Seorang wanita paruh baya tengah menunggu kepulangan menantunya. Sesekali netranya melirik ke arah jarum jam yang terus berputar ke kanan.
Sinar Baskara berangsur padam, tenggelam di ufuk barat. Matahari masuk ke dalam cakrawala hingga cahaya aram benar-benar hilang. Kedua insan itu masih belum menampakkan batang hidung mereka. Pikirannya mulai cemas.
Sekitar pukul tujuh malam, akhirnya Vahar-putranya pulang. "Mah, aku pulang."
Wanita itu langsung tersenyum sumringah menatap raga gagahnya yang berdiri di ambang pintu, lalu berjalan ke arah ibunda tercinta yang langsung menyambutnya dengan senyuman hangat bercampur perasaan lega karena kegelisahan dihatinya telah sirna, melihat putranya baik-baik saja.
Ternyata kecemasannya hanya sekedar rasa khawatir seorang ibu kepada anaknya. Pria berengos itu langsung mencari sosok jelita dirumahnya yang megah.
"Dimana Sarah, Mah?" tanya pria berhidung mancung itu yang tengah mencari aroma masakan. Namun ia tak mendapatkan aroma lezat yang selalu ia dapatkan saat dirinya pulang bekerja.
"Kok aku tidak mencium aroma masakannya?" tanyanya lagi, terheran-heran. "Ia janji mau membuatkan masakan favoritku."
"Lho ... bukannya Sarah menemuimu di kantor?" Mamah Monic bertanya balik. Tatapannya terlihat bingung. Bahkan keduanya saling pandang dengan raut kebingungan. Kemana Sarah pergi?
"Mamah tadi nitip Gurame Bakar kepada Sarah, kan? Kenapa dia belum pulang juga?" tanya Vahar kepada ibunya yang juga tak tahu jawabannya.
"Dia belum pulang. Dari tadi mamah menunggu kalian berdua di rumah," jawabnya. "Lagian, kalaupun mengantri, tak mungkin sampai selama ini?"
"Kita tunggu saja Sarah pulang," ujar Vahar. Pikirannya sudah kemana-mana. Ketakutan terbesar terhadap istrinya membuat pria tampan itu cemas. Namun ia berusaha untuk tetap percaya dengan menghilangkan pikiran buruk terhadap istrinya.
Lama mereka menunggu di ruang tengah. Pria itu terus saja mundar-mandir seperti setrikaan. Hatinya gelisah tak karuan. Begitu pula dengan mamah Monic yang tak bisa berhenti memikirkan menantunya itu.
Hingga mereka mendengar suara ketukan pintu. Mereka yang sudah lama menunggu kepulangannya, lekas membukakan pintu. Melihat penampilannya membuat mereka sontak terkejut.
"Darimana saja, kau?" tanya Monic-Ibu mertuanya kepada menantunya yang terlihat berantakan, rambut acak-acakan, bahkan kancing bajunya tak rapih membuat mereka curiga.
Sarah terdiam. Mulutnya bungkam. Ia takan mungkin bisa menceritakan apa yang telah terjadi padanya. Namun tatapan mereka begitu mengintimidasinya.
"Kenapa kamu diam, Sarah? Jawab pertanyaan mamah!" sergah Vahar menatap istrinya tajam. Kelopak mata kencang dan lurus serta kedua alisnya menyatu. Sudah dipastikan bahwa ia sangat marah.
"Bukankah mamah hanya menyuruhmu untuk membeli Gurame Bakar. Tapi kenapa kau pulang selarut ini? Sehabis dari kantor, kau pergi kemana?" Mamah Monic terus mencecarnya karena menantunya hanya bergeming.
"Tadi siang kamu terlihat pergi dengan tergesa-gesa. Kamu bilang kamu cuma mau beli pesanan mamah, tapi kenapa kamu baru pulang?" Kedua matanya menyipit. "Jangan-jangan, itu cuma alasan kamu doang supaya gada yang curiga kalau kamu mau kencan dengan selingkuhanmu. Ya, kan!"
