Cagak Cemani

Noor Angreni Putri Hasim
Chapter #24

23: Sebelum Semuanya Menjadi Final Destination

Sebenarnya Alia tidak suka harus melepaskan Wanda kepada Delon yang pergi ke rumah sakit untuk menjemput Pak Bara dan ke hotel untuk menjemput Pak Dean serta Evan dan guru spiritualnya. Akan tetapi pada akhirnya tidak ada yang bisa dilakukan Alia selain memendam kekesalan dalam hati. Karena selain jabatannya Alia yang tidak bisa membuatnya bertukar posisi dengan Wanda, juga karena sebenarnya kondisinya yang belum sepenuhnya pulih karena kejadian dua hari yang lalu.

Karena nyatanya Alia baru dihantam oleh gelombang realitas kemarin dan itu membuatnya merasakan begitu banyak emosi negatif dalam satu waktu. Alia pikir dirinya bisa mengontrol tubuhnya meski dengan semua emosi itu, akan tetapi ternyata tidaklah semudah itu dan membuatnya frustrasi.

 “Jangan kebanyakan mikir, nanti kamu sakit lagi.” Tegura itu membuat Alia menoleh dan melihat Sapta yang menatapnya dengan tatapan kasihan. Jenis tatapan yang paling Alia benci, tapi untuk membantah ucapan Sapta pun dirinya tidak punya tenaga untuk mengatakan apa yang dipikirannya. Sapta menghela napas panjang, kemudian duduk di samping Alia yang sedang duduk di tangga yang menghubungkan halaman dengan teras rumah. “Karena aku tahu kamu bakalan benci kalau kubilang paham perasaanmu sekarang, jadi mendingan aku bilang untuk percaya dengan Wanda.”

“Aku gak mau Wanda ketemu sama Pak Bara, Sap. Sahabatku gak pantas buat ketemu manusia setoksik yang sialnya jadi bos kita itu.”

“Suka tidak suka, ini resiko pekerjaannya Wanda.”

Alia melengos mendengar ucapan Sapta itu. Meski tahu bahwa itu kenyataannya serta fakta bahwa Sapta memang bukanlah orang yang bakalan mau berbohong untuk menghibur orang lain, tapi Alia berharap jika Sapta bisa melakukan itu untuknya kali ini saja. Tidak mengatakan kenyataan yang sebenarnya dan setidaknya berpihak kepada Alia yang tidak menyukai dengan kenyataan yang Wanda hadapi saat ini.

“Seperti kataku, Al. Percaya aja sama Wanda untuk menghadapi ini.”

“Gimana kalau Wanda dipukul sama Pak Bara? Aku beneran gak maafin diriku kalau itu sampai kejadian.”

“Percaya aja, gak bakalan kejadian itu.” Sapta menatap Alia yang sekarang menoleh ke arahnya dan menatapnya tajam. “Serius, Al. Percayalah kalau Pak Bara tidak bakalan punya tenaga buat melakukan hal itu. Dia sekarang lumpuh dari bagian pinggang hingga ke bawah dan matanya cuma satu yang berfungsi dengan baik.”

“Hah?”

Sapta hanya tersenyum, kemudian menghela napas. “Waktu Pak Bara sadarkan diri itu, aku sama Ko Delon dan Wanda ke ruangannya. Asli dia mengamuk seperti orang gila gitu tahu keadaannya dan sebenarnya mau dirujuk buat kembali ke Balikpapan untuk penanganan lebih lanjut.”

“Terus kenapa sekarang Ko Delon dan Wanda malah jemputin bos laknat itu?”

“Menurutmu, kalau proyek ini gagal lagi, siapa yang bakalan paling rugi?” tanya Sapta yang membuat Alia mengernyit, karena itu pertanyaan bodoh. Akan tetapi, Sapta tersenyum, seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Alia, lalu berucap, “Sayangnya bukan Pak Dean, orang yang selama ini kita pikirkan bakalan yang paling rugi. Justru Pak Bara yang bakalan paling rugi, karena itu tanah punyanya.”

