Di pagi yang cerah, Pak Fazwan sudah rapih dengan memakai pakaian formal. Sang istri, Abidah membantunya memasangkan dasi.
"Abi pamit ya, Umi." Sang istri mencium punggung tangan suaminya sebelum mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum."
"Wa’alaikumus salam," jawab Umi Abidah, kemudian Abi Fazwan beralih ke Azmi yang ingin mencium punggung tangan Abi-nya. Abi pun berangkat pergi ke kantor.
Setibanya disana, Abi Fazwan disibukkan dengan pekerjaannya. Pak Vahar, selaku atasannya, merasa sangat senang melihat salah satu karyawannya yang terlihat tekun dan giat dalam bekerja.
Tak pernah sekalipun ia mengeluhkan tentang pekerjaannya. Dan tiba-tiba saja ia berpikir untuk menaikkan jabatannya karena ia sudah mulai mempercayai karyawan tersebut.
"Fazwan!" Pak Vahar menghampiri mejanya. Pria itu lantas berpaling dari layar monitor di depannya dan bangkit dari duduknya.
"Ada apa, Pak?" tanya Fazwan sedikit menundukkan kepalanya.
"Bisa kamu masuk ke ruangan saya?" Fazwan sontak terkesiap. Ia merasa tegang sekaligus bingung. Ada apa? Apa yang ingin dibicarakan? Kesalahan apa yang telah dilakukannya.
Fazwan langsung over thinking. Namun ia menganggukkan kepalanya dengan cepat sembari menjawab. "Iya. iya, Pak! Saya segera ke ruangan bapak."
"Saya tunggu, ya!" Pak Vahar pun beranjak pergi. Pria itu memegang dadanya yang berdebar-debar, takut hal yang tak diinginkan terjadi.
Fazwan pun beranjak menuju ruangan Pak Vahar. Desas desus para karyawan pun mulai membicarakannya.
"Si Fazwan di suruh ke ruangan bos. Apa dia bakalan di pecat?" bisik Gaffar kepada rekan yang duduk di sampingnya.
"Gatau gua. Tapi mudah-mudahan dia dikeluarin dari kantor ini," timpal Pak Zidan yang juga tidak menyukainya.
Kini Fazwan sudah berdiri di depan pintu atasannya. Ia terus menghela napas berulang kali dan berusaha menghilangkan rasa takutnya untuk menghadapi atasan.
Ia memang tak melakukan kesalahan apapun, tapi pikirannya masih kemana-mana.
Ia mengangkat tangan kanannya dan mulai mengetuk pintu. "Masuk!" teriak Pak Vahar yang sudah tahu, siapa diluar sana.
"Bismi-llāhir-raḥmānir-raḥīm." Ia berserah diri kepada Allah dan memantapkan langkah kakinya untuk memasuki ruangan tersebut.
"Duduk!" titah Pak Vahar. Fazwan pun menghampiri kursi yang ada di hadapan pria berengos itu.
Fazwan tak bisa menghilangkan kegugupannya. Pria itu sangat takut kalau ia akan diberhentikan karena kini baru pertama kalinya ia dipanggil atasan.
"Kenapa kamu terlihat begitu gugup?" tanya Pak Vahar terus memperhatikannya. Bulir-bulir keringat pun tak berhenti keluar di keningnya hingga membasahi alisnya.
"Uhmm ... kalau boleh tahu, kenapa bapak memanggil saya, ya?" tanya Fazwan, penasaran.
"Kamu kan sudah lama bekerja disini dan kamu juga selalu disiplin, kerja keras dan rajin. Karena kantor sedang membutuhkan manajer keuangan segera, saya rasa ... kamu pantas menempati posisi itu."
Fazwan terbelalak. Ia tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. "Maksud bapak?" Ekspresinya kebingungan saking syoknya.
"Kamu naik jabatan!" jelas Pak Vahar. Wajah Fazwan seketika berseri-seri mendengar hal tersebut.
"Yang benar, Pak?" tanyanya masih ragu.
Pak Vahar mengangguk. "Iya! Karena saya percaya sepenuhnya kepada karyawan sepertimu, yang rajin dan jujur. Saya yakin kalau kamu pasti bisa mengelola keuangan perusahaan dengan baik."
Mendengar jawaban itu, senyumnya seketika merekah. Ia sontak mengucap syukur, "Alhamdulillah! Terima kasih banyak, Pak!"
