Cahaya Cinta

May Marisa
Chapter #6

Aku tidak selingkuh, Mas #6

Kediaman Vahar berubah menjadi manis. Vahar, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya dan selalu mengabaikan istrinya, sekarang ia mulai membantu Sarah dalam memasak dan membersihkan rumah. Istrinya merasa heran dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba ini.

"Sudah selesai, sayang. Aku sudah selesai masak," ucap Vahar dengan senyum manis di wajahnya.

Sarah terkejut dan tersenyum. "Terima kasih, Mas. Aku benar-benar terkejut dengan sikapmu yang tiba-tiba manis seperti ini."

Vahar memegang tangannya untuk menyuruhnya duduk. Ia pun duduk di samping Sarah sembari memegang tangannya. "Aku tidak tega melihatmu selalu kelelahan, sayang. Akhir-akhir ini aku menyadari bahwa aku tidak pernah bersikap baik padamu. Aku ingin memperbaiki hubungan kita dan ingin menemanimu di rumah. Kau selalu sendirian karena kesibukanku."

Sarah merasa terharu mendengar perkataan Vahar. Meskipun dia merasa heran dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba, dia menghargai usaha Vahar untuk berubah. "Terima kasih, Mas. Aku menghargai usahamu untuk berubah. Tapi jangan khawatirkan diriku. Aku bisa mengurus pekerjaan rumah sendirian. Kamu harus pergi bekerja."

Vahar menggenggam tangan Sarah dengan penuh kasih sayang. "Aku tahu kamu bisa mengurus semuanya sendiri, tapi aku ingin berada di sini untukmu. Aku ingin memberikan dukungan dan cinta yang kamu butuhkan. Biarkan aku mengurusmu, sayang."



Mereka berdua saling tersenyum dan merasakan kehangatan dalam hubungan mereka yang baru saja diperbaiki. Vahar berjanji untuk lebih menghargai dan memperhatikan Sarah, sementara Sarah berjanji untuk menerima bantuan dan dukungan dari Vahar.

Perubahan sikap Vahar ini membawa kedamaian dan kebahagiaan ke dalam rumah tangga mereka. Mereka berdua bersama-sama menghadapi tantangan dan menikmati momen-momen indah bersama.


"Terima kasih, Mas, atas perhatianmu yang tulus. Aku benar-benar menghargainya. Tapi sekarang kamu harus berangkat kerja, Mas. Jangan khawatirkan diriku terlalu banyak."

"Tapi, Sarah, aku ingin benar-benar ada untukmu. Aku ingin mengurangi bebanmu dan ingin membagi waktu sebentar untukmu."

"Aku tahu, Mas. Dan aku sangat menghargainya. Tapi kamu juga memiliki tanggung jawab dalam pekerjaanmu. Aku bisa mengurus pekerjaan rumah sendirian. Jangan khawatirkan aku."

Vahar menghela napas. "Tapi...."

Sarah tersenyum lembut. "Mas, kamu adalah suamiku yang penuh tanggung jawab. Aku tahu betapa pentingnya pekerjaanmu dan aku mendukungmu sepenuhnya. Jadi, tolong pergilah ke kantor dengan pikiran yang tenang. Aku akan baik-baik saja di rumah."

Vahar menggenggam erat tangan Sarah. "Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Aku percaya padamu. Terima kasih, Sarah, atas pengertianmu."

"Terima kasih juga, Mas, karena usahamu untuk berubah dan memperhatikanku. Aku sangat bahagia. Sekarang, pergilah!"

Vahar tersenyum. "Baiklah. Aku berangkat. Jaga dirimu dengan baik."

Sarah tersenyum lebar. "Ya, Mas. Semoga hari kerjamu menyenangkan." Vahar mengecup dahinya sebelum pergi meninggalkan istrinya sendiri di rumah.


***


Vahar memasuki kantor dengan langkah cepat dan wajah yang tampak tegang. Tanpa ragu, dia langsung berteriak memanggil nama Gaffar, salah satu karyawan senior di perusahaannya. "Gaffar!" teriaknya dengan suara yang keras dan tegas.

