Alghero, Sardegna, Italia. Musim panas, 22 Agustus 2015.
Ema tengah duduk tercenung di kantin kampus Università degli Studi di Sassari ketika Nino dan Diego tiba di hadapan. Di genggamannya terdapat secarik kertas lusuh bertuliskan angka-angka yang terlihat ditulis buru-buru. Hanya ada untaian kata singkat yang terpatri di dalamnya.
Chiamami! Fede—Hubungi aku. Fede.
Ada seutas senyuman yang kembali tersungging di sudut bibir busur Ema ketika membacanya untuk yang keseribu kali.
Nino mengintip tulisan itu dari balik bahu Ema. “Ehi, quindi, è il tuo regalo di ferragosto?—Wah, jadi ini hadiah ferragosto-mu?"
Diego ikut mengintip dari balik punggung Nino seraya menyeringai jahil. Hendak ikut menggoda sahabat karibnya sebelum Ema—yang baru menyadari kehadiran mereka—buru-buru menarik kertas itu, menyembunyikannya di balik jaket kampus yang berwarna biru gelap. Yang mengundang derai tawa dari Nino kemudian.
“Aku sudah membacanya, Em,” seru Nino gemas. "Jadi, dia lebih tampan dari Domenico, eh?” tanya Nino penasaran. Demi Don Juan kampus mereka pernah ditolak mentah-mentah oleh Ema. Hanya orang buta yang tak bisa melihat ketampanan dan keseksian Domenico di balik pakaian yang membungkus tubuh.
“No. Inoltre, non penso molto a lui—Nggak. Lagian, aku nggak terlalu memikirkannya." Ema tidak berbohong soal pernyataannya yang pertama. Federico memang sama sekali tak tampan untuk ukuran seorang Eropa—apalagi untuk ukuran seorang Italia. Mungkin justru kenyataan itulah yang membuat Ema merasa rileks ketika bersua dengannya di Pantai Alghero seminggu yang lalu. Namun, Ema sedikit tak jujur soal pernyataan kedua. Nyatanya, dia memikirkan Federico di jam-jam dalam seminggu terakhir ini—hampir di setiap aktivitas.
Entah mengapa cara Federico menyelipkan kertas waktu itu di balik saku celana soft jins merah mudanya terasa sangat mengganggu. Ema masih ingat kehangatan yang terpancar jelas dari sela-sela jemari tangan Federico saat menyelipkan kertas di balik saku celananya—bahkan dari ketebalan lapisan kain celana yang memisahkan raga Ema dengan jemari Federico. Ema juga tak bisa lupa dengan cara Federico menatapnya sedetik sebelum dia menghilang dari pandangan.
Rupanya ketidakjujurannya itu terbayang jelas di mata Nino. Yang menerbitkan komentar di bibir tipis nan lebarnya. “Benarkah?” tanya Nino tak percaya. Mata biru gelap droopy hooded-nya menelisik tajam demi mencari dusta di jerat mata Ema.
“Begitulah, Nino. Kau boleh percaya padaku atau tidak,” kesal Ema sebelum bangkit demi menghindari interogasi lebih lanjut dari kedua teman karib Italianya.
Diego yang berpostur lebih seksi dari Nino dan berkulit lebih gelap, mencekal lengan Ema ketika dia hendak melangkah menjauh. “Jangan lupa kabari kami kalau ada kemajuan. Kami tidak mau jadi orang kedua yang mengetahui kabar baikmu.”
Ema tak menjawab. Hanya meneruskan langkah, meninggalkan kedua sahabat karibnya. Jika bukan teman dekat Diego, mungkin dia sudah jatuh hati pada sosok nyaris sempurna di matanya itu.
Diego memiliki mata thin almond azzuri—biru langit khas Italia—jernih yang sangat sempurna, hidung turned-up yang terasa pas di wajah oval. Pun, rahangnya yang keras menggambarkan kemaskulinan tingkat pria Italia sejati. Belum lagi, tubuhnya yang seksi di balik kaus oblong ketat.
Namun, Diego selalu berpikir bahwa Ema bukanlah orang yang tepat untuk dijadikannya kekasih. Ema pun tak pernah mencoba mengubah garis tangan mereka. Mungkin dia agak terlalu kolot dalam hal itu. Sebagai orang Indonesia yang menjunjung tinggi persahabatan di atas segala. Juga seorang gadis Asia yang tabu berbicara cinta terlebih dahulu.
***
Realmonte, Agrigento, Sicilia, Italia. Musim dingin, 24 Desember 2015.
