor adalah Pak Dean, akan tetapi yang bersikap seolah-olah perusahaan ini adalah miliknya adalah Pak Bara. Sejujurnya Alia merasa lebih baik mempercepat resign daripada mempertaruhkan nyawa seperti ini.
Sebenarnya bukan hanya nyawa, akan tetapi juga kewarasan.
Karena atasan waras mana yang justru menyalahkan karyawan karena ada kecelakaan kerja yang melibatkan orang-orang dari kantor mereka. Padahal Alia tahu Delon serta bahkan Pak Dean berkali-kali bertanya kepada Pak Bara untuk mengajukan tempat yang ada pada perbatasan Indonesia dan Malaysia itu untuk ditawarkan kepada investor.
“Mendingan resign aja gak sih?” tanya Sapta saat jam makan siang. Alia melotot karena Sapta seberani itu mengatakan di area kantor. “Gak usah lebay natap gue gitu. Gue ngomong realitas doang dan kepikiran mendingan resign terus balik jadi jurangan tambaknya Nini di kampung ajalah.”
Mereka memang sedang bersebelahan di ruang rapat untuk makan siang karena memang biasanya mereka membajak ruangan itu. Meski kali ini tidak ada Delon yang bersama mereka karena mengurusi banyak hal yang berhubungan dengan kematian Hadi.
“Biaya buat naik haji Nini udah kekumpul emangnya?” tanya Alia yang membuat Sapta menghela napas panjang. “Lagian ini kecelakaan yang gak bisa kita hindarin. Bukan sengaja nyelakain Hadi.”
“Gue gak yakin sih, Al. Mana tahu ada kesengajaan yang gak kita tahu.”
“Gimana gimana gimana?”
Sapta menghela napas, kemudian menatap Alia. “Lo gak tahu ya kantor ini sebenernya sering numbalin orang tiap ada proyekan?” Kemudian Sapta kembali menghela napas panjang melihat reaksi Alia yang terdiam, tapi matanya terbelalak. “Gue tuh selalu bingung kenapa tiap kita ada proyekan di kantor, ada aja yang mati. Sampe gue cerita nih sama Nini anom, nah dikesahilah aku soal kantor ini.”
“Ninimu emang kenal sama orang-orang kantor?”
“Ya kagaklah. Nini gue sama Nini anom hidup di kampung, keimana bisa punya koneksi di kantor.” Sapta melengos, kemudian meminum air es yang sebenarnya sudah tidak dingin, lalu menatap Alia setelah selesai minum. “Nini anom punya mata batin. Sebelum gue ke Balikpapan buat meeting ketemu investor sama dukunnya itu aja, sebenernya Nini anom udah bepadah jangan pergi.” Kemudian, Sapta kembali menghela napas. “Terus pas berangkat ke Malinau buat proyekan ini, itu dua Nini menangis minta gue kaga usah kerja. Disuruh resign soalnya pada mimpi gue mau dibunuh sama penunggu pohon.”
Alia tidak bisa mengatakan apa pun, karena tahu meski Sapta itu ngomong suka semaunya, tapi lelaki itu paling pantang untuk berbohong. Juga Alia mengingat ucapan Wanda tempo hari yang mempertanyakan apakah kantornya mempraktekkan penumbalan. Alia pikir Wanda hanya menakut-nakutinya karena dia sedang menggarap skenario film horor, bukan benar-benar bermaksud memberitahukan kenyataan bahwa kantornya adalah tempat yang mempraktekkan hal yang tidak manusiawi kepada manusia yang tidak berdosa.
Padahal mereka semua bersekolah tinggi dan hidup di lingkungan yang modern, tapi ternyata masih tetap melakukan hal-hal yang tidak masuk akal itu. Bahkan menggunakan orang-orang yang hanya berniat untuk mencari uang untuk kehidupan keluarganya sedikit lebih baik.
“Udahlah, Sap. Ini hanya kecelakaan kerja.”
“Pas hari di mana Hadi meninggal itukan semeja sama gue pas sarapan di hotel.” Sapta menghela napas lagi, menatap nasi padang yang dipilih Alia sebagai makan siang mereka saat ini. “Tiba-tiba banget dia ngomong kalau kayaknya proyekan ini butuh tumbal yang banyak. Gue yang denger hampir keseleklah, eh Hadi malah cerita soal begituan dan nguatin omongannya Nini anom.”
Kali ini Alia benar-benar tidak bisa membantah ucapan Sapta.
Karena jauh di lubuk hati Alia yang terdalam, dia pun merasa ini barulah awal dari segala tragedi yang akan mereka hadapi selama mereka mengerjakan proyek ini.
***
“Gimana kabarmu, Al?” tanya Wanda dari ujung telepon yang membuat Alia menghela napas panjang.
“Harusnya aku yang nanya keadaanmu, Wan.” Alia menghela napas dan menatap dinding ruang tamu yang hanya berisikan ilustrasi yang dibingkai dengan berbagai ukuran serta disusun dengan versi estetikanya. “Gak ada aneh-aneh selama aku gak di sana, ‘kan?”
“Beresin lahan yang gak bersinggungan sama pohon ulin masih aman aja sih.”