Semua tuduhan itu membuat Sarah frustasi. Pada akhirnya mulutnya pun bersuara untuk membela diri. "Dengarkan aku dulu! Aku bisa menjelaskan apa yang telah terjadi."
Sarah menoleh sekitar terlebih dahulu. Takut ada tetangga yang mendengar. "Tapi lebih baik, kita bicarakan semua ini di dalam."
"Sudahlah. Ceritain semuanya di sini aja. Masalah ada tetangga yang mau dengar, ya ... itu urusan kamu. Itu aib kamu. Kamu yang berbuat kamu harus tanggung malu sendiri!" hardiknya.
Perkataan yang dilontarkan oleh ibu mertuanya barusan sangat menghujam jangtung dan hati Sarah sekaligus. Air mata yang sedari tadi dibendung, akhirnya lolos. Perlahan pipinya memanas seiring dengan air mata yang telah dibendungnya sedari tadi.
"Sudah, Mah. Lebih baik kita bicarakan ini di dalam. Malu nanti ada tetangga yang dengar," bisik Vahar.
"Kenapa kita harus malu? Dia yang harusnya malu sama perbuatannya sendiri!" dengus mamah sembari memandang menantunya dengan tatapan sinis.
"Mah ..." Bujukan putranya akhirnya membuat ibunya mengalah. "Ya, sudah. Ayo masuk!" titah wanita itu yang sudah lebih dulu masuk ke rumah. Vahar dan istrinya pun ikut masuk.
Ketika kakinya sudah di dalam rumah, mamah Monic terus menginterogasinya. "Ceritakan semuanya. Ceritakan dengan jujur semua yang telah terjadi!"
"Aku ... aku ...." Sarah tak sanggup menceritakan kepada mereka. Dirinya begitu terpukul dengan kejadian tak pernah terbayangkan olehnya. Air mata langsung mengalir dengan derasnya membasahi pipi dengan polesan make up.
"Eh ... malah nangis! Cepetan ceritain semuanya. Udah malem, nih ... ngantuk!" umpat mamah dengan suara lantang.
"Kamu punya mulut, kan? Cepat jawab pertanyaan mamah!" bentak Vahar terdengar lebih lantang dari ibunya. Suara Vahar membuat wanita itu tersentak, karena ini adalah untuk pertama kalinya suaminya marah kepadanya.
"Aku bilang jawab!" bentak Vahar. Mendengar Huru-hara yang terjadi di dalam rumah, membuat putra kecil mereka terbangun dari tidurnya. Ia bergegas keluar kamar untuk melihat apa yang telah terjadi.
"Ada apa sih ribut-ribut?" tanya Bi Siti ketika melihat Pak Johan ternyata diam-diam ingin menyaksikan perdebatan mereka.
"Gatau nih. Kayanya bapak lagi berantem sama si ibu," bisik Pak Johan.
"Ada apa sih, Bi? Kenapa ayah teriak-teriak?" tanya Kharel sembari mengucek mata.
"Eh ... nak Kharel kenapa bangun? Ayo tidur lagi, sayang." Pak Johan berusaha membujuk putra majikannya agar kembali ke kamar.
Mereka sontak menoleh melihat anak usia 6 tahun itu terlihat mengantuk. Sarah pun menatap Mas Vahar lalu berkata, "Nanti aku jelaskan semuanya, Mas. Setelah Kharel tidur. Aku tidak mau dia mendengar semuanya."
"Ayah sama Ibu kenapa berantem sih? Kharel kan harus tidur. Besok ada les, jadi tidak boleh terlambat!" gerutu anak itu yang kesal karena tidurnya terganggu.
Sarah pun menghampiri putranya, lalu mensejajarkan posisinya. "Maaf ya nak kalau kami sudah mengganggu tidurnya Kharel. Sekarang Kharel tidur, yuk! Ibu temenin, ya?"
Mamah Monic langsung menarik tubuh Sarah menjauh dari putranya. "Enggak bisa! Kamu harus menjawab semua pertanyaan suami kamu!"