“Apa?”

“Aku juga baru tahu beberapa waktu yang lalu, saat Ko Delon tiba-tiba TMI banget sama aku karena sokan banget minum arak.”

Alia terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Sapta. Karena selama ini Alia tidak berpikir bahwa akan sampai sejauh itu dan fakta bahwa Delon sampai minum arak karena juga memiliki tekanan pada proyek ini.

Akan tetapi, komentar Alia justru, “Loh, sejak kapan kamu jadi bisa ngomong ‘aku-kamu’ dan gak mixing language?”

“Al, please ya. Dari semua hal yang bisa komentari, justru ini?” tanya Sapta yang tidak bisa menahan tawanya dan membuat Alia hanya bisa tersenyum.

Meski ekspresi Alia terlihat akhirnya rileks di depan Sapta, tetap saja pikirannya tidak tenang. Justru isi kepalanya semakin berkecambuk dengan seluruh fakta yang diterimanya dari Sapta. Rasanya Alia benar-benar tidak bisa mempercayai ada manusia yang sebegitu serakahnya seperti Pak Bara. Padahal beliau membutuhkan perawatan lanjutan dan justru Pak Bara lebih mementingkan uang.

“Dasar gila.” Gumam Alia tanpa sadar dan menghela napas panjang.

***

Wanda tahu jika Delon sering meliriknya sejak tadi. Akan tetapi, Wanda tidak merasa punya alasan untuk merespon itu dengan bertanya apa yang terjadi. Apalagi sekarang Wanda sedang membuka laptop dan fokus untuk mengetikkan laporan dadakan yang Delon minta dibuatkan.

“Wanda...,” panggil Delon dan Wanda hanya menjawab dengan gumaman bahwa dirinya mendengarkan. Tentu Wanda bisa mendengar helaan napas Delon, tapi Wanda tetap tidak berniat mengalihkan pandangan dari layar laptop di pangkuannya dan tahu jika sepenting itu, Delon akan mengatakan apa yang sebenarnya dibutuhkan. Setelah terdengar helaan napas lagi, Delon bertanya, “Laporannya sudah sampai mana?”

“Sebentar lagi selesai dan siap di print.”

“Oh, oke.”

Tidak ada yang dibicarakan lagi, tapi Wanda tahu jika Delon masoih sesekali melirik ke arahnya. Akan tetapi, Wanda benar-benar tidak merasa perlu untuk menunjukkan kepedulian. Sampai kemudian Wanda merasakan mobil berhenti dan mengira jika sudah sampai tujuan, sampai kemudian Wanda mengangkat kepalanya dan menatap ke depan. Hanya untuk melihat jalanan yang dipenuhi dengan banyak orang yang berdiri. Tapi mereka lebih dari tahu bahwa itu sebenarnya bukan orang dan pada akhirnya, Wanda hanya menghela napas panjang.

“Aku yang tidak tahu apa-apa jadi ikut terseret masalahmu, Ko Delon.”

“Kamu pikir aku senang denga masalah seperti ini, Wanda?”

“Yah, mereka pun tentu tidak senang karena waktu untuk hidup di dunia terpotong dengan singkat karena hal yang Koko lakukan selama ini demi pekerjaan.”

Delon memejamkan matanya dan memegang setir dengan erat. Wanda kembali menghela napas dan melihat orang-orang tersebut yang tiba-tiba menghilang dari depan mereka. Hanya untuk berpindah ke sekeliling mobil dan kemudian tiba-tiba mobil mereka yang diguncang dengan hebat dengan kekuatan yang tidak seharusnya eksis.

Itu cukup membuat Delon segera membuka kelopak matanya dan Wanda segera menurunkan rem tangan dan berteriak, “Cepat jalan!”

Lihat selengkapnya