Bab 6
SELAMAT TINGGAL DIKLAT
Setelah beberapa bulan menunggu, akhirnya di awal bulan Nopember ini kami benar-benar akan pindah sekolah sesuai rencana.
Pagi ini dingin sekali, semalam sempat hujan walau hanya sebentar saja. Rasanya masih ingin meringkuk di bawah selimut. Jendela yang ada di samping kamar mandi berselimut titik-titik air. Mata rasanya berat, kehangatan selimut pemberian Tente Lastri benar-benar membawa kemalasan untuk bangun.
Aku dan Anum berusaha bangun. Ia mengambil botol minum di lemarinya. Sedang aku berjalan ke jendela, dengan selimut yang masih tersampir pada bahu. Di sana, langit masih berselimut mendung. Sebentar lagi pasti hujan. Kulihat tali jemuran yang terisi separuh. Jika tidak segera diambil, pasti jemuran itu lebih basah kena hujan. Dan kadang memang begitu. Teman-teman pada lari mengambil jemurannya jika sudah basah kuyup.
"Seminggu lagi kita di sini," kata Lili sambil membaringkan tubuhnya. Tadi Lili bangun sebentar mengambil buku.
"Untung saja tidak kehujanan dari masjid tadi." Aku berbicara kepada diri sendiri, juga kepada kilat di langit sana yang nampak jelas menyilaukan mata. Aku menutup telinga, meninggalkan jendela yang semakin buram.
"Kenapa, Li? Tidak mau ikut?" Aku melirik Lili yang sedang memeluk bantal guling.
"Tidak kenapa-kenapa. Tapi kan di sana belum rampung gedungnya," kata Lili, yang dibenarkan oleh Arumi.
"Waktu ke sana dulu, kondisinya sudah bisa ditempati, kan?" Arumi ikut bertanya. Kelihatan agak cemas.
"Lumayanlah progres gedungnya. Walaupun saat itu listrik dan air belum terpasang. Tetapi yakin kok mungkin saat ini sudah selesai pengerjaannya," kata Anum lagi. Iya kan, Yah?"
Aku segera mengangguk. "Semoga."
Ini hari Jumat. Aku keluar kamar, mencari Pak Anang untuk meminjam ponselnya. Aku ingin menelepon Kak Zainal. Siapa tahu Kak Zainal bisa menolong aku, datang mengambil sebagian barang-barang seperti dispenser atau rak sepatu. Hari ini adalah pengecualian, kami para siswa bisa menghubungi keluarga.
Selesai belajar, kami para siswa dihimbau agar menyiapkan barang-barang. Karena hari Ahad lusa, kami benar-benar akan meninggalkan asrama diklat.
Hari Ahad.
Pagi yang cerah, tidak ada mendung yang menggantung. Selesai salat Subuh kami disuruh bersiap-siap. Kak Zainal sudah datang beberapa menit yang lalu dengan membawa mobil yang agak besar milik Tante Lastri, adik ibu.
Aku membawa satu koper sedang, satu tas selempang dan satu konteiner plastik untuk buku-buku.
Di halaman asrama ramai, semua barang-barang keluar dan dikumpulkan di halaman dan di teras asrama. Teman-teman memakai pakaian biasa. Ada beberapa teman yang orang tua atau salah satu keluarganya ikut mengantar. Yang mobilnya muat, dipersilakan mengikutkan teman.
Pink Girl sudah siap di mobil Kak Zainal. Matahari menembus kaca hitam mobil. Ibu Kamad muncul dari asrama dan berdiri tepat di teras asrama. Kami lalu keluar dari mobil dan segera mengatur barisan.
Setelah Ibu Kamad menyampaikan pengarahan, kami diberi waktu beberapa menit lagi untuk kembali mengecek barang-barang kami di kamar asrama. Setelah dipastikan tidak ada barang yang ketinggalan, kami semua disampaikan untuk menaiki kendaraan yang telah disediakan.
Jam sembilan kurang lima menit, mobil Ibu Kamad yang dikemudikan suaminya, bergerak meninggalkan gedung diklat, disusul mobil rombongan guru dan mobil lainnya.
Seluruh siswa menampakkan wajah gembira seakan kami akan berangkat piknik. Ada salah satu mobil rombongan yang bernyanyi sepanjang jalan, yaitu mobil keluarga Aris. Rasanya seru juga melihat mereka.
Tadi, waktu keluar dari asrama diklat, aku, Arumi, Lili dan Anum membalikkan badan beberapa jenak, melambaikan tangan ke arah gedung diklat dan mengucapkan terima kasih serta selamat tinggal, kepada kamar, kepada sudut bagian belakang gedung dan pohon pisang yang selalu memberi kesejukan, tempat kami selalu duduk pada sore hari menonton siswa laki-laki berolah raga. Dan itulah satu-satunya tempat hiburan kami.
"Sedih juga ya rasanya," kataku pelan.
"Iyya ya," Arumi, Lili dan Anum bersamaan.
Perjalanan ke sana melalui banyak area persawahan. Rumah-rumah penduduk yang masih tradisional berupa rumah panggung. Namun tak sedikit juga rumah yang sudah berdinding tembok. Kami melihat hamparan padi yang menghijau dan yang sedang menguning hampir di sepanjang perjalanan. Gunung-gunung yang tinggi dan beberapa bukit banyak kami jumpai selama perjalanan. Sebuah tempat yang tinggi, jika dilihat dari ketinggian itu, sebagian kota Makassar akan tampak.