Bab 11 . AKU CAHAYA
Dari hasil rapat seni di titik nol kemarin sore, aku mendapat tugas memimpin seni di bidang pidato. Aku tertawa di depan Arumi, Lili dan Anum. Bagaimana tidak, bidang seni yang lain anggotanya paling sedikit lima orang. Sedangkan seni pidato hanya dua orang, aku dan Boby saja.
Aku bilang kepada Boby, kamu saja ketuanya, aku yang menjadi wakilnya, atau sebaliknya, aku rasa tidak apa-apa. Tetapi Boby bilang tidak mau jadi wakil atau ketua, ia malah mau menjadi anggota saja. Bagaimana bisa? Satu ketua yang lain tentu akan menjadi wakil ketua. Tetapi aku santai saja, itu tidak menjadi masalah, yang penting ia mau diajak kerja sama.
Oh, ternyata masih ada lagi, bidang seni potography. Anggotanya hanya dua orang, aku dan Boby. Lagi-lagi aku tertawa di depan lembaran kertas yang diberikan Anelon tadi. Pasti ia akan tertawa bila melihat di kolom pidato dan photography anggotanya hanya dua orang. Setelah aku pikir-pikir dan ingin mengajak anggota Pink girl, maka mereka pun dengan senang hati bergabung. Arumi, Lili dan Anum, katanya, akan siap membantu.
Boby sempat tertegun waktu itu di depan masjid menjelang salat Azar. Saat aku beritahukan keadaan kedua kolom yang namanya hanya aku dan dia. Ia tidak mengomentari apa-apa, tetapi ia hanya memperhatikan lembaran kertas di tangannya lalu mengernyitkan dahinya. Dalam hatiku tetap bergeliat, tumben Boby bereaksi? Yang biasanya, apa pun yang terjadi di belahan bumi mana pun, Boby fine-fine saja, dan no care.
Tetapi kali ini aku tegas mengatakan kalau mereka itu, anggota Pink girl, pintar memotret, walau tak selihai Boby. Bukti-bukti kepiawaian mereka bisa dilihat pada hari Sabtu atau Ahad di ponsel. Atau kelincahan tangan mereka bisa diuji pada hari Sabtu dan Ahad nanti. Itu yang kukatakan kepada Boby. Reaksi Boby tentulah seperti biasa, tidak ambil pusing walau mungkin, aku jungkir balik di depannya.
Boby diam menyimpan rasa heran atau kagum. Entahlah. Keinginanku saat ini sebenarnya hanya satu, yakni menanyakan apakah dia sudah siap mengikuti perlombaan pidato lusa. Lalu bagaimana naskah pidatonya, sudah beres atau belum?
Si Pink girl sempat bilang kepadaku, kalau urusan pidatonya si Boby adalah urusannya sendiri, tidak usah aku ikut campur. Tetapi aku tidak bisa, aku ingin bekerja sama yang baik dengan Boby dalam urusan nama baik sekolah. Sunggih idealis memang kedengaran.
Akhirnya batal juga aku bertanya, Boby terlalu datar wajahnya. Jika aku bertanya pada saat itu, sudah pasti ia diam. Kalemnya tidak ketulungan. Lantas wajar saja, bila banyak teman yang menamainya sultan es. Berwajah sultan namun hati sedingin es. Amboy!
Setelah aku dan Boby berpisah setengah jam yang lalu, aku menemukan sehelai kertas konsep pidatonya di depan masjid. Jelas saja, karena ada namanya di sudut atas kertas. Ah, untung saja aku yang menemukan. Sepertinya, konsep ini yang sering ia bawa di saku bajunya. Aku lantas menelitinya lagi. Benar! Ini konsep pidatonya si Boby.
Aku dan Lili segera mencari Boby di kelasnya, sebelumnya aku menanyakan ke beberapa teman yang kutemui. Sebab biasanya Boby jika sore begini, ia suka nongkrong di titik nol memotret atau di kelas bersama Anelon.
Lili mengusulkan agar memcarinya juga di belakang kantor. Boby pun sering ke sana bersama Aris dan Firman. Mereka suka duduk di sana, di bawah pohon yang rindang sambil memetik gitarnya.
Tetapi Boby tidak ada di beberapa tempat itu. Bahkan Aris pun tidak tahu menahu. Anelon? Ke mana pula si Nyong Ambon berwajah klimis itu.
"Nah, itu dia si Anelon," kata Lili.
Setelah mendekat, aku memanggil Anelon dan segera menanyakan Boby.
