Vahar dengan wajah merah padam dan mata yang menyala-nyala, menatap Gaffar dengan penuh kemarahan. Suara gemuruh hujan di luar rumah menjadi latar belakang suara keras tangan Vahar yang mendarat di wajah Gaffar. "Kau pikir kau bisa lolos setelah menodai istriku!" bentak Vahar.
Sarah yang berdiri di pojok ruangan, menutup mulutnya dengan tangan, menahan teriakan terkejut. "Mas, berhenti!" teriaknya, namun suaranya tenggelam dalam dentuman hujan dan suara pukulan yang keras.
Gaffar, dengan wajah sudah memar dan darah mengalir dari hidungnya, menatap Vahar dengan tatapan menantang. "Apa, lo mau memukul gue lagi? Nih, pukul!" tantangnya.
Vahar, tanpa ragu, memukul Gaffar sekali lagi. Sarah berteriak, namun kali ini dia berlari dan menarik Vahar menjauh dari Gaffar. "Berhenti, Mas! Sudah cukup!"
"Kenapa kamu membela dia, Sarah?" tanya Vahar, mata merah dan penuh curiga. "Apa sebenarnya kamu suka sama dia?"
Gaffar, meski sudah babak belur, bangkit dan berdiri dengan susah payah. "Kita memang memiliki hubungan, Vahar. Bahkan sudah sejak lama. Dan kita saling mencintai satu sama lain," katanya dengan suara serak.
Sarah membantah keras, "Itu bohong, Mas! Dia berbohong! Jangan percaya dengan kata-katanya. Semua itu bohong!"
Namun Gaffar menatapnya dan berkata, "Jangan menyangkalnya, Sarah. Kita sudah terlanjur ketahuan, jadi untuk apa kita sembunyikan?"
Vahar dengan amarah yang belum reda, menyeret Gaffar keluar rumah dan mendorongnya hingga terjatuh di depan pintu. "Jangan pernah datang ke sini lagi, atau kau akan berakhir di penjara!" ancamnya, sebelum menutup pintu dengan keras, meninggalkan Gaffar tergeletak di bawah hujan.
Gaffar berteriak dengan penuh amarah. "Gua gakan kalah, Vahar! Lo liat aja, gua bakal dapetin Sarah, dan gua akan menikahinya karena gua adalah ayah dari anak yang ada dalam kandungannya!"
Di dalam rumah, Vahar mengunci pintu lalu menatap Sarah dengan tatapan penuh kekecewaan. "Sudah berapa lama kau mengkhianatiku, Sarah?" tanyanya dengan suara penuh amarah. "Mengapa kau tega menyakiti perasaanku?"
Sarah terkejut dan terpaku. "Mas, aku tidak selingkuh. Aku benar-benar tidak mengingat apa-apa. Tiba-tiba saja dia ada di dalam rumah dan ..." jawabnya dengan suara gemetar dan menggantung.
Tapi Vahar sudah tidak mau mendengar lagi. "Cukup!" teriaknya. "Aku sudah bosan, aku sudah muak. Aku talak kamu!" katanya dengan suara keras dan jelas.
Sarah terdiam, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kamu talak aku, Mas?" tanyanya dengan suara hampir tidak terdengar.
Vahar tidak menjawab. Dia berbalik dan pergi, meninggalkan Sarah sendirian dengan air mata dan kebingungan.
***
Umi Abidah akhirnya pulang dari apotek. Dengan lelah, dia mengetuk pintu rumah. Tidak lama kemudian, pintu terbuka dan Abi Fazwan muncul di balik pintu. "Kenapa lama, Umi?" tanya Abi, menatap Umi dengan raut wajah penasaran.
Umi menaruh tasnya di sofa dan menghela nafas, "Antrian panjang," jawabnya. "Oh, ya, tadi Umi bertemu sama Pak Vahar."
Abi terkejut, "Oh, ya?" raut wajahnya berubah, tampak terkejut namun juga penasaran.
Umi mengangguk, "Iya, dia beliin ade Nisa obat," jelasnya. "Dan dia juga menawarkan Abi untuk kembali bekerja di perusahaannya."
Abi Fazwan sontak tak percaya mendengar hal tersebut. "Kok, tiba-tiba...?" serunya, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Umi melanjutkan, "Iya, pada akhirnya kebenaran di kantor terungkap. Dan Umi juga percaya kalau Abi tak bersalah." Umi tampak kesal, "Umi yakin, Abi takan mungkin melakukan hal itu. Siapa yang jahat, tega memfitnah Abi?"
Abi tersenyum lapang dada, "Ini adalah ujian dalam hidup kita, Umi. Kita harus sabar dan terima dengan ikhlas."
Umi mengangguk sembari tersenyum getir. "Iya, Abi." Umi lalu beranjak dari sofa.
"Dimana Azmi?" tanya Umi.
"Dia sudah tidur," jawab Abi, menunjuk ke arah kamar Azmi. Umi tersenyum mengintip ke kamar putra sulungnya.
"Dia sudah pulas. Jangan ganggu dia," bisik Abi.
"Iya, Abi." Umi Abidah menutup pintu kamar dengan perlahan, berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat suara. Mereka berdua kemudian duduk di sofa, merenung dalam hening, memikirkan apa yang baru saja mereka bicarakan.
Sambil duduk di sofa, Umi Abidah menatap Abi Fazwan, "Apakah Abi mau kembali bekerja di tempat itu?" tanyanya dengan nada berat.