Cagak Cemani

Noor Angreni Putri Hasim
Chapter #21

20: Saat Rasa Tanggung Jawab dan Kemauan Diri Saling Berbenturan

Setelah telepon jam 2 pagi itu, pada akhirnya Alia dan Wanda benar-benar tidak tidur. Meski mereka tidak mengatakan apa-apa, tapi keduanya tidak memejamkan mata. Sesekali Alia memandang Wanda selama beberapa saat sebelum kembali memandang langit-langit kamar yang lampunya telah dimatikan kembali. Begitu pun juga dengan Wanda, sesekali memandang Alia selama beberapa saat.

Sikap mereka seolah-olah tidak mampu mengatakan apa yang sebenarnya ada di pikiran saat ini karena saling menyimpan kemarahan kepada satu sama lain. Padahal kenyataannya, keduanya hanya tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan mereka ini. Karena ada begitu banyak yang perlu dibicarakan dan sayangnya, mereka sama-sama mengingat bahwa membicarakan hal penting di atas jam 12 malam bukanlah waktu yang baik. Karena akan ada banyak kejujuran yang tidak difilter dan keduanya lebih dari tahu bahwa ucapan yang telah terlontar tidak akan bisa direvisi maknanya oleh kepala satu sama lain meski sudah meminta maaf dan menambahkan konteks yang sebenarnya.

Jelas ini adalah hal yang tidak mau mereka hadapi, karena baik Alia mau pun Wanda tahu bagaimana efeknya karena pernah melakukan dan hampir mengakhiri persahabatan mereka. Jadi reaksi keduanya saat ini adalah hal yang alami untuk dilakukan, karena pengalaman telah mengajarkan bahwa lebih baik diam untuk menata emosi satu sama lain sampai waktu yang cukup baik untuk mulai berbicara.

Suara lantai yang dipijak membuat Alia mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar ke arah Wanda yang sudah berdiri.

Membuat Alia memandang sahabatnya itu, kemudian tanpa sadar bertanya, “Mau ke toilet?”

“Iya, abis itu mau wudhu terus tahajud buat tenangin pikiran.”

Alia mendengarnya cukup terkejut, karena seingatnya Wanda tidak pernah mau berbicara tentang hal-hal yang berbau agama. Akan tetapi, Alia juga ikut bangun dan membuat Wanda mengernyit.

“Kenapa jadi ikutan bangun, Al?”

“Temenin kamu buat ke toilet dan wudhu.”

“Bilang aja kamu takut di kamar sendirian, Al.”

“Tuh tahu.”

Wanda hanya menggelengkan kepalanya, tapi memberikan sebelah tangannya untuk dipegang oleh Alia. Sepanjang perjalanan menuju kamar mandi, tidak ada hal yang aneh. Akan tetapi, begitu sampai di depan pintu kamar mandi, mereka melihat dua sosok perempuan yang tidak seharusnya ada.

Karena seharusnya di tempat seperti ini, tidak ada perempuan yang berpakaian kimono. Kalau pun memang ada warga keturunan Jepang, tidak seharusnya mereka berada di rumah seseorang jam setengah 4 pagi seperti ini. Wajah pucat—yang mana make-up tebal putih tidak menolong untuk membuat mereka terlihat manusiwai—bola mata yang seluruhnya hitam, bersanggul nihongami, menggunakan kimono hitam dengan obi putih.

Alia memegang erar tangan Wanda, sementara sahabatnya itu terlihat tidak takut.

“Pergilah. Ini bukan tempatmu untuk muncul.”

Wanda mengusir kedua perempuan tersebut dan tatapan keduanya yang menyeramkan membuat Alia memejamkan matanya. Alia mendengar teriakan yang memekakkan telinga dan justru segera berlindung di balik tubuh Wanda. Kemudian, suara yang hening membuat Alia merasa jantungnya berpacu dengan cepat karena takut jika Wanda kenapa-kenapa. Tapi sialnya, matanya tidak mau diajak bekerja sama untuk terbuka karena rasa takut Alia.

“Udah gapapa, Al. Mereka udah pergi.”

Suara Wanda yang tetap tenang itu membuat Alia perlahan membuka matanya. Akan tetapi, Alia menyadari mencium bau amis dan dengan segera memaksa Wanda berbalik ke arahnya. Wajah dan badan Wanda penuh dengan cairan merah kehitaman. Tatapannya tetap tenang, akan tetapi Alia yang terkejut melihat itu refleks berteriak dan tidak beberapa lama kemudian Pak Sungai dan Ibu Sinya datang.

Wanda hendak menjelaskan bahwa dirinya tidak apa-apa, tapi Alia yang berteriak histeris dan Ibu Sinya bukannya yang menenangkan, tapi justru memberendel Wanda dengan pertanyaan apa yang terjadi. Sementara Pak Sungai yang mengira jika Wanda dan Alia bertemu dengan maling dan berkelahi sehingga tubuh Wanda penuh dengan cairan pekat yang mirip dengan darah—meski warnanya jauh lebih gelap dari darah pada umumnya—dan berlari keluar dari rumahnya untuk memanggil para tetangga untuk mengabarkan rumahnya kemalingan.

Lihat selengkapnya