"Boby sedang bersama Pak Anang," kata Anelon.
"Bukannya Boby mencari ini, Nel?" Aku memperlihatkan lembaran yang sudah kusut di tanganku.
"Biar aku yang sampaikan kepada Boby. Hm, ada lagi?" Anelon menerima kertas itu dan menatapku sesaat. Lalu meninggalkan aku dan Lili.
Padahal, bertemu dengan Boby ada hal yang ingin kukatakan kepadanya. Tentu hal yang berhubungan kegiatan seni. Tetapi sudahlah. Lain kali saja. Kata Anelon tadi, Boby bersama Pak Anang, tentu keduanya membicarakan lomba pidato itu.
Setelah salat Magrib, ada pemberitahuan di emalku, di laptop tentu. Sebab harus menunggu tiga hari lagi untuk memegang ponsel.
Seminggu yang lalu, iseng aku mendaftar lomba memotret diri sendiri dengan latar belakang suasana pagi sebelum matahari terbit. Sehari setelahnya, aku meminta izin kepada Pak Anang untuk meminjam ponselku untuk memotret.
Pada pagi hari itu setelah salat Subuh, saat matahari belum bersinar, aku segera kembali ke kamar menyimpan mukena. Sementara Arumi, Lili dan Anum berjalan lamban seraya bercerita. Entah mengapa saat itu mereka tidak terlalu kepo kepadaku. Saat mereka melipat mukena, aku segera turun ke lantai dua terus ke samping masjid. Aku pikir, mereka tidak terlalu peduli apa yang akan kukerjakan, mereka tetap asyik bercerita sambil tertawa.
Garis cakrawala timur sudah berwarna jingga kemera-merahan. Dan langit di atasku juga sudah berwarna biru bersih. Awan putih berarak lamban dengan bersih. Burung-burung yang senantiasa menyambut pagi, terbang berkeliling di atasku.
Sebuah batu besar berwarna hitam yang ada di pinggir jalan titik nol. Batu itu sedikit tersembunyi oleh rimbunnya pohon semak. Aku menyingkap pohon yang ada di sekitar batu dan mengatur posisi duduk, posisi wajah dan latar belakang. Foto yang akan aku ambil adalah foto selfi dengan tema cahaya jingga sebagai begronnya.
Tentu ada rasa senang bercampur haru dengan terpilihnya fotoku ke dalam lima puluh besar. Lalu mengerucut menjadi sepuluh besar. Betapa tidak, foto yang aku ambil itu adalah foto yang aku usahakan sendiri. Hasil selfie itu aku edit di laptop dan menuliskan narasi pagi itu, sesuai penafsirkanku.
Peserta yang lolos sepuluh besar akan diberi tema yang lebih menantang. Tema itu adalah kabut. Tentu saja, jika hanya memotret kabut itu mudah, aku bisa mengambilnya di puncak gunung sana, atau kabut yang ada pundaknya saja. Dari jauh bisa saja difoto, dizoom dan ditangkap layar. Namun kabut itu harus dalam mode video.
Aku tentu mesti bersyukur. Dua tema yang diberikan oleh panitia, semuanya disediakan alam di lokasi sekolah. Aku tinggal menunggu momen terbaik untuk mengabadikannya.
Tema kabut, meskipun tidak mudah, tetapi aku tidak susah mencarinya karena kabut itu ada di depan mata, yang kadang tampak hadir menyelimuti puncak gunung yang kelihatan dekat namun sebenarnya jauh juga.
"Untuk urusan ini, aku tidak menemui kesulitan. Dengan diliputi rasa senang, aku berlari-lari kecil menemui Pak Chiyam, guruku yang punya hobi yang sama denganku.
Menemui beliau bukanlah pekerjaan susah. Pak Chiyam selalu ada di sekitar masjid. Beliau tidak tinggal di perumahan dinas. Hampir setiap hari, Pak Cjiyam duduk bercengkerama di teras masjid dengan beberapa orang siswa laki-laki, atau menanam sayuran.
"Pak Ustaz, aku lolos lomba foto selfie berlatar langit jingga, dan berhasil masuk sepuluh besar." Pak Chiyam terkejut.
"Kapan kamu ikut, Cahaya?"
"Seminggu yang lalu, Pak. Iseng saja, eh menang." Aku tersenyum malu-malu.
"Hm, alhamdulillah. Tetapi tentu kamu tidak iseng membuatnya, kan? Bagus itu. Artinya Cahaya memang punya bakat yang terpendam."