Bab 4
CERITA DARI PANGGUNG PENTAS
Setelah salat Subuh, aku meminjam ponsel Pak Anang. Aku akan mengirimkan pesan kepada ayah supaya disampaikan kepada Kak Zainal dan ibu, kalau aku akan lomba pidato antar SMA se kota Makassar. Lombanya tidak tanggung-tanggung, menggunakan bahasa Inggris dan Arab.
"Ah, kamu pasti bisa, Cahaya! Lomba seperti itu kan sudah beberapa kali kamu ikuti. Hanya saran dari kakak nih, perbaiki materi dari tema yang ditentukan panitia." Tulis Kak Zainal melalui pesan pribadi kepada Pak Anang.
Aku merenungi kalimat Kak Zainal sambil bersandar di pilar gedung bagian belakang diklat. Tempat itu menjadi pavorit bagi sebagian siswa untuk menelepon keluarganya, atau sekadar ingin sendiri. Tidak banyak yang bisa dilihat di situ, hanya jejeran bunga keladi yang ditanam di tanah, sebagian sudah tinggi dan kadang layu karena jarang disiram, tiang jemuran yang tidak pernah kosong tali-talinya, penuh jemuran yang beraneka warna dan beberapa kursi kayu tanpa cat.
"Terima kasih, Ayah. Salam sama ibu. Hari Ahad nanti, Cahaya tentu akan pulang, rindu makan sop ubi buatan ibu." Aku segera mematikan ponsel tanpa menunggu jawaban ayahku. Baru dua kali ini aku menghubungi ponsel ayah. Biasanya melalui ponsel Kak Zainal.
Selanjutnya aku berjalan di koridor diklat menuju ruang tengah untuk mengembalikan ponsel Pak Anang.
Setiap hari Ahad, siswa yang tidak pesiar memang diberi kesempatan untuk menelepon kepada keluarganya. Begitu pula yang pesiar, Ahad pagi bada salat Subuh, sudah diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Dan pulang ke diklat sebelum salat Azar.
Bagi siswa yang datang dari jauh, boleh tetap tinggal di asrama atau dipersilakan jika ingin ikut dengan salah seorang temannya, atau berangkat rombongan sekadar berjalan-jalan di toko buku atau di mal.
Minggu ini adalah giliran siswa laki-laki. Artinya aku tetap tinggal di asrama sambil membuat naskah pidato yang bertema hari kesaktian Pancasila.
"Silakan membuat naskah yang kamu ketahui, Cahaya. Setelah selesai, serahkan pada Bapak. Nanti Bapak bantu lengkapi ya," kata Pak Anang.
Selain aku yang selalu ikut lomba pidato khusus bahasa inggris dan bahasa arab adalah Boby. Siswa yang berkulit putih dengan rambut ikal itu berasal dari pulau Kalimantan. Mentalnya pun sudah teruji. Tetapi, ada satu hal yang kurang disukai teman-teman di sekitar aku. Boby kadang tidak mau mendengar saran dari guru-guru terkait penampilannya pada saat berpidato.
Pernah ia diberi masukan saat usai perlombaan, waktu itu Boby mendapat juara tiga. Ia diberi tahu agar ia tidak terlalu tergesa-gesa membawakan pidato, biar penonton yang hadir atau siapa pun pendengar bisa menyimak dengan jelas apa yang dibawakan.
Saat diberi saran seperti itu, wajah Boby datar-datar saja. Bahkan tidak merespon baik atau berkata apa-apa. Boby lantas permisi dan meninggalkan guru.
Lalu Boby bercerita kepada teman-teman sekelasnya kalau ia sudah tidak perlu diberi masukan. Toh ia sudah bisa menguasai materi dan panggung. Apalagi, sudah ada bukti kejuaraannya.
Hal ini menimbulkan rasa antipati bagi sebagian teman-teman. Namun bagi guru-guru, pribadi seorang Boby sudah dikenal. Mungkin karena latar belakang Boby yang anak tunggal dari keluarga berada. Rasa kepercayaan dirinya sangat tinggi. Kadang, ia tidak mengacuhkan pendapat orang lain.
Aku lihat, pribadi Boby pendiam, tegas dan berego tinggi. Kepercayaan dirinya tinggi. Selain itu, ia memang pintar di kelas. Tetapi, aku, Arumi, Lili dan Anum justru merasa heran mengapa Boby nyasar di sekolah ini. Di suatu malam sebelum tidur, kami berempat sering bercerita sebagai pengantar tidur. Bercerita sambil meringkuk di bawah selimut.
"Dipaksa mungkin si Boby itu masuk ke sekolah ini," kata Arumi.
"Kok dipaksa?" Anum tampak mengernyitkan dahi.
"Atau orang tuanya mengharap Boby mau berubah," kata Lili menghaluskan suaranya.
"Berubah bagaimana, menjadi ramah? Kalau otak memang pintar. Tapi apakah sikapnya itu bisa berubah?" Aku beranjak mengunci pintu kamar. Takut ada yang mendengar pembicaraan kami.
"Kalau memang si Boby pintar kan bagus dong, anak pintar masuk Madrasah Insan Cendikia, bisa tambah pintar nantinya," kata Lili lagi.
"Semoga ya. Tapi kalau sikapnya yang seperti itu, aku tidak pusing. Terserah dia, kan?"
"Iyyaa."
Aku, Lili dan Anum koor mengiyakan pendapat Arumi barusan.
"Atau mungkin Boby hanya lolos di cabang Makassar. Coba kalau lolos di Serpong atau di Gorontalo, kan kita tidak ketemu." Lagi-lagi kami berempat tertawa dengan pendapat Lili.
"Tapi kan, semua MAN IC di Indonesia sama kriteria kelulusannya. Jadi di mana saja sama. Hanya kita patut bersyukur, tahun ini kita bisa sekolah di kota sendiri. Padahal sebelum ada MAN IC di Makassar, ayahku mau mendaftarkan aku di Gorontalo, karena salah seorang tanteku ada di sana," kata Anum.
"Dan kita bisa bertemu dan sekamar seperti ini," kataku sambil menutup sebagian wajahku dengan selimut.
"Ah, lama-lama Boby pasti berubah sekolah di sini," kata Lili.
"Aamiin." Mata kami sudah mengantuk sekali.
*
Pagi yang cerah, aku, Lili, Arumi dan Anum seperti biasa berjalan menuju kelas. Tiba-tiba Lili tertawa saat melihat Boby.
"Sst, itu Boby akan menuju ke mari, diam ah," kata Lili.
"Yang jadi tranding topik semalam, kata Anum. Kami tertawa lagi.
Tidak lama kemudian, Boby benar datang dan melewati aku, Arumi, Lili dan Anum. Tampaknya, Boby akan ke belakang menghafal naskah pidatonya sebelum bel masuk berbunyi.