Braga, Portugal. Musim panas, 30 Juni 2018.
Christiana menerima pesan singkat di ponsel hijau lumutnya.
30-06-2018 10.00
Soy en Murcia ahora—Aku ada di Murcia sekarang.
“Dónde estás tú exactamente?—ada di mana kamu tepatnya?" Christiana, gadis berkulit tostado—cokelat gelap ala Spanyol—dan berambut cokelat keemasan, setengah berteriak di ponsel dengan suara altonya yang memekakkan telinga. Mengatasi suara penyedot debu yang tengah bekerja di ruang tamu. “Kita akan bertemu….”
Dibuka pintu ruang tamu berkusen kuning gading. Seketika menjerit terperanjat. “Ema…?” Mata cokelat gelap thin almond membelalak selebar bibir kecil dan tebalnya. Sepenuhnya terkejut karena makhluk yang baru saja mengabari lewat SMS sedetik lalu sudah ada di balik pintu. Menyeringai padanya tanpa merasa bersalah di atas high heels lima sentimeter yang bercorak cokelat muda, selaras dengan setelan formal ala kantorannya.
“Ya, ini aku,” ujar Ema seraya tertawa berderai sekilas. Menertawakan keterkejutan Christiana akibat kedatangannya yang tiba-tiba di depan pintu rumah. Aksennya saat berucap Spanyol sangat kental akan aksen Barcelona. Meskipun, dia sangat lancar mengucapkannya.
Ema dan Christiana tampak saling berpelukan beberapa saat lamanya, seperti layaknya seorang teman lama. Padahal, keduanya hanyalah teman lama sebatas dunia maya. Itu pun kalau masih bisa disebut teman.
“Quem é ela, amor?—Siapa dia, Sayang?" ujar suara tenor lelaki dalam bahasa Portugis ala Brazil.
Baru kali ini Ema menyadari kehadiran orang lain di tengah-tengah mereka. Seorang laki-laki dengan tinggi rata-rata orang Eropa—sekitar seratus delapan puluh empat sentimeter—tengah menatap ke arahnya sambil memegang alat penyedot debu model kuno. Namun, tak ada kesan Eropa yang membayang di wajah bulat cokelatnya, melainkan bias raut muka seorang Brazil sejati.
Ema tersenyum sekilas. Bukan pada laki-laki itu, tetapi pada alat penyedot debu yang tengah dipegang. Yang sama sekali tak jauh lebih sempurna dari penyedot debu milik ibu Ema.
Lelaki itu masih saja menatap mata hitam pekat Asian Ema lekat-lekat dengan mata almond cokelatnya seraya menilai. Pandangannya menelisik dari atas, ke bawah, ke atas, ke bawah. Jelas kurang sopan untuk seorang asing yang baru saja bertemu satu sama lain.
“Oh, eh, eu sou Ema. Ema Adriana Pereira—Oh, eh, aku Ema. Ema Adriana Pereira," ujar Ema buru-buru berucap seraya mengulurkan tangan ke arah lelaki itu.
“Ema Adriana Pereira?” ulang lelaki itu. Tampak dikerutkan kening dalam-dalam. Jelas merasa heran dengan nama lengkap Ema yang aneh bin ajaib. Terutama, karena Ema sanggup bertutur Portugis ala Brazil sefasih dia berbicara Spanyol ala Eropa. Apa pun latar belakang gadis di depannya, pasti dia termasuk makhluk yang berintelegensia tinggi.
Ema bergerak gelisah di tempatnya berdiri kini. Sementara Christiana, tidak mencoba berucap sesuatu untuk memecahkan percakapan perdana yang canggung dan sama sekali tak menyenangkan. Terutama, karena Ema tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan seorang yang mungkin berdarah Brazil di pertemuan pertama.
