Bab 3
SEBUAH KISAH DI GEDUNG DIKLAT
Aku merasa deg-degan pagi ini untuk menemui ayah dan ibu. Di halaman belakang, ayah membuat taman kecil. Ada sepasang kursi dan beberapa pot terracota tempat menanam aglonema beberapa jenis. Di meja kayu berbentuk bulat itu, selain ada pot kecil yang ditanami sirih gading, ibu menaruh tiga cangkir teh panas dan cake marble, yang dibeli di toko kue depan rumah. Angin berhembus sejuk namun lembut, menyapu wajahku yang masih mengantuk. Aku, ayah dan ibu duduk mengelilingi meja itu.
Setelah berbincang beberapa menit, akhirnya ayah dan ibu memberikan kebebasan memilih sekolah. Tentu karena bantuan Kak Zainal juga. Dan sekolah yang telah kupilih itu adalah Madrasah Insan Cendikia. Mendengar itu, ayah dan ibu hanya mengangguk-anggukkan kepala. Wajah keduanya tidak menyiratkan ketidak-setujuan. Bahkan aku telah mendapatkan respon yang baik. Syukurlah, ayah dan ibu sudah merestuiku, kata mereka, di mana saja bersekolah, aku harus bertanggung jawab atas pilihanku.
Sebenarnya ayah dan ibu adalah orang tua yang bijaksana. Buktinya, Kak Zainal pun diberi kebebasan melanjutkan sekolah di mana saja. Makanya, Kak Zainal pun ingin agar ayah dan ibu memperlakukan hal yang sama kepadaku. Kira-kira begitu.
Meskipun kedua orang tuaku dua-duanya sarjana hukum, tetapi mereka sangat ingin agar anak-anaknya memiliki dasar pendidikan agama yang kuat. Ayah dan ibu pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren yang sama, hanya sampai Madrasah setingkat SMP. Selanjutnya mereka melanjutkan pendidikan di sekolah SMA umum.
Aku masuk kamar, mengunci dan membuka jendela sepenuhnya. Di dekat jendela, aku menghela napas panjang, menahannya sampai beberapa saat lalu menghembuskan pelan. Aku mengulanginya sekali lagi hingga aku benar-benar merasa tenang dan rileks.
Jam di ponsel sudah menunjukkan angka sepuluh pagi. Matahari di luar sudah memanggang bumi dengan panasnya yang begitu terik. Walau demikian, beberapa pohon mangga yang ditanam ayah memberi kesejukan jika sedang duduk di jendela ini.
Aku segera melihat ponsel tatkala ada pesan pribadi dari Arya, teman sekelas. Ia mengatakan kalau pengumuman yang ditunggu sudah keluar hari ini.
Tanganku mulai dingin, berusaha setenang mungkin dengan bersiul dan menyetel lagu-lagu di ponsel. Tetapi rasa deg-degan itu tetap saja menyusup di rongga dadaku.
"Yes!" Aku setengah berteriak begitu namaku terlihat pada urutan kesekian, mengikuti abjad inisial namaku. Aku lalu mengucapkan hamdalah dan melompat kegirangan di depan cermin di kamarku.
"Tuh kan, kamu lulus Cahaya! Lulus!" Kulihat diriku di cermin dengan kedua kepalan tangan kuayunkan ke atas kepalaku.
Karena ayah dan ibu sedang keluar, aku bergegas mengetuk pintu kamar kakakku. Karena tidak ada jawaban, aku membuka pintu itu perlahan, kebetulan, pintu kamar Kak Zainal sedikit terbuka.
"Oh, ternyata Kak Zainal sedang tidur."
Kututup kembali pintu kamar itu perlahan dan kembali ke kamarku.
Tidak berapa lama, aku mendengar pintu pagar dibuka. Itu pasti ayah dan ibu.
Aku berjalan menuju depan TV. Aku hanya duduk termenung, sementara ayah dan ibu terdengar berjalan mendekat.
"Sudah ada pengumuman kelulusan, Cahaya?" Ibu mampir duduk di sebelahku. Sedangkan ayah langsung memasuki kamarnya. Tidak lama kemudian, ayah sudah duduk di samping ibu menunggu jawabanku.
"Cahaya, bagaimana? Kamu lulus tidak?" Suara ayah terdengar tenang. Ayah dan ibu sepertinya tidak sabar. Mereka tahu pengumuman hari ini setelah aku kirimi pesan di ponsel ibu, sesaat setelah Arya mengabarkan perihal pengumuman itu tadi.
Aku masih diam memasang wajah muram. Sengaja.
Kulihat ayah dan ibu berpandangan.
"Kalau belum berhasil sabar saja, kan masih banyak sekolah yang bisa kamu daftar, kan?" Ibu lalu menatapku.
Aku melihat lurus ke TV dan segera memberi ponsel yang kugenggam kepada ibu. Sedang aku masih memasang wajah muram.
Ayah dan ibu segera melihat hasil schreenshotku tadi dan menatapku dengan tersenyum khasnya. Aku tidak bisa lagi menahan diri untuk tertawa. Kupeluk ayah dan ibu karena gembira.
"Jadi sudah bulat hatimu mau melanjutkan sekolah di sana, Cahaya?" Ayah menatapku untuk memperoleh kepastian.
Aku mengangguk pasti. "Insya Allah, Ayah, Ibu, mohon doa dan restu ya," kataku dengan wajah berseri-seri. Kurenggakan pelukan dari ibu, sepertinya ada bulir hangat di sudut mataku, rasa senangku membuncah, rasa syukurku mengalir demikian besar.
Aku melangkah ke kamar. Meskipun kegembiraan sedang kurasakan tetapi aku pun merasa sedih juga. Beberapa orang teman yang sama-sama mendaftar tidak lulus. Jadi, dari beberapa orang teman yang mendaftar dari Shohid, hanya aku yang berhasil masuk di sekolah unggulan yang pernah menjadi besutan Pak Habibie itu. Kini sekolah itu diambil alih oleh kementrian agama.
Setelah melewati berbagai persyaratan, aku diantar Kak Zainal ke lokasi sekolah MAN Insan Cendikia. Sebuah lokasi yang terletak di kabuten Gowa, berbatasan langsung dengan kota Makassar.
Tiba di sana, Kak Zainal sempat ragu sebab gedung yang dimaksud itu ternyata gedung lama kantor dikbud yang telah dijadikan sebagai pusat pendidikan dan latihan. Namun, aku bersama Kak Zainal memasuki saja pagar besi yang tidak terlalu tinggi itu. Halaman depannya tidak terlalu luas, hanya bisa muat tiga atau empat mobil. Di sebelah timur teras gedung ada tanaman pisang dan nangka. Satu gedung yang memanjang ke belakang sudah diatur kursi-kursi di terasnya.