Karena meski Pak Bara mau memaksa semua orang kembali bekerja, kenyataannya tidak semudah itu untuk dilakukan. Lantaran banyak kuli proyek yang kabur karena lebih menyayangi nyawa mereka dibandingkan kembali ke lokasi proyek. Alia tentu paham dengan pilihan yang lebih dari kategori rasional dan Pak Iswadi belum kunjung kembali dari Pekalongan karena katanya belum menemukan orang-orang yang bersedia untuk menjadi kuli di proyek ini.
“Yah, namanya juga proyek terkutuk. Pasti ada aja hambatannya, Al.” Celetukan Wanda yang sangat tiba-tiba itu membuat Alia menoleh. Melihat Wanda yang menatap bungkus mika yang berisi pukis yang hanya meninggalkan isian keju dan Alia tahu kalau sahabatnya itu tidak menyukai isian tersebut. “Tapi kita masih tetap digaji ‘kan meski proyekan mangkrak begini?”
“Biasanya sih masih.”
“Ohhh.” Wanda menganggukkan kepalanya dan terkejut saat Alia memberikan pukis isian coklatnya ke mika milik Wanda. “Makasih, Al! Mau punyaku gak?”
“Enggak deh, kulitku lagi break out ini. Kebanyakan makan dairy kayaknya.”
“Kayaknya lebih masuk akal karena tertekan tempat kerja kita horor gak sih?”
Alia hanya tersenyum, tetapi tidak sanggup untuk tertawa. Padahal biasanya Alia bakalan semudah itu tertawa mendengar ucapannya Wanda, sereceh karena nada suara sahabatnya itu yang terdengar lucu. Akan tetapi, Alia tahu bahwa tidak ada yang bisa ditertawakan dari tempat kerjanya itu. Karena ada begitu banyak tragedi dan Alia setiap mengingat Laoya yang menusuk perutnya berkali-kali karena ritualnya gagal itu cukup untuk membuatnya merasa mual.
Satu-satunya alasan Alia tetap bertahan pada proyek ini karena rasa tanggung jawabnya atas keselamatan Wanda yang bekerja sebagai karyawan kontrak karena keputusan impulsifnya membawa sahabatnya itu saat survey. Meski Wanda selalu menyakinkan Alia jika itu bukanlah alasan Wanda menerima pekerjaan ini, tetap saja rasa bersalah kepada sahabatnya itu sekaligus kesal kepada Delon tidak bisa hilang sampai detik ini.
“Al, pernah dengar gak kisah awal mula orang-orang di sini tahu kalau pohon ulin itu berbahaya dan tidak boleh diganggu?” tanya Wanda yang membuat Alia yang hendak meminum teh, menghentikan kegiatannya. “Eh, minum aja dulu. Ntar seret kalau nunggu aku kelar ceritanya, soalnya mau sambil cocoklogi.”
“Makanya ngomong jangan saat orang mau minum. Takut keselek tahu.”
“Ya maaf deh, maafkeun aku.”
Pada akhirnya Alia tertawa dan Wanda tersenyum. Setelah menandaskan setengah gelas air, akhirnya Alia menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa dirinya siap untuk mendengarkan ceritanya Wanda. Akan tetapi, Wanda tidak segera memulai dan justru memakan pukis keju yang membuat Alia mengernyit.
“Loh, bukannya kamu gak suka keju?”
“Daripada mubazir, mendingan aku kunyah,” jawab Wanda dan kedua alisnya naik, seperti tidak menyangka rasa yang tengah dikunyahnya, “eh, tumben ini kejunya gak seasin keirian orang negatif vibe.”
“Please lah, Wan. Masih sempat-sempatnya nyoba ngomong berima.”
Wanda hanya nyengir dan Alia menggelengkan kepalanya. Setelah Wanda minum, sahabatnya itu berdeham dan Alia yakin kali ini benar-benar memulai cerita yang sejak tadi terus tertunda.
“Jadi, tadi pagi aku ikutan ke pasar tuh sama Ibook,” jelas Wanda yang membuat Alia menggelengkan kepala karena tidak paham dengan kebiasaan sahabatnya yang selalu mau ke pasar setiap mereka jalan-jalan ke kota yang tengah dikunjungin, “terus tuh saat penjual tahu kalau aku kerja di proyekan, malah diajakin rumpi kesana-kemari yang intinya sih tentang alasan semua orang di kampung ini tahu pohon ulin itu tidak boleh diganggu.”
“Jangan bilang karena penunggunya bunuh orang yang ganggu pohon itu?”
“Tebakanmu bener, Al.”
Alia menghela napas panjang saat mendengar konfirmasi tersebut. Karena ternyata semua kejadian yang mereka lihat selama ini adalah hal yang sudah diketahui oleh orang-orang di kampung ini. Membuat Alia teringat dengan fakta bahwa saat pulang dari survey serta setelah Riski tersadar dari kemungkinan nyawanya akan melayang karena digigit oleh ular, mereka dibawa oleh Pak Sungai ke rumahnya untuk makan siang. Kebetulan ada beberapa tetangga yang merupakan ibu-ibu yang berkumpul dan begitu tahu apa yang terjadi kepada Riski, mereka semua melarang untuk kembali ke tempat proyek itu.
Delon tidak merespon, Wanda justru memberikan respon keramahan yang dianggap malah ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan Alia sejujurnya pusing. Ada terlalu banyak yang terjadi saat itu dan begitu sulit untuk menerima makanan untuk masuk ke mulutnya. Berbanding jauh dengan Wanda dan Riski yang makan dengan lahap.
“Tapi katanya, semua itu udah dimulai sejak jaman Indonesia merdeka, Al.” Ucapan Wanda yang tiba-tiba itu membuat Alia mengerjapkan matanya, lalu menoleh perlahan ke arah sahabatnya itu. “Untuk informasi tambahan, katanya tempat ini pernah didatangi oleh tentara Jepang.”
“Apa hubungannya tentara Jepang dengan teror pohon ulin itu?”
“Al, sumpah ya kamu yang maksa aku waktu itu nonton film horor Koriyah, masa kamu yang malah gak paham kemungkinan penyebabnya?”
“Hah?”
Wanda menghela napas, seolah tidak menduga atau malah mungkin tidak merasa heran jika Alia tidaklah peka dengan hal tersebut. Akan tetapi, Alia setelah beberapa saat mencoba menggali ingatannya, melotot dan menatap Wanda dengan horor.
“Sudah ingat, Al?”
“Itu ... itu film beneran nyata, Al?”