Teriakan Vahar membuat semua orang di sekitarnya terkejut dan berhenti melakukan aktivitas mereka. Mata mereka tertuju pada pimpinan mereka yang sedang marah. Gaffar, yang tadinya sedang sibuk dengan pekerjaannya, segera menghentikan apa yang sedang dilakukannya dan berjalan mendekati Vahar dengan sikap hormat.

"Iya, Pak?" sahut Gaffar dengan suara yang sedikit gemetar, mencerminkan kebingungannya atas panggilan mendadak dari Vahar.

Vahar, yang sudah muak dengan sikap dan kinerja Gaffar selama ini, tiba-tiba saja mengambil keputusan drastis. Dia menatap Gaffar dengan tatapan tajam dan berkata dengan suara yang penuh kemarahan, "Gaffar, kamu sudah tidak bisa lagi bekerja di perusahaan ini. Kamu, saya pecat!"

Kabar tersebut membuat semua orang di kantor terdiam. Mereka tidak bisa mempercayai apa yang baru saja mereka dengar. Gaffar sendiri terkejut dan terdiam, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun sebagai respons.

Vahar melanjutkan, "Sudah cukup dengan sikap dan kinerjamu yang tidak memadai. Perusahaan ini butuh orang-orang yang berdedikasi dan bisa diandalkan. Kamu tidak lagi memenuhi kriteria itu. Segera kumpulkan barang-barangmu dan tinggalkan kantor ini!"

Gaffar hanya bisa menundukkan kepala dengan perasaan sedih dan kecewa. Dia merasa seperti dunianya runtuh dalam sekejap. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima keputusan Vahar dengan pasrah.

Keputusan Vahar itu membuat suasana di kantor menjadi tegang. Semua orang merasa terkejut dan khawatir tentang nasib mereka sendiri. Mereka menyadari bahwa Vahar tidak akan ragu untuk mengambil tindakan tegas jika mereka tidak memenuhi harapannya.

Meskipun suasana hati Vahar mungkin terasa lega setelah memecat Gaffar, tetapi keputusannya itu juga mengingatkan semua orang dalam kantor bahwa mereka harus bekerja lebih keras dan memberikan yang terbaik untuk mempertahankan posisi mereka.


"Kenapa saya dipecat, Pak? Apa salah saya?" tanyanya berpura-pura tidak tahu.


"Saya tahu, kalau kamu sudah memfitnah pak Fazwan beberapa hari yang lalu. Seharusnya saya mencari tahu terlebih dahulu sebelum saya langsung memecatnya. Karyawan yang sangat jujur, disiplin dan pekerja keras, tidak seperti kamu yang kerjanya malas-malasan, banyak alasan untuk tidak masuk kerja!" umpatnya.


"Dan satu hal lagi ...." Pak Vahar menghampiri pria itu, menatapnya tajam. "Kau sudah berani menyentuh istri saya. Disaat kau mabuk, kau mengatakan semuanya kepada saya, kalau kau sudah menyentuhnya namun saya berusaha mencari bukti yang kuat agar semua orang tahu kelakuan bejat kamu!"


Pak Gaffar tersenyum miring. "Pak Vahar ... Pak Vahar. Sudah saya bilang kalau istri anda itu menyukai saya. Dia juga tidak mau menolak saya. Jadi, apa kesalahan saya? Saya ingat semua yang saya ucapkan saat itu karena saya pun dalam keadaan sadar."


"Dasar kau tidak tahu malu! Sebaiknya kau pergi bersama rekanmu Zidan!" teriaknya sembari menunjuk ke arah luar.


"S-Saya juga dipecat, Pak?" tanya Zidan, karyawannya yang juga masuk dalam CCTV.


"Iyalah! Kalian berdua itu sekongkol. Kalian sama-sama licik. Jadi kalian tidak pantas bekerja di perusahaan saya!" geram pria berengos itu.


Lihat selengkapnya