"Iya. Saya ucapkan selamat!" Pak Vahar tersenyum kepadanya.
Fazwan meminta izin keluar setelah berjabat tangan dengannya. "Kalau begitu, saya izin menyelesaikan pekerjaan saya yang belum tuntas."
"Iya, silahkan. Besok, kamu langsung pindah ke ruangan manajer, ya!" ujarnya membuat pria itu sangat bahagia.
"Iya, Pak! Terima kasih banyak." Fazwan pun keluar ruangan.
Begitu ia keluar, Gaffar dan juga Zidan langsung menghampirinya. Fazwan sontak merasa heran sekaligus bingung kepada kedua rekan kerjanya yang tersenyum menatapnya.
"Hi, Bro! Kenapa lo dipanggil si bos?" tanya Gaffar penasaran. Mereka berpikir kalau hari ini merupakan hari terakhir Fazwan berkerja.
"Alhamdulillah. Saya naik jabatan," jawab Fazwan membuat mereka tersentak.
"Apa!" teriak mereka sama-sama terkejut. Fazwan pun dibuat bingung dengan reaksi mereka yang sangat terkejut bahkan terlihat tidak senang mendengar kabar baik tersebut.
"Kenapa kalian terkejut seperti itu? Apa kalian tidak senang mendengar saya naik jabatan?" tanya Fazwan.
Mereka sontak tertawa dan bersikap sok ramah kepadanya. Gaffar langsung merangkulnya. "Enggak! Justru kita itu kaget denger lo naik jabatan. Kita bener-bener seneng, bener-bener bahagia denger lo naik jabatan."
"Omong-omong, lo naik jabatan jadi apa?" tanya Zidan penasaran. "Jadi manajer yang mengelola toilet?" Mereka sontak tertawa terbahak-bahak.
"Bukan. Saya naik jabatan jadi manajer yang mengelola keuangan," jawab Fazwan membuat tawa mereka terhenti.
"Lo serius?" tanya Gaffar tidak percaya.
Fazwan menjawab sembari mengangguk. "Iya. Yasudah, saya lanjut kerja dulu." Ia beranjak duduk ke tempat duduknya dan melanjutkan pekerjaannya.
"Gila! Si Fazwan naik jabatan. Padahal kan gua yang lebih lama kerja disini, tapi gak pernah gua naik jabatan?" keluh Gaffar sembari berkacak pinggang.
"Gua juga udah mati-matian cari perhatian atasan, tapi malah dia yang dapet posisi yang enak!" dengus pria itu.
"Sshhh. Lu nge-gerutu boleh, tapi jangan kenceng-kenceng dong. Kedengeran yang lain, lapor keluhan lu soal Fazwan, malah lu dapet masalah nanti gimana?" bisik Zidan.
"Hari ini si Fazwan bisa ngerebut posisi yang lu inginkan dari dulu, nanti dia bisa aja singkirkin lu dari tempat ini!" Zidan berupaya memprovokasi Gaffar untuk membuatnya semakin membencinya.
"Gak! Gua gakan biarin hal itu terjadi. Sebelum dia menyingkirkan gua, gua bakalan buat dia jadi pengangguran!" geramnya.
"Gimana caranya?" tanya Zidan, penasaran.
"Nanti lu juga tau!" jawabnya sembari tersenyum licik.
Saat jam istirahat tiba, Gaffar tiba-tiba saja datang untuk memberikannya kopi yang ia beli dari kantin. Sebagai ucapan selamat darinya atas pencapaiannya.
Pria itu tak langsung menerimanya. Ia tersenyum lalu menolak secara baik-baik. "Wah ... Terimakasih banyak. Tapi, saya sudah ada bekal yang sudah dibuatkan istri saya. Saya sudah ada kopi dan makan siang."
"Yah ... Lu jangan gak menghargai pemberian gua dong! Gua beli khusus buat lu sebagai tanda ucapan selamat dari gua." Gaffar terlihat kecewa.
"Nih kopi, bisa lu minum nanti. Kerja sambil ngopi kan enak. Mata jadi seger, ya, kan?" Gaffar terus membujuknya. Fazwan yang merasa tidak enak menolak pemberian darinya, pada akhirnya ia mau menerimanya.
"Baiklah. Terimakasih banyak, ya! Kau benar-benar teman yang begitu perhatian!" ucap Fazwan sembari tersenyum lebar.