Cahaya Dari Bellapunranga

Andi Sukma Asar
Chapter #7

BAB 7. NELANGSA DI GEDUNG HIJAU


Bab 7  

NELANGSA DI GEDUNG HIJAU

Hari Sabtu.

Keluar dari masjid, aku dan teman-teman yang lain memilih bersenam pagi ringan di halaman masjid dan sekolah. Walaupun rasa dingin menyusup lewat mukena, kami para siswa berusaha menahannya dengan bercanda dan bercerita apa saja tentang hari kemarin, kini dan esok. 

Alam masih terasa bisu. Pohon besar di belakang dan di samping gedung sekolah masih kaku. Aku melompat-lompat, setelah merentangkan tangan ke bawah dan ke atas. Ke samping kiri dan kanan.

Di sana, puncak gunung yang nyaris sejajar dengan kepalaku terlihat ada kabut yang tipis. Kualihkan pandanganku mengelilingi alam di sekitarku. Semua tampak hijau. Musim kemarau yang sangat panas, tetapi di sini, malah pemandangan nampak menghijau.

Siswa laki-laki ada yang berolah raga main lompat tali dan ada yang main bulu tangkis. Oh sudah ada rupanya yang membawa raket dan bulunya. Hanya, net yang mereka pakai masih dari bentangan tali rafiah.

Pak Anang datang di antara kami. Lalu mengemukakan kekhawatirannya tentang persediaan air sebentar malam. Pak Anang bilang kalau kita harus menghemat dahulu penggunaan air. Sebab air ledeng sedang macet.

"Ini pertanda kita harus mencuci pakaian di sungai," desisku.

Yang paling khawatir saat ledeng macet tentulah kami para siswi perempuan. Seperti Lili saat ini, ia datang bulan. Jadi Lili menyetok air mineral yang dibeli di koperasi kemarin siang. Di lemarinya, ada empat botol air mineral ukuran 1000 ml.

Waktunya sarapan. Ternyata tempatnya di sebuah gedung di bawah sana. Jalanan ke sana melewati samping masjid, menuruni permukaan tanah yang kasar dan sempit. Pada kiri dan kanan ada semak belukar yang sangat rimbun. Jalanan seperti itu ada kira-kira lima puluh meter hingga mencapai kantin.

Di area sekitar kantin ada hamparan rumput dan bukit-bukit yang bisa diakses menuju perumahan dinas guru-guru. Rumah dinas Ibu Kamad tidak berada pada ketinggian yang sama dengan para guru. Tetapi ada di bawah yang tidak jauh dari kantin.

Aku berdua Arumi yang paling dahulu tiba. Aku masuk ke gedung itu sambil berjalan-jalan melihat seputar ruangan.

Sebenarnya kamar tidak ada, hanya gedung itu dibuat beberapa sekat untuk dapur, ruang penyimpanan bahan makanan, ruang persiapan makanan yang sudah masak dan terakhir ruang makan yang dibuat cukup luas. Meja panjang untuk prasmanan diletakkan di dekat tembok yang berlubang. Agar Ibu Tika, nama pengelolah kantin mudah menyimpan makanan tambahan di meja tanpa harus keluar melalui dinding.

Ruang yang seluruh dindingnya dicat putih terlihat luas. Meja panjang dan kursi panjang untuk para siswa diatur di tengah, bukan di pinggir berdekatan tembok. Ini memudahkan para siswa untuk bergerak dengan nyaman tanpa harus menggeser meja atau kursi pada saat makan.

Aroma harum dari dapur jelas tercium yang segera memenuhi ruangan. Beberapa kali aku mengembang-kempiskan hidung. Di meja panjang sudah tersedia makanan dan minum. Karena ini sarapan, jadi Ibu Tika, membuat nasi kuning, telur rebus, telur dadar yang dicampur sayuran, kentang goreng yang diiris korek api lalu dibumbui kecap. Ada semur tempe dan sambal yang pedas juga.

