Cagliari: Hentakan Cinta di Segala Musim

Riskaninda Maharani
Chapter #3

BAB III (KENANGAN CAGLIARI SEPANJANG MUSIM)

Cagliari, Sardegna, Italia. Musim semi, 14 Juni 2017.

Tak terasa sudah setahun Ema berada di Italia demi mengenyam beasiswa dari pemerintah Italia. Kekurangan uang saku akibat kiriman-kiriman yang harus dilaluinya demi keluarga di Indonesia hampir tak dirasakan. Akibat, perhatian dari Nino dan beberapa teman baiknya. 

Hari itu dia harus meninggalkan Republik Italia. Karena beasiswa dan kuliahnya telah usai. Nino, yang asli Sicilia, akan kembali ke kampung halamannya sebelum mengikuti sang kekasih berdomisili di Marseille, Prancis.

Hingga detik itu, Ema belum tahu seperti apa gadis yang membuat sahabat baiknya jatuh hati. Nino tak bersedia memperkenalkannya sebelum mereka resmi menjalin hubungan yang lebih. Sedangkan, akhir dari kuliah Nino itu akan menghantarkannya menjalin hubungan lebih ala Italia. Kumpul kebo. Sebelum akhirnya mereka legal bertunangan.

Tebersit di benak Ema untuk ikut Nino ke Sicilia. Menjenguk keluarga Nino di sana, merajut kenangan bersama yang tak akan terlupakan sepanjang masa. Yang lebih penting, sebagian hati Ema selalu ingin lagi dan lagi kembali ke Sicilia karena seseorang.

Namun, seseorang tersebut seakan tidak mengerti akan perasaan dan detak jantungnya. Hingga melewatkan ciuman pertama mereka begitu saja, seperti salju yang telah mengganti musim. Menguap, tak bersisa. Hilang, tak berbekas. 

Bandara udara internasional Cagliari Elmas di hari itu agak sesak dengan deretan pelajar yang hendak pulang kampung, juga deretan turis yang ingin menikmati musim panas di Italia—hanya demi tidak ingin kehabisan akomodasi di musim panas—bahkan, jika mujur masih bisa mendapatkan sisa-sisa penerbangan dan akomodasi murah khas musim semi. Maklum, Cagliari termasuk salah satu destinasi wisata terbaik di Italia, bersama-sama dengan Palermo, Venesia, dan Pisa. Belakangan ini, destinasi wisata juga meningkat di beberapa daerah Italia, semacam Pompeii, Capri, dan Costiera Amalfitana. 

Nino dan Ema duduk bersisian selama tiga puluh menit di ruang tunggu bandara—di kursi keras nan lebar bandara bercorak biru pekat dengan pegangan besi berwarna hitam—ketika speaker di ruang tunggu berbunyi yang kedua kali. Memanggil para penumpang dengan tujuan Singapura.

Sebenarnya Ema tak akan memakai penerbangan itu jika bukan Nino yang memaksa untuk menerima tiket pemberian. Maklum, penerbangan rute Italia-Singapura sangat tak bersahabat dalam masalah biaya. Mungkin Ema lebih suka transit di Qatar atau di Abu Dhabi. Meskipun, dia belum terlalu familiar dengan iklim situasi negara-negara Timur Tengah. 

Ema bangkit dari duduk. Menoleh ke belakang punggung. Ke arah ruangan bercorak serba putih terang di sejauh mata memandang. Dari ubin marmernya yang mengilat, susunan batu bata yang membentuk sekat-sekat dinding berdesain balok, sudut kisi-kisi kaca jendela, langit-langit, hingga besi lengkung setengah lingkaran yang bersekat kotak-kotak di tiap inci plafon. Berharap, Diego atau makhluk satu yang dirindukan akan muncul. Namun, tak ada tanda-tanda kemunculan kedua makhluk itu.

Nino tersenyum samar, nyaris masam di tempatnya. “Diego tak akan datang jika dia yang kautunggu. Baginya, melepaskanmu selalu merupakan hal yang berat, Ema. Untuk ke manapun dan dengan siapa pun.” 

Nino berjalan mendahului Ema ke depan pintu ticketing—usai mengucapkan kalimat terselubungnya—sembari menyeret koper kecil berwarna abu-abu dan hitam milik Ema. 

Jika dalam kondisi normal dan tidak tertekan, mungkin Ema akan bisa berpikir lebih jernih akan maksud dari kata-kata Nino. Namun, kabut kesedihan dan kedukaan tak berujung yang dirasakan ketika harus meninggalkan Italia dan sahabat terbaiknya menggelapkan kabut pikir.

