Bab 5
PINDAH GEDUNG
Hari berlalu begitu cepat. Kadang tak terasa pagi dan pagi lagi. Kesibukan belajar dan mengikuti kompetisi demi kompetisi mengharuskan siswa dan siswi harus lebih giat lagi belajar. Waktu selesai salat Azar yang biasa dipakai untuk bersantai rasanya sudah mubazir jika diisi dengan duduk-duduk sambil bercerita ngalor ngidul saja. Ah, bersantai itu perlu, tetapi belajar bagi kami para siswa jauh lebih berharga.
Empat bulan bersama teman sekamarku, rasanya aku sudah mengenal kepribadian mereka.
Arumi, bodinya yang subur itu tidak pernah kosong kotak plastiknya dengan camilan. Setiap minggu ia pasti membeli atau menitip beberapa jenis camilan jika ada teman yang keluar berbelanja. Ia pribadi seperti emak-emak, perhatiannya besar, kepo terhadap masalah pribadi. Gampang tersentuh. Cita-citanya belum jelas. Namun kalau boleh, ia akan menjadi pengacara seperti ibunya. Arumi kuat menghafal pelajaran. Tapi ia cuek, kamar mau bersih atau tidak, masa bodoh.
Lili, tubuhnya juga subur, tetapi lebih tinggi dari Arumi. Lili suka kamar yang bersih dan wangi. Kamar senantiasa berganti aroma. Kadang beraroma coklat, kopi, srowberry dan wangi buah lainnya. Lili menyukai mata pelajaran biologi. Cita-citanya sih menjadi dokter.
Anum, adalah sosok mungil yang rajin berbenah. Setiap akhir pekan, mau pesiar atau tidak ia mempunyai pekerjaan wajib, membersihkan kamar. Anehnya, Anum lebih sika bekerja sendiri, tak mau diganggu. Jika tiba waktunya ia membersihkan, aku, Arumi dan Lili disuruh keluar kamar.
"Kalian menyingkir dulu sana, nanti kalau bersih baru kalian balik." Tentu saja kami senang. Kalimat itu setiap akhir pekan terdengar.
*
Hari masih pagi. Aku, Arumi, Lili dan Anum berjalan menuju kelas. Suasana masih sepi, baru beberapa orang teman terlihat menuju kelas. Lorong-lorong asrama juga terlihat sunyi. Aku yakin, teman-teman sedang sarapan. Buktinya, rantang sarapan yang biasanya berjejer di depan kamar setelah dipakai hanya ada beberapa rantang saja.
Beberapa hari ini, meruak berita kalau bulan Nopember mendatang, sekolah akan pindah ke gedung baru. Waktu aku pulang ke rumah, ibu juga bilang kalau sudah direncanakan akan pindah paling lambat pertengahan bulan Nopember. Bahkan ibu memperlihatkan gambar-gambar gedung dan progres pembangunan sekolah baru.
Ibu tergabung dalam grup orang tua siswa. Jadi seluruh informasi terkait sekolah ibu tahu. Sebab di grup itu ada ibu kepala sekolah dan dua orang guru.
"Dari grup orang tua rupanya berita itu berasal," desisku.
Aku sebenarnya tidak menghiraukan kapan waktunya akan pindah. Toh di asrama diklat aku tetap belajar dengan baik. Namun, setelah melihat gedungnya yang belum selesai aku jadi berpikir, mungkin asrama diklat akan segera diambil alih. Sebab menurut Ibu Kamad (Ibu kepala madrasah), sekolah hanya meminjam gedung diklat ini beberapa bulan saja.
Aku dan Arumi, Lili dan Anum tidak terlalu memusingkan hal itu. Toh masih sebulan lagi. Pasti pembangunan gedung sekolah yang baru akan dipercepat.
Bel tanda pulang berbunyi. Lili bergegas menuju asrama, masuk kamar dan langsung merebahkan tubuhnya dengan kasar. Aku dan Arumi berpandangan. Tapi aku dan Arumi tidak serta merta menanyakan apa yang terjadi kepada Lili.
Lili membelakangi kami. Ia merapatkan tubuhnya di dinding tembok yang dilapisi sebuah bantal.
Aku segera mengambil rantang makan siang di depan kamar.
Sambil menunggu Lili berbicara. Aku segera mengajak Arumi dan Anum makan, mereka baru saja masuk kamar.
Hingga menjelang salat Azar, Lili belum bangun. Rupanya ia tidur pulas. Aku segera membangunkan Lili untuk makan dan salat Zuhur yang hampir di ujung waktu. Sedang Arumi dan Anum keluar sebentar.
Lili akhirnya bangun dengan mata sembab. Ia duduk di bibir ranjang setelah memeluk mukenanya. Aku segera menyuruhnya makan.
"Yayah, orang tuaku akan pindah ke Papua. Mereka menawarkanku untuk ikut dengan mereka. Bahkan memaksa agar aku turut serta bersama mereka.
"Menurutmu?"
"Itulah, aku bingung."
"Aku mengira tadi kamu bertemu dinosorus."
Lili menghela napas pelan. Wajahnya cemberut cenderung tersenyum.
"Ada alasan kenapa kamu dipaksa?" Aku mengambil mukena di lemari.
"Alasan yang tidak kuterima," kata Lili mengambil sandalnya di bawah tempat tidur.
"Alasan apa memang?"
"Ibu ngeri melihat gedung sekolah kita yang baru."
"Karena lokasinya di gunung?"
Kulihat Lili mengangguk. Lalu diam memeluk mukenanya.
Arumi dan Anum bersamaan masuk ke kamar. Keduanya segera mengambil mukena di belakang pintu.
Ah, kami tertawa pada akhirnya, baru menyadari jika mukena kami berwarna yang sama, pink.
Kami tertawa lagi. Lili pun sudah ikut terbahak.
"Ayo kita keluar, nanti menjelang tidur ceritamu dilanjutkan," kataku kepada Lili. Setelah ketiganya keluar, aku segera mengunci pintu dan berjalan bersama menuju masjid.
"Kamar tujuh kita sebut pink room saja."
Ketiganya melihatku, lalu tertawa.
"Bukan black pink?"
"Ah, bukan bangetlah!"
Seperti biasa, setelah salat Azar, isi kamarku tidak ada yang langsung masuk kamar. Dengan memakai mukena, kami duduk-duduk di samping teras gedung utama, di bawah pohon pisang yang sangat menjanjikan keteduhan dan kesejukan. Sambil menanti teman-teman yang lain untuk olah raga.
Anum tiba-tiba berdiri, melangkah masuk ke kamar sebentar.