Matahari hampir tenggelam saat Umi Abidah kembali dari pasar. Langkahnya yang mantap memasuki rumah, menggema ketenangan dan kedamaian. "Assalamualaikum," ucapnya lembut, salam itu seolah menjadi melodi yang menenangkan setelah hari yang panjang.
Dengan hati-hati, ia meletakkan barang belanjaannya di atas meja. Tas-tas itu penuh dengan bahan makanan segar yang baru saja ia beli dari pasar. Aroma sayuran dan buah-buahan segar bercampur menjadi satu, mengisi rumah dengan kehangatan.
Tiba-tiba, suara merdu mengalun dari salah satu kamar. Itu adalah Azmi, putranya, yang tengah melantunkan ayat suci Alqur'an. Setiap huruf yang dibacakan begitu fasih dan merdu, seolah-olah melukis gambaran indah di pikiran Umi Abidah. Ia tak bisa menahan senyumnya. Kebahagiaan menyebar di hatinya, hangat seperti cahaya matahari di pagi hari.
Perlahan, Umi Abidah beranjak dari meja dan berjalan menuju kamar Azmi. Dibalik pintu, ia melihat Azmi yang tengah asyik membuka juz amma. Ketika Azmi selesai, ia cepat-cepat merapikan sajadahnya, melipatnya dengan rapi dan memasukkannya ke dalam lemari.
Saat Azmi berbalik, ia terkejut melihat Umi Abidah yang sudah berdiri di pintu kamar. "Eh, Ummi sudah pulang?" tanyanya, terkejut namun senang.
"Iya," jawab Umi Abidah dengan senyum hangatnya.
Azmi segera mencium tangan Umi Abidah, sebuah gestur yang menunjukkan rasa hormat dan cinta. Umi Abidah merasa bangga dan memuji Azmi, "Putraku semakin pintar membaca surah-surah tadi."
Dengan wajah merah, Azmi menjawab, "Alhamdulillah, Ummi. Azmi masih belajar sedikit-sedikit."
Ummi Abidah terlihat sedikit cemas dan masih agak syok dengan kejadian yang tadi dialaminya. Insiden itu baru pertama kalinya ia alami. Azmi, yang memperhatikan kegelisahan ibunya, tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Ummi, baik-baik saja?"
Ummi Abidah mencoba tersenyum dan menjawab, "Ummi baik-baik saja kok, Nak." Namun, sebenarnya ia terpaksa berbohong karena tidak ingin membuat putranya cemas dengan kejadian yang membuatnya hampir kehilangan dompetnya, dijambret preman pasar. Ia tidak ingin membebani Azmi dengan rasa khawatir. Jika saja tidak ada orang yang menolongnya, semua uang yang ia bawa akan hilang dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Azmi merasakan kegelisahan ibunya dan bertanya lagi, "Ummi yakin?"
"Iya, Nak," jawab Ummi Abidah sambil memegang kepalanya. "Mungkin karena Ummi hanya lapar, jadi tubuh Ummi terasa lemas," ucapnya mencoba memberikan alasan. Azmi pun mempercayainya dan mengangguk.
Ummi Abidah lantas mengalihkan topik pembicaraan. "Gimana bekal Azmi? Sudah dihabiskan?"
Azmi menjawab, "Tadi Azmi memberikan bekalnya kepada seorang pengemis tua, Ummi. Kakek itu kelihatan kelaparan. Azmi tidak tega, Ummi." Ummi yang mendengar itu, terkagum dengan tindakan putranya. Ia langsung memuji Azmi, "Azmi, betapa mulianya hatimu, Nak. Ummi sungguh kagum dengan kebaikanmu."
Azmi melanjutkan, "Ummi dan Abi selalu mengajarkan Azmi untuk selalu berbagi. Ummi dan Abi selalu mengingatkan bahwa dalam setiap harta yang kita miliki, terdapat hak orang lain, hak untuk mereka yang membutuhkan. Azmi sadar kalau Azmi masih bisa makan di rumah, sedangkan kakek tua itu mungkin sulit untuk mendapatkan makanan."
Ummi mengangguk setuju dengan bijaknya perkataan Azmi. Ia berkata dengan perasaan bangga, "Azmi, Ummi sungguh-sungguh bangga padamu. Kamu telah menunjukkan kebaikan hatimu dan mempraktikkan nilai-nilai yang kami ajarkan."
"Sebagai umat muslim, jangan sampai kita melupakan keutamaan dalam ajaran agama Islam, yakni bersedekah. Sesungguhnya dalam setiap rezeki yang kita dapat, terdapat hak fakir miskin. Jangan khawatir, hanya dua setengah persen dari harta yang kita miliki tersebut merupakan hak orang lain yang membutuhkan," imbuh Ummi melanjutkan.
Azmi mengangguk sembari tersenyum. "Na'am Ummi."
Azmi tersenyum bahagia mendengar pujian dari Ummi. Ia merasa senang dapat membuat ibunya bangga. Mereka berdua saling tersenyum, merasakan kehangatan dan kebahagiaan dalam momen tersebut. Ummi merasa lega melihat putranya tumbuh menjadi anak yang penuh kasih sayang dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Mereka berdua sepakat bahwa berbagi adalah salah satu cara terbaik untuk membuat dunia menjadi lebih baik.
Azmi tidak hanya menceritakan tentang pengalamannya memberikan bekal kepada pengemis, tetapi juga tentang pertemuannya dengan seorang ibu muda yang melihatnya melakukan perbuatan baik tersebut. Ibu muda itu tergerak hatinya dan memberikan uang kepada pengemis, lalu mereka berbincang-bincang dengan penuh kehangatan.
Azmi dengan ceria menceritakan, "Tadi, habis Azmi memberikan bekal kepada pengemis kakek tua itu, ada seorang ibu muda yang datang. Ibu itu memberikan uang kepada pengemis itu dan kami pun mulai ngobrol sebentar."
Ummi Abidah, yang semakin penasaran, bertanya dengan antusias, "Oh, ya? Bagaimana ceritanya, Azmi?"
Azmi melanjutkan dengan semangat, "Ibu itu bercerita bahwa ia memiliki seorang anak seumuran Azmi, Ummi. Anaknya sedang bersekolah di luar negeri, dan ibu itu sangat merindukannya."
Ummi Abidah menghela napas, merasakan empati yang mendalam. "Kasihan sekali, ya. Pasti sulit baginya untuk berpisah dengan anaknya."
Azmi mengangguk, mencerminkan pemahamannya. "Iya, Ummi. Ibu itu mengatakan bahwa semua yang dilakukannya adalah demi kebaikan putranya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya."
Ummi Abidah tersenyum penuh pengertian. "Memang benar, Azmi. Sebagai orang tua, kita selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita."
Mengingat bekalnya diberikan kepada seorang pengemis, Ummi menyadari kalau putranya pasti kelaparan. Ia langsung menawarkan makanan kepadanya.
"Kasihan anak Ummi. Kamu pasti sudah sangat lapar, kan?" tanya Ummi sambil tersenyum.
Azmi menjawab dengan semangat, "Iya, Ummi! Azmi sudah sangat lapar dan sudah menunggu Ummi pulang dari tadi."