Semua orang tahu jika Pak Bara itu memanglah manusia paling menyebalkan dan pengendalian emosinya sependek tinggi badannya. Akan tetapi, Alia tidak pernah mengira jika akan melihat Delon yang dimaki-maki di lobi hotel dan tentu itu memancing perhatian semua orang yang berlalu lalang. Apalagi melihat Delon yang kepalanya dipukul dengan bundelan kertas yang merupakan denah dari gambaran bangunan-bangunan di tempat proyek yang akan dibangun—yang Alia tahu tebalnya mencapai 120 halaman karena dirinya yang menyusun serta mencetaknya di Jakarta untuk dibawa oleh semua anggota tim kantornya ke Malinau—oleh Pak Bara tanpa memutuskan aliran makian yang dilontarkan kepada Delon.
Alia menatap Pak Bara dengan kesal dan menggepalkan tangannya dengan erat. Meski Alia tahu pemikirannya saat ini tidaklah baik, tapi Alia berharap lampu gantung yang ada di atas Pak Bara saat ini putus dan menimpa orang itu hingga mati. Akan tetapi, Alia terkejut saat Sapta menariknya untuk menjauh dan Wanda yang menarik Delon untuk berlari mengikutinya sembari meneriakkan nama lelaki itu.
Semuanya terjadi begitu cepat, tahu-tahu banyak teriakan dan Alia hanya menggerjapkan matanya. Meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi Alia gemetar karena menyadari pemikirannya tentang lampu gantung menimpa Pak Bara benar-benar terjadi.
“Alia!” Sapta terkejut melihat Alia yang terduduk di lantai dan memegangi bahunya, hanya untuk menyadari bahwa tubuh perempuan itu gemetar. “Al ... Alia! Kamu gapapa, ‘kan?”
Delon dan Wanda berlari ke arah Alia dan Sapta. Sementara Sapta mencoba untuk menenangkan Alia, berucap, “Al ... Al, gapapa. Kita udah aman kok.”
Alia masih tidak merespon. Tidak berapa lama, Alia merasakan tubuhnya dipeluk dan itu membuatnya meronta. Sampai kemudian menyadari aroma mawar serta jeruk yang membuatnya sedikit lebih rileks dan mendengar, “Kalau mau nangis, gapapa kok. Jangan tahan emosimu, Al.”
Pada akhirnya Alia benar-benar berteriak karena tidak kuat dengan semua yang terjadi. Bahkan tubuh Alia semakin bergetar hebat karena ketakutannya dan mengatakan apa pun yang ada di kepalanya dengan kecepatan yang entah bisa ditangkap oleh telinga manusia atau tidak. Akan tetapi, Alia yakin Wanda bisa menangkap semua ucapannya karena sahabatnya itu terus menepuk-nepuk punggungnya dan merespon semua ucapannya.
Semakin lama, kepala Alia semakin sakit dan kelopak matanya memberat. Meski Alia menggelengkan kepalanya untuk mencoba mengembalikan kesadarannya, pada akhirnya kegelapan yang menyergapnya. Hal terakhir Alia ingat adalah Wanda berkata, “Apa yang terjadi sekarang bukan salahmu, Alia.”
***
Saat Alia terbangun, bau antiseptik dan langit-langit kamar yang terlihat begitu putih dibandingkan dengan kamarnya bersama Wanda selama proyek resort berlangsung. Alia mengernyit, lalu memejamkan matanya lagi. Kemudian Alia membuka matanya lagi dan memaksakan dirinya untuk duduk karena teringat terakhir kali dirinya berada di pelukan Wanda.
“Alia!” Kepala Alia mendadak terasa pusing, kemudian mendengar kembali suara Sapta lagi yang khawatir. “Al, kamu gapapa? Dokter ... dokter!”
Alia memijit pelipisnya karena rasanya pusing di kepalanya benar-benar menghantam tanpa ampun. Rasanya kepala Alia mau pecah dan tidak menyadari bahwa dokter serta perawat telah berada di sampingnya. Bahkan Alia tidak begitu ingat mengatakan apa kepada mereka karena rasa sakit yang menghantamnya dan hal yang dipikirkannya saat ini adalah Wanda.
Karena Alia tahu, ini sakit yang biasanya hanya bisa disembuhkan dengan sentuhan Wanda. Akan tetapi, sampai perawat dan dokter pergi dari ruangannya, hanya Sapta yang menungguinya. Alia tentu bertanya-tanya kemana perginya Wanda. Kemudian, Alia teringat tentang lampu gantung yang terjatuh dan jantungnya berdebar lebih cepat. Alia takut jika sebenarnya yang memeluknya tadi bukanlah Wanda karena tertimpa lampu gantung yang terjatuh itu.
Suara pintu yang terbuka membuat Alia menoleh dan melihat Wanda serta Delon. Wanda tampak lega dan segera menghampiri Alia, berucap, “Syukurlah kamu udah bangun. Aku takut banget kamu baru bakalan bangun besok.”
Sapta dan Delon mendengar itu tentu mengernyit, tapi Alia hanya tersenyum. Wanda yang akhirnya berada di samping Alia, mengusap kepalanya, kemudian berkata, “Kamu mikirin apa? Ini kepalamu tegang banget.”
“Kepalaku sakit, gimana mau dipakai mikir coba.”
Wanda menghela napas—yang tumben sekali mulutnya juga ikutan bersuara—dan kemudian berkata, “Kasih ruang dikit buat aku duduk di sampingmu. Aku urutin.”
Delon yang melihat apa yang Wanda lakukan, tentu merasa itu tindakan yang tidak benar. Karena siapa yang bisa menjamin kalau Wanda tidak melakukan hal yang salah kepada Alia dan justru memperparah sakit kepala perempuan itu?
“Sebaiknya kita panggil dokter buat periksa Alia, bukan kamu urutin sembarangan gitu, Wanda.”
“Dokter barusan datang.” Bukan Alia yang mengatakan itu, tapi Sapta. “Lagian kayaknya dokternya gak akan ada waktu kemari lagi deh, itu korban dari hotel masih banyak yang belum keurus.”
Delon hanya bisa berdecak, tapi di saat yang bersamaan tidak bisa memprotes karena itu adalah hal yang benar. Bahkan Pak Bara belum keluar dari ruang operasi dan Delon sudah mengabarkan ke Pak Dean. Karena Delon tahu Pak Dean yang bisa mengabari keluarga Pak Bara jika mengalami kecelakaan di dalam hotel karena tertimpa lampu gantung kaca. Meski Delon tidak yakin mantan istri dan anak-anaknya Pak Bara akan sudi mengangkat telepon dari Pak Dean, apalagi mau mendengar nama lelaki itu.
“Jadi gimana keadaan si tua bangka itu?” tanya Sapta saat Delon berdiri di sampingnya. “Masih hidup gak tuh kira-kira ya?”
“Katamu orang jahat umurnya panjang.”