Ema mengenakan mantel musim dingin pertama yang diberikan Nino untuknya sesaat setelah tiba di stasiun kota itu. Nino sendiri kini tengah berada dalam pesawat menuju Prancis. Diyakinkan Ema lagi bahwa dia bisa ikut berlibur bersamanya di Prancis sesaat ketika Ema mengantarnya ke bandara sehari sebelumnya. Namun, Ema tetap berkelit mencari-cari alasan demi tak ingin mengganggu ketenangan Nino dalam menjenguk sang kekasih yang berada ratusan mil dari tempatnya menuntut ilmu.
Federico telah menunggu Ema sambil bersidekap menahan dingin di tengah-tengah stasiun. Bertudungkan topi—yang tak kalah tebal—yang jadi satu dengan mantel hangat hingga menutupi sebagian wajah buah pirnya. Sekilas wajahnya mirip dengan tokoh antagonis di film-film thriller seperti "I know what you did last summer" atau "Elsewhere".
Hampir saja Ema tak mengenalinya. Jika saja Federico tak langsung menghampiri kereta Ema begitu tiba di stasiun, menyambutnya layaknya sang putri.
Sebenarnya Federico menawarkan untuk menjemput di kediaman Ema atau dari Bandara Falcone Borsellino di Palermo, tetapi Ema menolak tegas tawaran itu. Untuk tawaran yang pertama, dia belum siap untuk memperkenalkan Federico pada temannya yang mana pun juga di Sardegna. Alasan yang kedua, dia tak mau terlalu tergantung pada lelaki. Karena, terlalu tergantung akan membuat otaknya menjadi lumpuh dan tak waras.
Entah sudah berapa banyak teman Indonesianya yang frustasi gara-gara lelaki, mulai dari depresi dengan menenggak obat-obatan terlarang, gila kambuhan, hingga bunuh diri dan hanya tinggal nama. Bagaimanapun juga, Ema tak ingin menjadi bagian dari salah satunya. Dengan lelaki Italia yang rata-rata lebih memesona di mata orang Indonesia, depresi yang akan terjadi di kemudian hari, bisa saja berkali lipat lebih akut dan mengerikan.
“Non hai bisogno d’andare a trovarmi qui, Fede. Io personalmente posso cercare il tuo appartamento—Kamu tidak perlu menjemputku ke sini, Fede. Aku secara pribadi bisa mencari apartemenmu." Ema tak sedang berbasa-basi. Dia telah melupakan budaya itu sejak dia menginjak teritori Italia pertama kali. Setelah hampir setengah tahun berdiam di Italia, Ema merasa tak memerlukan pemandu wisata lagi untuk menjemputnya di seluruh wilayah Italia.
Federico melebarkan senyum seraya mengambil alih tas jinjing merah muda dan koper abu-abu metalik Ema dari genggaman. Tampak sepenuhnya tak malu, menyelipkan tas jinjing berwarna merah muda dengan model sangat feminin itu di lengannya yang kokoh. “Aku tidak bisa membiarkan seorang gadis yang memahamiku dengan sangat baik tersesat di kota kecilku,” ujarnya seraya mengedipkan mata kepada Ema.
“Memahamimu dengan sangat baik?!” seru Ema tak mengerti.
“Ya!” serunya seraya mendekap pinggang Ema—tanpa menjelaskan lebih lanjut—dengan sebelah tangan yang masih kosong. Ada semangat berapi-api yang menyala di kedua bola matanya saat mengiyakan ucapan Ema.
Ema terperanjat. Rupanya Federico termasuk orang yang suka memegang pada perjumpaan kedua. Namun, Ema membiarkan saja tangan itu berada pada pinggangnya demi mengusir sedikit rasa dingin.
“Hmmm… ceritakan padaku tentang pacarmu,” ucap Federico sesaat setelah mereka melompat ke bus nomor dua.
Federico begitu berbaik hati membelikannya tiket bus tanpa diminta oleh Ema. Ema sangat bersyukur akan itu, mengingat kota itu kini telah berselimutkan kabut dan kegelapan malam.
Ema ingin tiba secepat mungkin di apartemen Federico. Bermandikan air hangat dan melingkar di balik selimut tebal. Dia bahkan tak keberatan jika Federico menyuruhnya untuk tidur di depan perapian ruang tamu. Lagi pula, dia sama sekali tak tertarik untuk menyusuri sudut-sudut kota di malam itu. “Aku tak punya pacar.”
“Ah...!” seru Federico. Tampak jelas merasa lega.
Ema sedikit tak mengerti dengan rasa lega yang dilepaskan Federico sesaat lalu. Dia masih bertanya-tanya akan apa kira-kira yang melintas dan tebersit di pikiran Federico tentangnya.