Kembali ke Malinau adalah hal yang terberat yang Alia lakukan. Kalau ada yang bisa disyukuri, kali ini mereka tidak perlu naik speed boat dari Tarakan menuju Malinau, karena mereka mendapatkan tiket pesawat sehingga bisa langsung berangkat tanpa transit. Mungkin dilakukan oleh pihak kantor mereka sebagai kompensasi mereka kembali ke tempat yang entah bisa menjamin nyawa mereka tetap utuh saat proyeknya selesai nanti.
Atau malah proyeknya tidak pernah selesai karena mereka sudah diambil duluan oleh penunggu pohon ulin yang mengerikan itu.
“Ini kalau kita kabur masih belum terlambat, ‘kan?” tanya Sapta yang membuat Alia hanya bisa menghela napas.
Karena bahkan Sapta yang notabene orang yang selalu mengutamakan pekerjaan dan tidak percaya dengan hal-hal mistis, sekarang justru mempertanyakan keputusan hidup untuk tetap lanjut bekerja. Alia tidak bisa menyalahkan Sapta yang merasa seperti ini, karena Alia pun sejujurnya merasakan hal yang serupa. Meragukan keputusannya untuk tetap bekerja karena nominal gajinya yang naik cukup signifikan.
“Kali ini gak bakalan ada hal yang aneh-aneh, la.” Delon mencoba untuk memberikan ketenangan pada Alia dan Delon. Tapi bahkan ekspresinya tidak bisa berbohong kalau Delon terlihat frustasi. “Harusnya kali ini penunggu pohon itu tidak akan bisa tetap tinggal.”
“Emangnya lo mau lakuin apa? Kasih tumbal manusia lagi gitu?” tanya Sapta yang membuat Delon tampak terkejut, kemudian menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. “Gak usah lo sokan kaget gitu. Gue udah tahu kalo kantor kita suka lakuin begituan dan anak-anak yang lain juga akhirnya tahu, makanya pada ngotot pindah ke proyekan lain sampai resign.”
Delon terdiam cukup lama, tapi akhirnya berucap, “Gak, kali ini gak bakalan pakai tumbal-tumbalan, la.”
“Bukti apa yang bisa bikin gue yakin kalau itu beneran yakin kalau gak bakalan ada tetumbalan lagi?”
“Aku udah cari caranya, la.” Delon menatap Sapta yang memberitan tatapan tidak percaya, kemudian lelaki itu menghela napas. “Tapi ini bakalan berhasil selama kalian tidak bakalan melanggar pantangannya.”
“Jangan bilang lo bakalan nyuruh kita semua buat ikutin ritual.”
“Well....”
“Bangsat! Gue nyari duit bukan mau terlibat ritual musyrik!” maki Sapta yang kemudian membuatnya berdiri dan mengambil tas ranselnya. “Gak sudi kalo kedua Nini gue naik haji pakai duit musyrik kayak ginian ya. Bye.”
Delon menghela napas dan memijit pelipisnya, sementara Alia panik dan berteriak memanggil nama Sapta yang berjalan cepat. Pada akhirnya Alia berlari menyusul Sapta, karena jelas dirinya tidak mau ditinggalkan sendirian dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. Karena komposisi timnya saat ini adalah orang-orang yang dari proyek lain yang dipaksa untuk menjalankan proyek resort mewah ini.
Orang-orang yang jelas tidak akan menolak atau bahkan resign mendadak karena masih karyawan baru—yang mana menurut budaya kantornya, di bawah 1 tahun—dan tidak mungkin mau merusak karir dengan sikap impulsif. Saat akhirnya Alia berhasil menyusul Sapta, perempuan itu mencegat langkah Sapta yang terlihat kesal.
“Al, udahlah jangan terusin ini.” Sapta menatap Alia frustasi. “Duit kita lebih dari cukup kok buat memulai kehidupan sesuai dengan cita-cita selama ini.”
“Kamu enak ngomong gitu, sahabatku masih di hutan terkutuk itu!”
“Yaudah suruh resign aja, Al!”
Alia melengos dan menatap Sapta kesal. “Kamu pikir kalau uang pinaltinya gak segede itu aku bakalan biarin Wanda buat tetap di proyek yang bahkan gak bisa jamin kita bisa pulang dengan keadaan hidup?!”
Sapta berdecak dan mengacak rambutnya, sementara Alia menyisir rambutnya yang menutupi wajahnya ke belakang dengan jarinya. Mereka sama-sama terlihat frustasi dan tidak berbicara kepada satu sama lain selama beberapa saat. Suara pengumuman bahwa pesawat yang akan berangkat ke Balikpapan yang akhirnya membuat keduanya seirama menghela napas secara bersamaan.
Keduanya menatap satu sama lain, lalu Sapta berdecak.
“Yaudah, ayo.” Sapta mengulurkan tangannya, meski tahu Alia tidak begitu suka skinship. “Setidaknya kita buat aliansi yang mana kalau ada hal gila yang terjadi di sana, kita sepakat untuk langsung melarikan diri bersama.”
Alia menyambut uluran tangan Sapta, lalu menjawab, “Deal!”
***
“Al, aku tidak tahu kalau kantormu bisa sedepresi ini untuk menyewa dukun.” Celetukan Wanda yang dikumpulkan di dalam kotak peti kemas yang sudah disulap menjadi ruang rapat. Alia memijit pelipisnya, sementara Wanda yang kembali menatap lelaki tua yang tengah menjelaskan ritual yang harus semua orang lakukan. “Nemu Tatung dari mana ini orang kantormu?”