“Aku tahu jika namaku tidak normal untuk seorang Indonesia sepertiku,” ujar Ema mencoba menjelaskan. Kenyataan bahwa dia sama sekali tak menyukai nama pemberian orang tuanya yang waktu itu sedang tergila-gila dengan sebuah telenovela—entah produksi dari Mexico atau Peru—ketika Ema hampir terlahir ke dunia, sama sekali tak coba dijelaskan. Mungkin dia akan lebih bangga dengan nama de Rosa, di Napoli, atau Pellegrini, seperti milik teman-temannya di bentangan negara Italia.
“Bukan. Bukan begitu. Maksudku, aku merasa, pernah mendengar namamu,” ujar lelaki beralis seductive thick dan berhidung long and narrow yang sangat mancung itu menjelaskan maksud.
Tentu saja pernah, batin Ema miris.
Christiana pernah menjelaskan dalam surat elektronik bahwa dia berbagi tempat tinggal dengan pasangannya itu. Bahwa dia harus meminta persetujuan dari pasangannya terlebih dahulu untuk memberikan akomodasi sementara pada Ema. Ema harus menunggu hampir sebulan sebelum mendapatkan surat persetujuan akomodasi yang dimintanya. Surat persetujuan akomodasi itu bertandatangan Claudio. Nama pasangan Christiana. Kini lelaki itu menanyakan mengapa dia merasa pernah mendengar nama Ema.
Ema tak menjawab. Pandangannya dialihkan ke bagian depan rumah mungil. Bukan halaman yang terawat khusus, tetapi taman atau kebun di depan rumah mungil itu memiliki segalanya.
Segerombol penuh anggur hijau dan anggur tropis berwarna keunguan, serta buah plum yang merambat di atas anyaman semacam bambu tampak di sejauh mata memandang. Di lantai di bawahnya, merambat tanaman arbei, stroberi, dan raspberry.
Kebun itu juga disemarakkan bunga anggrek beraneka ragam yang merambat di sekeliling pagar air mancur berbentuk lumba-lumba. Selain itu, dilihatnya bunga mawar berwarna-warni, bakung, dan anyelir, serta beberapa bunga yang lazim ada di Spanyol dan Portugal—herbras, racunculus, dan gypsophila—yang berwarna kuning, merah muda, dan ungu di dekat tempatnya berpijak kini.
Di sudut belakang air mancur, terbentang rangkaian bunga matahari yang ditanam secara acak dan serabutan. Sejenak pandang, penampilan kebun bunga matahari itu mirip ladang bunga matahari di Toscana, Italia.
Ema menahan napas, terpukau. Sayang, air mancur itu tak sedikit pun mirip dengan Fontana di Trevi di Roma, batin Ema.
Christiana menarik koper kecil berwarna hitam metalik bawaan Ema tanpa berkata apa-apa.
Ema sendiri tengah melanjutkan lamunannya tentang ladang bunga matahari di Toscana. Pun, merasakan semilir angin di sekitar yang sama sekali baru dirasa di indra peraba. Dia tak menyadari bahwa Christiana telah berlalu dari sisinya.
Cuaca di Braga cukup panas dan menyengat bagi seorang Indonesia. Dipengaruhi oleh banyaknya pesisir pantai dan iklim Mediterania. Meski tergolong sejuk untuk ukuran internasional, dengan musim panas yang dingin dan kering.
Suhu rata-ratanya lebih dari 22° C atau sekitar 72° F. Terdapat empat bulan dengan suhu rata-rata lebih dari 50° F atau 10° C. Sehingga, menimbulkan bahaya dari embun beku selama musim dingin. Setidaknya, sebanyak tiga kali curah hujan turun dari langit selama bulan-bulan musim dingin yang merupakan bulan terbasah. Kontradiktif dengan musim panasnya yang merupakan terkering di Eropa.
“Kamu menyukainya?” Penasaran Claudio seraya mengikuti arah pandangan Ema.
“Eh?” Ema tergeragap. Terlebih, bukan karena terkejut. Dia hanya tak ingin makhluk di depannya bisa membaca pikirannya, sekecil apa pun itu.