Ema sendiri hanya memilin-milin tas jinjing berwarna merah muda. Teringat, ketika dulu Federico pernah membawakan tas itu untuknya. Belum pernah ada lelaki Italia lain atau pria mana pun yang bersedia membawakan tas bercorak girlies itu untuknya. Pun, Nino, sahabat yang sangat mengerti Ema luar dalam. Maupun, sosok semacam Diego, yang terkenal lebih mampu memikat hati wanita. Bahkan, Don Juan seperti Domenico yang pernah ditolaknya mentah-mentah.

Ema tak tertarik pada Domenico. Yang mengganti perempuan sesering mengganti celana dalam. Pun, memperlakukan wanita tak ubah seperti botol anggur putih. Yang ditenggak isinya, lalu dibanting wadah kosong ke dinding terjauh. Namun, Federico beda. 

Ema memegang tali tas jinjing di lengannya yang tiba-tiba terasa beberapa puluh kilogram lebih berat, akibat pikiran itu. Dia sadar, masih berharap datangnya keajaiban yang akan membawa Federico ke pelukannya. Namun, sepertinya itu tak akan terjadi.

Beberapa menit lagi, Ema akan berada di pesawat yang menghantarkan beribu-ribu mil jauhnya dari tempat Federico berada.

“Kekasihmu tak datang?” tanya Nino datar. 

Ema tak punya kekasih. Siapa pun tahu itu. Namun, Nino selalu bersikeras bahwa Federico satu-satunya kekasih terbaik Ema dan cintanya dalam hidup. 

Ema menggeleng lirih. 

“Kalau kauberikan alamatnya kepadaku, aku akan mampir ke sana dan menjelaskan keadaanmu,” tawar Nino. Kini kedua mata biru gelap droopy hooded-nya menatap Ema sungguh-sungguh. “Aku tak ingin membiarkan sahabat terbaikku kehilangan cintanya lagi.”

“Aku baik-baik saja, Nino.” Ema berucap agar tampak sungguh-sungguh. Namun, bibir busur sedikit berkedut ketika dia melantunkan kata-katanya.

Nino melepaskan kedua koper dari genggaman tanpa mengomentari kilahan Ema tentang perasaannya. Tak ada gunanya berdebat panjang pada saat perpisahan mereka. Toh, dia sudah menawarkan hal terbaik pada Ema. Dari soal ikut bersamanya ke Sicilia, menelepon Federico dan mengabarkan akan kepulangan Ema yang lebih cepat beberapa hari, hingga hendak menyampaikan salam pada Federico langsung ke apartemennya. Namun, semua itu ditepis mentah-mentah oleh Ema. Tak ada lagi yang bisa Nino lakukan, kecuali membiarkan prinsip gadis Indonesia—yang tabu memberikan sinyal cinta terlebih dahulu—itu tetap dipertahankan oleh Ema hingga akhir napas. 

“Balikkan badanmu,” ujar Nino sesaat setelah mereka berada lima meter di depan pintu ticketing. 

Ema menurut saja tanpa mengerti apa maksud dari perkataan Nino.

Dengan gerakan secepat kilat, Nino melingkarkan sebuah kalung berbentuk hati yang patah ke leher jenjang Ema. Ada gambar foto Ema dan Nino yang tengah berpelukan terpatri di dalamnya. “Sebelah hatinya ada padaku,” terangnya. 

Ema membalikkan badan, melihat Nino kini memperlihatkan sebuah kalung yang menggantung di balik kemeja katun kotak-kotak hijau toscanya. 

Ema menangis. Sepenuhnya merasa sesak napas. Nino adalah sahabat terbaiknya, tak hanya di Italia dan sepanjang empat musim. Namun, di sepanjang hidup dan di seluruh belahan negeri. “Aku sayang padamu, Nino. Teramat sangat.” 

Nino menggapai wajah Ema dengan jemari lentiknya. “Aku juga sangat menyayangimu, Ema. Kalau kau merindukanku, kecuplah kalung itu. Mungkin akan menghantarku dalam mimpi tidurmu,” ujarnya seraya mengecup kening Ema dengan sepenuh rasa khidmat. 

Ema terisak semakin menjadi. Tanpa Nino, tak akan ada lagi teman curhatnya. Teman yang bersedia memberikan bahunya ketika dia menangis. Sahabat yang bersedia membelai rambutnya ketika dia terluka. Mendengarkan semua omelan ketika dia tengah tergila-gila pada seseorang. Pun, jika perasaannya itu sangat di luar logika manusia. Teramat absurd dan mustahil. Semua ketidakwarasannya itu karena Federico.

Saat itulah seseorang muncul di tengah-tengah mereka. “Ema?!”

Ema yang tengah memusatkan perhatian pada ciuman Nino di kening, seakan ingin menguburkan dirinya sendiri di neraka terpanas dunia. Ciuman kening itu murni persahabatan. Namun, siapa pun yang tak mengerti benang merah keterkaitan antara Nino dan dirinya bisa saja salah sangka. Sedangkan suara bass yang sangat dirindukannya itu membuat nyaris pingsan karena rasa bersalah.

