Meski Pak Bara mau ritual dilakukan oleh guru spiritual Zhao dilakukan secepatnya, kenyataannya pada akhirnya keputusan ada di tangan Evan. Tepatnya, tiba-tiba lelaki paruh baya itu mengalami perut yang kram sehingga ritual tertunda untuk dilakukan. Seharusnya hal itu membuat Alia dan semua orang lega, tapi nyatanya tidak juga.
Karena kenyataanya ini hanyalah ditunda, bukan tidak dilakukan sama sekali.
“Positif thinking aja kalau ini akibat tidak mendengarkan omongan Pak Iswadi untuk tidak memulai apa-apa tanpa dirinya.” Celetukan Wanda saat jam 7 malam berkumpul di teras rumah Pak Sungai. “Loh kenapa kalian menatapku seperti itu?”
“Bisa banget ya nyeletuk sesantai itu padahal tahu aja gimana keadaan yang sebenernya,” sahut Joseph yang jelas kesal, apalagi melihat ekspresi Wanda yang kebingungan, seolah-olah omongan tadi tidaklah aneh, “lagian realistis aja. Pak Isawadi tidak mungkin bakalan sampai kemari besok. Kalian pikir bawa puluhan atau mungkin ratusan tukang yang baru ditemukannya naik pesawat itu realistis?”
Delon dan Sapta menghela napas mendengar ucapan Joseph. Alia yang biasanya bakalan memasang wajah galak jika orang lain berinteraksi dengan Wanda tidak dengan intensi yang baik, akan tetapi bahkan Alia pun sudah lelah dengan semua ini. Rasanya Alia mau melarikan diri dengan pergi ke Balikpapan dan mengatakan bahwa dirinya berhenti bekerja lewat pesan WA.
Hanya saja, meski Alia bisa melakukannya, akan tetapi tidak dengan Wanda yang terikat kontrak tidak masuk akal yang dibuat oleh Delon. Setiap mengingat hal tersebut membuat Alia kesal kepada Delon sekaligus merasa bersalah kepada Wanda karena itu terjadi akibat dirinya. Meski sudah berkali-kali Wanda menyakinkan bahwa itu tidak perlu dipikirkan karena ini adalah kemauannya sendiri, akan tetapi tetap otaknya Alia tidak bisa berhenti untuk terus memikirkan hal tersebut.
“Ini beneran besok dilaksanakan?” tanya Sapta yang memecahkan keheningan. “Maksudku ... oke masuk akal sih pakai herbisida karena itu biasa ngebunuh hama. Cuma ini beneran aman?”
“Ada dukun Zhao itu, harusnya amanlah.” Sahut Joseph yang membuat semua orang tersenyum. Karena memang meski namanya dibuat keren sebagai guru spiritual, tetap saja semua orang memandang lelaki paruh baya itu sebagai dukun. “Tapi kalau ngomongin soal lingkungan, yah angkat tangan deh. Mana disuruh bawa empat drum buat ditumpahkan, gila banyak banget itu cuma buat kelarin satu pohon doang.”
“Jangan bilang doang, Jo. Itu udah minta nyawa berapa banyak?”
“Ya sori, Sap. Lupa bagian itu karena udah stres duluan sama urusan pohon.”
“Heh, gue lebih tua dari lo ya. Panggil Abang!”
“Dih, ogah. Masih lebih kompeten kerja itu gue juga daripada lo, Sap.”
Sapta mendelik ke arah Joseph, tapi lelaki itu tidak merasa melakukan kesalahan. Malahan terlihat seperti menantang Sapta untuk membuat keributan. Kalau Sapta tidak ingat sekarang kondisi sudah malam dan tengah di teras rumah orang, mungkin sudah diajak adu mulut Joseph ini.
Pada akhirnya, Sapta hanya menghela napas panjang untuk meredakan emosinya.
“Ah, sepertinya nasib baik sedikit berpihak dengan kita,” celetukan Delon membuat semua orang menatap lelai itu yang tengah menatap HP-nya, “Pak Evan dirujuk ke Balikpapan karena di Tarakan tidak bisa menanganinya. Jadi kemungkinan kita harus menunggunya pulih untuk melanjutkan prosesi menyingkirkan pohon ulin itu.”
Sapta dan Joseph bersorak karena kesenangan dan tanpa sadar memeluk satu sama lain. Akan tetapi, begitu menyadari apa yang mereka lalukan membuat keduanya menjauhi satu sama lainnya. Alia tertawa melihatnya, tapi menyadari jika Wanda tidak bereaksi apa pun membuatnya waspada. Karena Alia takut jika tiba-tiba Wanda kesambat—meski rasa-rasanya Wanda adalah orang terakhir yang Alia ekspetasikan akan mengalami hal tersebut—dan menatap sahabatnya itu dengan perasaan khawatir.
“Ini masih ada yang mau kita bicarakan lagikah? Kalau tidak, aku mau kembali ke kamar.” Wanda yang tiba-tiba berbicara seperti itu membuat semua orang menatap perempuan itu. “Jangan menatapku seperti itu, aku hanya benar-benar mengantuk dan mau segera istirahat.”
“Ini baru jam berapa? Masih sore banget ini buat tidur.”
“Yah, aku setuju kalau pola tidurku tidak berantakan selama bekerja di sini.”
Alia mengusap tengkuknya, karena merasa bahwa Wanda tengah menyindirnya. Meski Alia tahu kalau Wanda bukan tipikal orang seperti itu, akan tetapi kepalanya sekarang justru memutuskan untuk terus berpikiran negatif. Apalagi saat Wanda berdiri dari posisi duduknya dan menatap Alia, tidak seperti biasanya sahabatnya itu tidak mengatakan apa-apa. Setelah Wanda meninggalkan teras, Alia tidak tahan untuk menelungkupkan wajahnya di kedua tangannya.
“Al, lagi marahan sama Wanda ya?” tanya Sapta yang semakin menegaskan pemikiran negatif Alia.
Padahal Sapta biasanya bukanlah orang yang bakalan kepo banget tentang Alia, jika tidak menyangkut gosip yang menurut lelaki itu menarik untuk diketahui.
“Loh bisa marah juga?” pertanyaan Joseph itu membuat Alia segera menatap lelaki itu dengan tajam. “Gak usah galak gitu, lagian emang biasaan orangnya lempeng gitu saat sekitarnya terjadi huru-hara juga.”
Delon berdecak karena menyadari ekspresi Alia yang terlihat semakin tidak karuan itu. “Wanda sudah bilang dia hanya mau tidur awal, jadi jangan buat narasi yang tidak perlu.”