Karena Wanda masih harus tetap di rumah sakit, tapi harus ada yang menggantikannya ke lapangan menemani Delon—atau Wanda akan memaksa pulang hanya untuk kembali bekerja—sehingga mau tidak mau Alia yang menawarkan diri menggantikan Wanda. Meski sebenarnya Alia lebih mau menjaga Wanda di rumah sakit, akan tetapi hidup memang harus memilih dan setidaknya Sapta bisa menjadi penjaga Wanda karena Delon memberikan izin.
Meski rasanya Alia merasa aneh harus bersebelahan dengan Delon di dalam mobil setelah mendengar semuanya kemarin yang lalu. Sepanjang perjalanan menuju hotel untuk menjemput Pak Dean, Evan dan guru spiritual Zhao, keduanya hanya berdiam diri. Padahal biasanya Delon akan berusaha untuk mengajak Alia berbicara, tapi kali ini sepertinya lelaki itu menyadari bahwa hubungan mereka sudahlah tidak seperti dahulu.
Bagaimana bisa seperti dahulu saat Alia akhirnya tahu semua hal yang selama ini Delon sembunyikan dari semua orang dan itu jelas membayakan semua orang yang terlibat dalam semua proyek kantor mereka bekerja ini?
“Berapa lama Wanda tahu tentang semua ini, Ko?” tanya Alia yang membuat Delon yang hendak menurunkan rem tangan karena lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau, refleks menoleh. Hal yang membuat Delon kembali melakukan kegiatan yang tertunda dan melajukan mobilnya karena suara klakson di belakang. Alia menghela napas, kemudian berucap, “Jangan coba-coba berbohong, karena aku bukanlah Wanda yang pemaaf.”
“Aku tahu, Al.”
Akan tetapi, Delon tidak segera menjawab. Bukan karena tidak mau, tapi dia melihat di depannya motor yang tiba-tiba menabrak belakang mobil yang membuatnya segera mengerem. Keduanya terdorong ke depan, tetapi setidaknya sabuk pengaman yang mereka pakai cukup untuk menahan tidak terantuk di dashboard mobil.
Alia menatap ke depan dan segera menutup telinganya karena mendengar suara tabrakan yang nyaring dari belakang mobil. Delon segera menoleh ke belakang karena panik dan ternyata yang menabrak mereka adalah mobil lainnya. Akan tetapi, belum Delon menanyakan keadaan Alia yang duduk di sampingnya, suara tabrakan membuat mereka kembali tersentak ke depan.
Keduanya saling menatap dan membuka pintu mobil. Kemudian melepaskan sabuk pengaman untuk segera meloncat keluar dari mobil. Mereka terpisah dan meski Delon hendak menghampiri Alia, akan tetapi mendengar teriakan membuat Delon menoleh dan segera berlari menjauhi mobil. Alia pun melakukan hal yang sama, karena setelah itu hanya hitungan detik mobil mereka benar-benar remuk karena terdorong oleh truk yang menabrak belakang mobil yang menabrak mobil yang mereka kendarai.
Suasana benar-benar kacau dan Alia bahkan tidak ingat bagaimana bisa berada di pinggir jalan raya. Badannya benar-benar lemas dan terduduk di atas trotoar, sementara banyak orang yang berteriak untuk segera memadamkan api yang entah muncul dari mana. Alia memegangi kepalanya yang terasa sakit dan memikirkan Wanda yang mungkin mengalami hal semengerikan ini jikalau kekeras kepalaannya diberikan validasi oleh Alia.
“Al ... Alia.”
Panggilan Delon yang mengguncang-guncang tubuh Alia yang membuatnya mengerjapkan matanya beberapa kali. Meski Alia kebingungan bagaimana Delon bisa berada di depannya, sialnya air matanya tidak bisa ditahannya. Delon yang melihat Alia yang terguncang, merasa serba salah dan meski ada dorongan kuat untuk memeluk perempuan itu untuk menenangkan, tapi tidak bisa dilakukannya. Karena Delon tahu jika Alia tidak menyukai sentuhan fisik dan memberikan pelukan tanpa izin itu tidaklah benar, apalagi dalam situasi seperti ini.
“Al, gapapa. Tenang ya, Al. Tenang.” Delon mencoba untuk menenangkan Alia. Akan tetapi, suara ledakan membuat Delon pada akhirnya refleks menarik ke dekapannya karena tidak mau Alia terluka. “Al, kita harus pergi dari sini. Kita cari tempat aman dulu, oke.”
“O ... oke, Ko.”
Hal yang Alia ingat adalah pandangannya yang memburam dan tubuhnya yang dirangkul oleh Delon. Rasa tidak nyaman yang biasanya Alia rasakan bahkan tidak dipedulikannya, karena sekarang tubuhnya gemetar dan entah berapa lama perjalanan yang ditempuh mereka untuk menemukan tempat aman. Akan tetapi, di kepala Alia saat ini yang dipikirkannya adalah Wanda yang mungkin mengalami semua ini jika tidak digantikan olehnya. Alia merasa benar-benar sahabat yang buruk jika semua ini terjadi kepada Wanda.
Karena seharusnya Wanda tidak bekerja di sini jika tidak ide tanpa pikir panjangnya membawa sahabatnya itu saat survey beberapa bulan yang lalu. Alia yang membawa Wanda kepada semua hal-hal mengerikan ini dan bahkan dua hari yang lalu sahabatnya hampir merenggang nyawa karena kemarahan arwah yang tidak terima hidupnya dipotong demi keserakahan Pak Bara.
