Cahaya Dari Bellapunranga

Andi Sukma Asar
Chapter #2

BAB 2. AWAL SEBUAH RENCANA


Bab 2  

AWAL SEBUAH RENCANA

Siang itu, sekolah Pondok Pesantren Shohwatul Is'ad ramai. Setelah tiga tahun menuntut ilmu, tibalah saatnya penamatan dan pelepasan siswa dan siswi kelas tiga. Seluruh orang tua atau wali murid diundang untuk bertatap muka langsung kepada guru-guru yang selama tiga tahun mengajar aku dan teman-teman seangkatan.

Di lapangan basket yang terletak di samping kanan gapura pondok, dibangun sebuah panggung yang rendah, tingginya tidak mencapai satu meter namun cukup luas. Pada kiri dan kanan panggung diletakkan beberapa piala serta banyak hadiah untuk siswa-siswi yang berprestasi. Ada banyak kategori piala yang akan diberikan kepada siswa dan siswi.

Aku melihat ibu di bawah pohon, berbincang-bincang dengan dua orang orang tua siswa dan seorang guruku. Aku yakin, mereka membicarakan anak-anaknya yang akan meneruskan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. Di sepanjang jalan masuk, kira-kira lima meter setelah gapura, dipajang foto-foto santri yang tamat. Foto itu diperbesar dan diberi bingkai dari kayu yang telah dicat berwarna hitam, kemudian diletakkan di sepanjang jalan masuk pondok. Pada bagian bawah foto itu ditulis tugas akhir penelitian berupa KIR beserta judulnya. Selain itu, ditulis pula jumlah juz yang telah dihafal. Aku menatap fotoku beberapa saat, bangga dan senang bercampur rasa haru. Delapan juz hafalan Al Quran ini, adalah persembahanku untuk ayah dan ibu.

Aku ingat, sebelum mengikuti ujian akhir, kedua orang tuaku, terlebih ibu sangat menginginkan aku melanjutkan sekolah di pesantren ini saja. Toh di sini ada lanjutan tingkat SMA-nya. Dengan harapan, hafalan Al Quran-ku tetap berlanjut dan tentu saja di bawah bimbingan guru yang sama. 

Aku tahu, ini adalah kode tersendiri bagiku. Bagaimana tidak, dari beberapa teman sekelas, mereka sudah mengatakan padaku dan kepada ibuku tadi, kalau mereka akan melanjutkan sekolah di pondok ini saja. Selain karena sekolah ini, mereka merasa sudah seperti rumah sendiri, tentu mereka, termasuk aku sudah merasa nyaman dengan para pengasuh atau para guru di sini.

Biasanya, jika orang mendengar kata pesantren, yang terlintas di kepala adalah kehidupan yang serba terbatas. Ada ketidaknyamanan yang ikut terlintas. Bahkan ada pendapat tersendiri yang mengatakan kalau pesantren itu adalah sebuah penjara suci.

Ah, itu pendapat mereka, menurutku pendapat itu tidak benar sama sekali. Area pondok yang begitu luas dan sejuk. Beberapa lapangan olah raga tersedia, bahkan lapangan sepak bola pun ada. Kolam renang yang ekslusif dan ruang tidur yang full AC. Semua itu untuk para santri.

Pondok pesantren Shohid mempekerjakan beberapa orang untuk menjaga kebersihan secara bergiliran. Mulai dari asrama dan ruang tidur, kamar mandi yang nyaman dan luas selalu bersih. Begitu pula di area luar asrama, di sepanjang jalan dari asrama ke sekolah hingga pintu gerbang pondok selalu bersih. Jadi para santri dimanja? Tidak juga. Kami dididik untuk selalu membiasakan diri hidup bersih dan rapi, terutama tempat tidur, menggunakan air secukupnya dan hidup sederhana.

Mengenai makanan, pondok pesantren Shohid memelihara sapi dan ayam kampung untuk dikonsumsi para santri, bahkan telah menjadi usaha pondok karena ayam-ayam yang dipelihara itu dijual di restoran atau ke beberapa rumah makan di kota Makassar.

Lalu para guru kami sangat ramah. Bahkan jika sudah bisa beradaptasi, kebanyakan para siswa dan guru seperti bersahabat. Para santri bebas mengemukakan pendapatnya di mana pun saja asal dalam lingkungan pondok, tidak mesti di dalam kelas atau pada pertemuan formal. Bahkan santri bisa bertamu ke rumah guru yang ada di lingkungan pondok. Walau begitu, peraturan tetap ditegakkan, tetap disiplin dan tetap saling menghargai.

Ibu menepuk bahuku. "Kamu ingat apa, Cahaya?" Ibu menatapku. Ibu mengira ada sesuatu yang kupikir.

Kulihat wajah ibu serius. Mulut ibu komat-kamit seperti berdoa sambil menunggu namaku disebut dalam deretan sepuluh besar. Hm, ibu mungkin tidak bisa menerima jika namaku yang ditunggu-tunggu akhirnya tidak ada.

Saat namaku dipanggil, ibu refleks memelukku sesaat, lalu merenggangkannya, membiarkan aku setengah berlari ke panggung, suara tepuk tangan dan teriakan teman-teman yang mengelilingi panggung tumpah ruah.

Namaku disebut paling akhir, artinya aku juara pertama. Guru kelasku, Ibu Nana menyambutku di panggung dengan pelukan dan sapuan tangannya di kepalaku.

"Selamat, Nak Cahaya." Mata guruku sekilas kulihat berkaca-kaca.

Aku hanya membalas senyumnya, mengangguk dan mencium tangannya.

Guruku mengumumkan semua nama yang telah menyelesaikan hafalan hingga beberapa juz, karena itu menjadi persyaratan mengikuti ujian nasional. Aku sendiri telah berhasil menyelesaikan hafalan pada juz ke delapan.

"Semoga kelak hafalanmu sebanyak delapan juz itu bisa bertambah," kata ibu guru Nana lalu kembali mengusap kedua bahuku.

Aku turun dari panggung, menuju ibu yang telah menantiku dengan uraian air mata bahagia. Jelas sekali kelihatan perpaduan emosi ibu. Matanya basah oleh air mata sementara bibirnya mengembangkan senyum kebahagiaan.

"Ibu pasti tidak menyangka aku akan menjadi siswa terbaik dan juara umum. Karena selama ini aku hanya berhasil dan bertahan pada peringkat ke tiga," kataku dalam hati.

Ibu lalu mengambil tanganku, mengajakku duduk pada salah satu gazebo. Entah apa yang ingin dikatakan ibu.

"Kalau sudah tidak ada lagi acara, kita pulang saja, ya Nak?"

Aku melihat di sekeliling. Benar juga, sudah banyak orang tua yang pulang bersama anaknya. Setelah pamit kepada para guru, aku dan ibu menuju mobil.

Sepanjang perjalanan, wajah ibu kelihatan cerah, sesekali tersenyum. Itu pasti kebahagiaan karena menurut ibu, aku sudah membuat orang tua bangga. Setidaknya, aku telah membuktikan sebagian harapannya. Tetapi, ibu tidak menyinggung lagi masalah kelanjutan sekolahku. Ibu hanya banyak bertanya siapa teman aku tadi yang berhasil masuk sepuluh besar.

Sepanjang perjalanan, aku sangat menikmati pemandangan yang hijau. Daerah yang aku lalui adalah salah satu daerah sentra produksi beras. Pada kiri dan kanan jalanan banyak hamparan persawahan. Ada yang sudah menguning namun ada juga yang masih hijau. 

Lihat selengkapnya