Bab 8
SUARA DARI GUNUNG
Malam sudah jauh merayapi alam. Pun alam sudah diselimuti dingin. Aku berdiri sebentar, menggapai jaket yang tersampir di samping lemari. Aku ingin membebatkan di badan beberapa menit, lalu memakai selimut, sebab tiba-tiba aku merasa dingin.
"Sudah dini hari," desisku lalu memejamkan mata sesaat.
Aku bergeser dua langkah dari tempat tidur untuk melihat jam dinding yang ditutupi lemari. Sebenarnya bisa juga aku melihat jam di arloji yang kusimpan di lemari. Tapi lebih cepat melihatnya di dinding.
Tadi pagi sebelum ke kelas, aku memasang paku kecil dua senti sebanyak dua buah. Lumayan untuk mengaitkan sweater rajutan yang berwarna krem, tentunya berbahan wol. Walaupun bahan itu sebenarnya riskan digantung pada paku, tetapi itu lebih gampang rasanya aku ambil. Lagi pula, paku itu aku sudah bungkus dengan selotip beberapa lapis, jadi aman. Sweater itu hadiah ayah saat dari Bandung dua bulan lalu. Karena suka merajut, aku membuatkan bunga ros berwarna pink terang. Lalu kusematkan persis di bagian dada. Bahkan alat merajutku yang sekotak itu aku bawa ke sekolah. Sewaktu-waktu, aku akan menggunakannya pada waktu senggang, entah membuat bunga atau renda pemanis ujung baju nantinya.
Aku duduk di bibir ranjang kayu. Kupalingkan mukaku ke segala arah. Hening, Semuanya sudah terlelap, mungkin sudah terbang bersama mimpi indahnya.
Aku melihat Arumi, Lili dan Anum dengan masing-masing gaya tidurnya yang unik.
Arumi suka tidur gaya terlentang, sebelah tangannya memeluk bantal guling. Tidurnya selalu nyenyak, kadang mendengkur.
Lili suka tidur miring, tangannya dilipat di bawah pipi. Di sampingnya ada boneka beruang berwarna krem. Lalu Anum, ia yang paling imut tubuhnya di antara kami. Model tidurnya tidak menetap, sebentar-sebentar berubah. Kadang terlentang, miring, tetapi lebih sering tengkurap. Mirip orang insomnia, tetapi sesekali mendengkur juga. Itu artinya ia tidur nyenyak walaupun kadang aku mengatakan apa iya, si Anum tidur nyenyak?
Melihat orang tidur tengkurap, aku langsung ingat nenek. Dulu nenek suka melarang jika mendapati aku tidur tengkurap. Padahal rasanya nyaman sekali. Apalagi kedua tangan di dada, wah aku cepat sekali tidur. Kata Kak Zainal, jika aku tidur seperti itu, nenek segera membalikkan badanku. Ketika kutanya alasannya, nenek dengan cepat bilang nanti ayah dan ibu sakit. Sejak saat itu, aku tidak mau tidur tengkurap lagi.
Aku menghela napas. Sedikit pun mataku tidak bisa terpejam meski sebenarnya mengantuk. Aku menarik selimut Lili yang nyaris jatuh di lantai. Lalu berdiri menyingkap sudut gorden. Sekilas, aku hanya melihat kegelapan yang pekat.
Waktu masih kecil sebelum sekolah, aku paling susah tidur jika semua orang sudah tidur. Karena seringnya tidur bersama nenek, aku selalu melarang nenek tidur terlebih dahulu sebelum aku tidur. Jika sudah begitu, lantaran sayangnya nenek kepadaku, ia bangun dan duduk bersandar di pinggiran ranjang dengan mata kadang tidur kadang melek.
"Tidurlah, Cahaya," kata nenek dengan suara parau. Antara sadar dan tidak.
Aku lalu membaringkan tubuh sambil memeluk bantal guling, membenamkan wajah di antara guling dan bantal kepala. Aku selalu menghindari bunyi-bunyi binatang pada malam hari, seperti anjing, burung-burung, kodok bahkan suara cecak. Aku sangat takut suara binatang malam.
Sekali lagi aku minta sama nenek, agar beliau tidur setelah aku benar-benar tidur.
Selama ini, hal itu sudah jarang terjadi bahkan aku lupa kapan terakhir aku tidak bisa tidur. Waktu di pondok pesantren rasanya tidak pernah lagi. Ah, aku sudah lupa.
Lalu, apakah sekarang akan terulang?
Satu jam yang lalu gonggongan anjing terdengar dari kejauhan. Ada juga suara burung malam, suaranya serak yang sesekali terdengar mendekati tembok gedung, persis di sebelah dinding ini. Aku bergidik. Mendengar itu, bukannya aku tidur, aku malah ingin membangunkan Arumi. Namun rasanya tidak tega, ia sudah jauh terbang ke alam mimpinya.
Sepi sesaat. Kini dengan jelas kedengaran bunyi gesekan dedaunan rumpun bambu yang ada di belakang gedung. Aku bergidik lagi. Segera membenamkan wajahku pada selimut.
Aku ingin sekali menyalakan lampu, tetapi tentu saja tidak bisa seenak itu. Aku tidak mau egois. Kalau semua teman-teman bangun, bagaimana? Padahal saat ini belum waktunya teman-teman bangun.
Kembali anjing yang menggonggong masih terdengar di kejauhan. Kali ini lolongannya panjang. Tentu saja itu datangnya dari rumah penduduk di bawah sana. Atau bisa saja anjing hutan. Kata orang, jika pada malam hari ada lolongan anjing yang panjang, itu artinya ada makhluk halus. Tapi itu kan di sana.
Ah, kenapa aku memikirkan itu?
Pelan-pelan aku bangkit, membuka sweater, bermaksud mengambil jam tangan di lemari. Bunyi krek beberapa kali dari engsel lemari, membuat Inayah, yang tidur tidak jauh dari lemari terbangun. Aku ingin memakai jam tangan supaya gampang melihat waktu begitu bangun tidur. Dalam keadaan begini, jam tangan dan wekker harus bekerja sama.
"Belum tidur, Cahaya?"
Lantaran temaram dari cahaya lampu teras, jadi tentu saja Inayah masih bisa mengenaliku.
"Belum. Aku ingin mengambil arlojiku."
"Jam berapa sekarang?"
"Setengah dua," kataku pelan.
"Kok tahu?" Inayah menekan suaranya agar tidak berisik.
"Itu jam di dinding. Tidak terlihat?"
Walaupun tidak menjawab, aku tahu, Inayah kurang jelas melihat jam yang begron jamnya berwarna hitam. Jadi jika lampu padam, tentu jam itu sulit dilihat dengan jelas. Satu-satunya pengingat untuk bangun adalah wekkerku yang berbunyi aneh. Wekker yang berbemtuk kucing itu dibelikan ibu waktu keluar negeri bersama teman kantornya. Teman-teman kadang mengucapkan terima kasih kepada si Pushi, demikian wekker kucing itu mereka menyebutnya, karena merasa terbantu bangun.