***
Sapta pikir Wanda hanya menakuti-nakutinya saat menyuruhnya untuk menelepon Alia atau Delon karena merasa firasat buruk. Akan tetapi, kalau bukan Pak Dean yang menelepon Sapta untuk mempertanyakan keberadaan Delon, tidak mungkin dia akan segelisah ini untuk menunggu panggilannya dijawab. Saat telepon diangkat oleh Delon—setelah 48 kali percobaan menelepon—dan mengabarkan apa yang terjadi, Sapta tidak bisa untuk tidak memandang Wanda dengan tatapan bertanya-tanya.
“Tapi kalian baik-baik aja?” tanya Sapta yang jelas khawatir setelah tahu apa yang terjadi. “Bagian transportasi, nanti aku minta Rizki jemput kalian. Aku yang bakalan kasih tahu kepada Pak Dean apa yang sebenarnya terjadi.”
“Pak Dean biar aku yang hubungi. Kamu telpon Rizki aja, aku gak punya nomornya.”
“Lo sekali-kali izinin orang lain peduli kenapa sih? Gue itu juga....”
Sapta tidak selesai mengucapkan kalimatnya kepada Delon karena pintu rawat inap yang terbuka dan membuat lelaki itu terlonjak kaget. Wanda dan Sapta menoleh ke arah pintu, hanya untuk melihat Pak Bara dengan kursi roda menatap mereka penuh kemarahan. Apalagi saat dengan cepat Pak Bara menggerakkan kursi rodanya dengan kedua tangannya sehingga menabrak kursi yang Sapta tengah duduki hingga terjungkal.
Wanda sampai berteriak karena terkejut melihat Sapta yang terjungkal. Sementara Pak Bara bukannya meminta maaf atas sikapnya kepada Sapta, justru menarap lelaki itu penuh kemarahan dan hendak menggapai HP Sapta yang berada di lantai.
“Sap ... Sapta? Kamu gapapa?” suara Delon yang memanggil-manggil Sapta karena khawatir mendengar teriakan Wanda. Entah karena terjatuh itu membuat panggilan menjadi loudspeaker sehingga semua orang di ruangan bisa mendengar. “Apa terjadi sesuatu? Jangan becanda saat seperti ini, Sapta! Sekarang lagi keadaan genting gini, jangan bikin aku lebih overthinking.”
Pak Bara akhirnya bisa mengambil HP Sapta yang ada di lantai, tapi Wanda berteriak, “Ko Delon, tutup telponnya sekarang!”
“Diam perek!” Makian Pak Bara kepada Wanda membuat Delon menghela napas panjang. “Si tolol! Sudah saya suruh kamu sejak dua hari yang lalu jemput saya dari sini dan bawa untuk ketemu sama Dean dan Evan. Kamu malah sengaja menghindari saya karena terbaring dan mengira kekuasaan jatuh padamu, hah?”
Alia memandang Delon sejak tadi dengan bertanya-tanya. Kemudian semakin mengernyit saat Delon memutuskan untuk menjauhkan HP dari telinganya. Alia bisa mendengar suara Sapta yang berusaha untuk menenangkan, tapi malah dimaki-maki oleh Pak Bara. Tentu Alia terbelalak, sementara Delon memijit pelipisnya.
“Pak Bara ... kok bisa?” tanya Alia dengan suara pelan, sementara Delon hanya menggelengkan kepalanya. “Terus gimana?”
Delon tidak menjawab pertanyaan Alia, tetapi memutuskan untuk menjawab telepon dengan, “Pak Bara, saya dua hari ini mempersiapkan lahan serta ritual yang diminta oleh guru spiritual Zhao. Hari ini niatnya untuk survey final sebelum besok dimulai ritualnya dan Bapak akan saya jemput untuk ikut bersama kami.”
“Omong kosong! Bilang saja kamu sejak awal mau saya mati di sini biar bisa mendapatkan semuanya!” Makian Pak Bara itu membuat Alia mendelik dan hampir kelepasan menyumpahi hal buruk terjadi kepada bosnya itu. “Saya tidak mau tahu, jemput saya dalam sepuluh menit dari sekarang atau saya hajar dua orang yang ada di kamar ini.”
“Pak Bara, mobil yang saya tumpangi remuk karena kecelakaan beruntun. Saya bahkan baru dapat sinyal untuk menerima telepon Sapta untuk mengirimkan orang supaya bisa menjemput kemari.”
“Saya tidak peduli! Waktu terus berjalan dan saya bisa melakukan hal terburuk kepada dua orang yang ada di depan saya saat ini.”
Alia benar-benar kesal hingga berdiri dari duduknya. Akan tetapi, Delon sudah menyambar HP-nya duluan dan berucap, “Kalau Bapak sampai berani menyentuh Sapta dan Wanda, saya pastikan Anda benar-benar mati detik ini juga sebagai tumbal proyek!” Delon segera memutuskan sambungan telepon dan saat tatapannya bertemu dengan Alia, lelaki itu hanya bisa melengos. “Aku sejujurnya tidak mau melanjutkan semua hal berhubungan dengan nyawa manusia yang dikorbankan, tapi siapa yang tidak setuju kalau si brengsek itu dijadikan tumbal?”
Sejujurnya Alia tidak bisa mengatakan apa-apa kepada Delon. Selain karena terkejut—meski sudah mendengarkan itu secara langsung dari Delon waktu itu—juga karena Alia sekuat mungkin menahan diri untuk tidak menyetujui pernyataan seniornya itu. Karena meski itu terdengar benar dan masuk akal, tetap saja Alia merasa bukan penyelesaian seperti itu yang seharusnya ditempuh.