Cahaya Dari Bellapunranga

Andi Sukma Asar
Chapter #9

BAB 9. CERITA DARI SUATU MALAM


Bab 9. CERITA DARI SUATU MALAM

Hal yang selalu menjadi momok bagi seluruh siswa adalah air. Sudah beberapa hari kami tinggal di sekolah baru, air tak kunjung normal, tidak berjalan lancar setiap hari. Yang terjadi adalah hari ini berjalan lancar, besok macet, begitu seterusnya. Padahal, aku dan teman perempuan lainnya, tentu punya kebutuhan air yang banyak melebihi siswa laki-laki.

Pernah suatu sore, baju yang akan aku gunakan esok paginya, entah mengapa tiba-tiba kotor pada bagian dada. Sepertinya, itu adalah lelehan coklat. Mau mencuci sore itu, tentu tidak bisa kering sampai besok pagi. Parahnya, saat itu air di bak kosong. Akhirnya aku pakai saja baju itu ke sekolah. Sebenarnya aku masih punya satu persediaan kemeja putih, tetapi aku pikir tidak mengapa. Masih bisa kuakali dengan menutupnya hijab. Dari cerita siswa laki-laki ada juga yang lebih seru gara-gara air. Kadang aku harus bertanya pada diri sendiri. Ini tempat yang subur, gunung lagi. Tetapi mengapa mesti air menjadi susah? Kadang siswa laki-laki jika istirahat siang nyambi ngurus air dahulu.

Di depan masing-masing kelas, ada westafel yang bisa saja digunakan untuk mencuci muka atau sekadar mencuci tangan. Tetapi itu pun airnya kadang jalan kadang tidak.Tetapi, suatu malam, Aris dan kawan-kawan berinisiatif mengambil air di sungai kecil di bawah jembatan gantung Anelon. Eh, ini cerita singkat tentang diabadikannya nama Anelon pada jembatan itu.

Katanya, ceritanya begini. Si Anelon yang lucu itu jika melewati jembatan itu, entah mau ke kantin atau mengambil air. Yang jelas, Anelon paling rajin melewati jalanan itu. Dan ketika banyak teman-teman akan melewati jembatan itu, dengan gagahnya dan bak gaya diplomat, Anelon berusaha berdiri tanpa memegang apa pun sambil bercerita. Apa saja yang bisa menjadi bahan ceritanya, membuat kita menjadi tertawa. Akhirnya, kisah terbitnya nama jembatan itu meluas dan menjadi viral di sekolah.

Kembali ke cerita Anelon pada malam itu, bahwa pada suatu malam, ia dan beberapa orang siswa laki-laki akan masuk toilet. Pas masuk di toilet, tak satu pun bak yang terisi air. Mungkin mereka yakin air akan mengalir lancar, sehingga tidak seperti biasanya mereka meninggalkan ember-ember mereka dalam keadaan kosong.

Bagaikan sebuah buah simalakama menghampiri mereka. Antara kebelet dan tidak adanya stok air. Akhirnya, mereka mengambil ember masing-masing dan pergi menuruni sungai kecil di tengah malam buta. Karena keasyikan menimba air, mereka melupakan keadaan diri masing-masing yang menyebabkan mereka harus turun ke sungai, mereka mendengar bunyi sesuatu yang ada di belakang gedung. Aris dan tiga orang teman yang lain saling berpandangan melihat Mali. Mengapa Mali? Karena ia yang dikenal penakut malah turut serta pada malam itu. Ingin melarang, kasihan, sudah terlanjur ikut.

"Laki-laki tidak boleh cengeng!" Aris menarik pelan Mali dan menggenggam tangannya agar mengikut saja. Keempatnya berjongkok memasang pendengaran baik-baik.

"Sst." Aris memberi komando agar jangan ada yang bersuara. 

Mereka terus berjalan menunduk mengikuti arah suara aneh itu karena benar-benar penasaran, sekali pun sebenarnya mereka takut juga. Kali ini mereka berjalan pelan dan berjingkrak-jingkrak. Kadang mereka menginjak ranting kering yang jika patah menimbulkan suara. Kalau terjadi begitu, mereka berhenti beberapa saat. Jika merasa aman-aman saja, mereka lanjut. Mereka kaget ketika menyadari mereka hanya bertiga tanpa Mali.

"Mali di mana?" Firman yang berjalan paling depan tampak heran.

Yang lain mengangkat bahu. Tadi Mali berjalan paling di belakang setelah terlepas dari genggaman Aris.

Kini mereka harus kembali di dekat sungai untuk mencari Mali. Tetapi mereka berjalan mundur pelan namun tetap waspada. 

"Mali membuat kita cemas saja," kata Aris.

"Tapi terakhir kan bukannya di belakang kamu, Ris?" Suara Firman begitu hati-hati.

"Iya, tetapi aku sendiri tidak merasa dipegang setelah naik dari sungai," kata Aris.

Mereka gelisah. Kemana harus menemukan Mali? Ingin berteriak tidak mungkin juga. Ini sudah tengah malam.

Firman, Aris dan Anelon terus berjalan mundur menuju sungai. Aris yang berjalan paling belakang merasa menyentuh sesuatu. 

"Sst, berhenti dulu." Aris meraba sesuatu itu yang ternyata Mali.

Di dekat kayu besar dekat sungai, ternyata Mali duduk ketakutan di situ. Kedua kepalan tangannya ia tempelkan di wajahnya.

"Mali? kamu kenapa duduk di situ?" Aris mendekati Mali yang masih ketakutan. Aris nyaris menyenggol Mali tadi.

Anelon malah tertawa kecil, diikuti Aris dan Firman melihat Mali seperti itu.

"Kita pulang saja. Lagi pula, aku tadi melihat seseorang di sana," kata Mali terbata-bata.

"Apa? Ada yang kamu lihat, Mali?"

Dalam situasi yang temaram, mereka saling berpandangan. Mali menunjuk ke sana, ke arah rumah yang di gunung.

"Rumah itu jarang ditinggali penghuninya, Mali, kamu mimpi!"

"Tapi aku melihat bayangan seseorang di rumah itu," kata Mali.

"Mana mungkin! Rumah itu kosong," kata Anelon.

"Benar, Nel!"

"Sudah, ikut kami saja. Ada atau tidak ada bukan urusan kita," kata Aris.

Lihat selengkapnya