“Fede? Ini Nino. Teman seperjuanganku di universitas. Sahabat terbaikku. Dia hendak terbang ke Marseille sebelum mengantarku ke bandara terlebih dahulu. Tentunya, setelah dia usai pulang kampung. Dia akan tinggal satu apartemen dengan kekasihnya di Marseille. Mereka sudah menjalin hubungan selama lima tahun….”

Nino yang mendengar ceracauan tak penting Ema hanya menaikkan alis dramatic natural-nya dengan tajam ke arah atas. Merasa aneh dengan pernyataan Ema yang tak perlu. Pun, tak ada yang bertanya tentang detail itu. Saat itulah Nino tahu, gadis di depannya itu tengah jatuh cinta. Tak hanya obsesi dan kegilaan buta pada sosok Federico seperti yang selama ini diakuinya.

Nino hendak mengulurkan tangan dan membuka bibir tipis nan lebarnya untuk mengklarifikasi kebenaran ketika Federico tiba-tiba menarik Ema ke dalam pelukan. Mencium Ema tepat di bibir dengan kerinduan yang tak terjelaskan. Hingga Nino merasa, Federico sama sekali tak butuh penjelasannya. 

Nino menarik tiga langkah mundur, membiarkan dua sejoli itu menyelesaikan masalah mereka sendiri.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi pada tahun baru lalu di stasiun distrikku. Aku takut, itu hanya obsesi sesaat karena kau sangat cantik dan menarik di mataku. Aku tak ingin melukai gadis Asia sepertimu dengan hubungan singkat, Ema. Meskipun, aku tak terbiasa juga berganti pasangan. Namun, setelah puluhan minggu kulalui tanpa dirimu, aku sadar, aku butuh dirimu. Tundalah keberangkatanmu. Ikutlah aku ke Realmonte. Tinggallah bersamaku! Lalu, cari tahu apakah kita cocok atau tidak untuk melangkah lebih lanjut.”

Baru kali itu Federico berbicara panjang lebar tanpa berhenti. Mengingat, dia tidak setipe dengan Nino yang sangat sensitif dan emosional. Federico cenderung dingin dan hanya berbicara kalau perlu.

Ema merasa gamang. Bagaimanapun, sesuatu yang ditawarkan oleh Federico itu bukanlah budaya negerinya. Orang tuanya pasti tak akan setuju jika dia jujur akan hubungan baru yang diinginkan Federico. Diliriknya Nino yang kini mengambil tempat di salah satu kursi bandara di dekat mereka—tepat di dekat sebuah pot tanaman dari keluarga Coniferae—demi meminta pertimbangan.

Nino mengangguk, seakan tahu ke arah mana pertanyaan Ema ditujukan.

Ema pun mengangguk lirih tanpa berani menatap mata Federico. Dia tak tahu pasti akan perasaan Federico padanya. Hanya kebutuhan pada Ema untuk tinggal bersama atau lebih dari itu.

Federico memeluknya erat dan menciumi rambut hitam kecokelatan—yang dipotong asimetris dan agak pendek—serta kening Ema bertubi-tubi. Mengundang tatapan beberapa orang di bandara. Termasuk, dari penduduk lokal sendiri.

Maklum, orang Italia tidak termasuk tipe yang suka berciuman terlalu ganas dan lama di depan publik. Kecuali, sebagian remaja yang ingin memamerkan kegilaan pada khalayak ramai. Sedangkan lelaki di depannya yang berusia sekitar dua puluh limaan, jauh dari kesan remaja. 

Seakan tak peduli dengan tatapan penasaran beberapa orang yang lalu lalang. Pun, pandangan yang lebih tajam lagi dari beberapa turis Asia yang menatap langsung tanpa basa-basi, Federico melanjutkan kegiatannya. Menciumi pipi, hidung, bibir, dan dagu Ema bertubi-tubi dengan sepenuh rasa sayang.

Setelah cukup puas dalam mengungkapkan kebahagiaan, Federico mengajak Ema duduk di ruang tunggu dalam bersama Nino. Kali ini di ruang tunggu dalam di sisi penerbangan lokal. Masih dua jam lagi sebelum pesawat yang akan membawa mereka dan Nino ke Sicilia lepas landas. 

Nino tertawa lebar melihat Federico menunjukkan tiket dengan nomor kursi yang bersisian dengan nomor kursinya di dalam pesawat. Tampaknya Federico telah meyakinkan siapa pun itu yang telah mem-booking kursi di samping Nino untuk bertukar tempat duduk. Mengingat, tempat duduk di samping Nino telah terisi sebelum dia mem-booking-nya.

“Kalian tidak sedang bersekongkol, kan?” curiga Ema.

Lihat selengkapnya