Bab 1
PULANG KE KOTA
Kota Makassar, akhir September 2021.
Tiba di Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, aku dijemput udara panas. Begitu menuruni tangga pesawat, aku lantas mengambil kaca mata hitam di leher baju agar tidak terlalu silau oleh sinar matahari.
Suasana di dalam bandara terlihat ramai. Ada beberapa maskapai yang tiba pada siang ini, menyebabkan penumpang tumpah ruah di tiga lokasi pengambilan bagasi. Semuanya sibuk menunggu dan mengurus barang bawaan masing-masing.
Setelah mengambil koper, aku segera menuju ke pintu kedatangan sambil menunggu Kak Zainal, yang baru saja mengabari kalau ia sudah tiba di parkiran dua puluh lima menit sebelum pesawat yang kutumpangi dari Jogya mendarat.
Karena merasa gerah, kubuka jaketku dan segera melangkah ke dekat tiang yang besar sambil mendorong troli. Beberapa pengemudi taksi menawariku tumpangan. Sambil bersandar dan menunggu Kak Zainal, aku mengambil ponsel yang sudah beberapa kali terdengar mengabarkan notifikasi. Kakiku sebelah kanan menyandar pada kaki troli.
Segera kuperika ponselku. "Oh, banyak sekali pesan masuk."
Kuteliti lagi sambil sesekali melihat ke jalanan dari arah timur. Jangan-jangan Kak Zainal sudah datang.
"Ini Cahaya, kan? Hai Pinggel 1, aku Arumi, Pinggel 2, ingat?" Itu salah satu pesan yang sempat kubaca.
Aku mengalihkan pandangan mata dari ponsel. Melihat jejeran bunga-bunga kecil di seberang aspal. Aku tertegun sesaat.
Di tengah keriuhan orang-orang di sekitarku, aku berusaha mengurai kembali ingatan. "Arumi, Pinggel …," Oh, aku tertawa sejenak. Dapat! Walaupun tidak mudah mengingat dengan cepat satu persatu sahabat yang telah lama berpisah.
"Arumi? Pinggel?" Oh, mobil Kak Zainal sudah datang. Aku menyebutnya sekali lagi, lalu mengetik sebaris balasan dan segera mengirim balik kepada Arumi. Setelah itu, segera kusimpan kembali ponsel di tas selempangku tanpa menunggu pesan balasan dari Arumi. Ah, rutinitas selalu membuatku lupa pada hal-hal yang mestinya kuingat terus tanpa harus diingatkan.
Kak Zainal keluar dari mobil dan segera mengangkat seluruh barang bawaanku ke bagasi mobil. Satu koper besar, isinya beberapa steel pakaian yang kurasa cukup untuk bernostalgia di kotaku selama tiga minggu ke depan. Dan sebuah ransel berisi perlengkapan produksi film pendek berupa kamera dan laptop yang aku simpan di kabin pesawat tadi. Satu tas selempang berwarna lilac dari bahan kulit sintetis kualitas premium, pemberian ibu yang dikirim sebulan yang lalu.
Dua tahun aku baru kembali berkunjung ke Makassar. Bukan malas pulang, tetapi ayah, ibu dan Kak Zainal yang sering mengunjungiku di Jogya. Terakhir pulang saat menghadiri wisuda Kak Zainal saja. Sekarang, ia sudah menjadi pengacara dan tetap tinggal di Makassar, menemani ayah dan ibu.
Selama menetap di Jogya, aku bekerja pada sebuah perusahaan jasa periklanan. Namun hobiku membuat vlog dan film pendek tidak pernah aku tinggalkan. Cuti tahunan ini aku manfaatkan untuk pulang, sekaligus merealisasikan impian terbesarku, membuat film pendek dengan setting sekolahku dahulu, di Madrasah Insan Cendikia, Makassar.
Kak Zainalmempercepat laju kendaraan yang akan melewati jalanan tol reformasi. Jalanan tol ini dibangun pada saat Bapak Haji Jusuf Kalla menjabat sebagai wakil presiden pada masa pemerintahan Bapak Joko Widodo.
Walaupun agak mengantuk, namun aku tidak bisa memejamkan mata. Keinginanku menyaksikan hasil pembangunan kota Makassar, yang pernah diceritakan Kak Zainal begitu besar.
Ketika memasuki fly over, mataku menjadi lebih segar menyaksikan banyak gedung tinggi. Gedung kantor sudah banyak yang berubah, gedungnya semakin besar dan nampak baru. Melihat semua itu, aku seperti berada di kota lain. Mataku mendelik melihat kiri dan kanan jalan. Oh, sudah sebegini indahnya kotaku? Betah rasanya menyaksikannya di atas jalanan beraspal mulus ini.
Aku melihat jam di ponsel. "Hm, sudah jam dua belas siang."
"Tidur saja dahulu. Tentu kamu masih lelah, Putri," kata Kak Zainal.
Aku menatap lekat Kak Zainal beberapa saat. Tubuhnya yang sejak dahulu selalu kurus, kini tampak subur. Selalu dibalut pakaian rapi dan tidak pernah lepas dari parfum kesayangannya. Kesegaran bunga dan kayu wangi menguar sejak aku masuk di mobil.