Tidak lama, seluruh siswa perempuan sudah tiba dan bergegas mengambil makanan di meja prasmanan lalu duduk di meja panjang di tengah ruangan. Kami dihimbau agar tidak berlama-lama, sebab setelah perempuan, siswa laki-laki yang punya giliran untuk sarapan.

Jadi, meskipun di madrasah ini ada siswa laki-laki dan perempuan, namun kami tetap punya jarak yang selalu terkendali. Kami memang sangat ditekankan agar bertemu dan berbincang dengan siswa laki-laki jika itu menyangkut pelajaran dan hal lain yang sangat penting saja.

Walaupun kami sekelas dengan siswa laki-laki tetapi kami tetap diwajibkan menjalankan peraturan yang tidak tertulis itu.

Waktu sore, adalah waktu yang kami nanti-nantikan.

Jika di diklat dahulu, sore hanya berkumpul di halaman saja. Tetapi di sini, ada banyak kegiatan yang menyenangkan. Duduk-duduk di depan sekolah saja, merupakan piknik terindah yang luar biasa. View yang ditawarkan di depan sekolah sungguh indah. Gratis pula.

Sebelum ke kamar, aku dan Arumi berdiri beberapa jenak di depan gedung sekolah, persis di tangga batu.

Sambil melihat para tukang yang mengerjakan masjid, aku dan Arumi bisa melihat dan menikmati alam raya ciptaan Tuhan. Berupa gunung dan hutan yang terhampar mengelilingi sekolah. Kesejukan dan kedamaian sungguh merupakan anugrah terindah di sini.

"Masjid kita hampir selesai ya," kataku pada Arumi.

"Rampung seratus persen belumlah ya. Yang penting lantainya dulu. Kan bisa kita pakai salat, bukan di ruang kelas lagi, kan?"

Aku mengangguk. Para pekerja itu nyaris menyelesaikan lantainya. Kalau cepat kering, besok atau lusa masjid itu sudah bisa digunakan. Setiap hari Sabtu, para pekerja itu bekerja lebih cepat dari biasanya, tetapi pulang juga lebih cepat dari hari biasa. Karena besok hari Ahad, mungkin mereka akan menggunakan hari libur lebih lama.

Pak Syafril datang dan memanggil beberapa siswa laki-laki. Lalu mengajak ke depan masjid sebelah kiri untuk menggemburkan tanah tanamannya. Pak Syafril dan Pak Chiyam sama-sama menyukai kegiatan menanam.

Aku sempat mendengar Pak Syafril mengatakan kepada teman-teman yang dipanggil tadi agar bergiliran menyiram tanamannya nanti. Pak Syafril akan menanan sayur-mayur, lombok dan ubi jalar.

Aku ke kamar sebentar, dan keluar membawa tripod yang masih terlipat. Ketika aku keluar dari gedung sekolah, Boby pun muncul dengan tripod dan kamera besar di tangannya. Kami saling menatap heran. Tetapi aku segera berjalan ke samping barat gedung, di ujung aspal.

Ternyata, Boby juga mempunyai tujuan yang sama denganku. Memang, dari seluruh tempat di sekitar sekolah, di tempat inilah yang paling indah, dari depan masjid bergeser beberapa langkah ke sebelah kiri. Di depan sana, hutan yang menghijau sangat indah. Nampak beberapa puncak gunung yang berjejer melatar-belakangi hutan, lembah jurang yang juga tetap hijau.

Aku mulai membuka lipatan tripodku ketika Lili datang mendekat. Kupasang ponselku dan kusetel kameranya agar menyasar ke puncak gunung. Begitu pula Boby, dengan gesit memasang kameranya di tripot yang telah berdiri. Ternyata, sasaranku sama, puncak gunung yang sedang diselimuti kabut tipis.

Untuk sesaat, aku dan Boby bertatapan. Setelah itu melihat ke kamera masing-masing.

Baru saja satu kali aku klik, Anum datang menyenggol lenganku.

"Kita mau sekolah, Cahaya! Motretnya sebentar sore saja," kata Anum lalu bergegas pergi.

Lihat selengkapnya