Bab 12. PERJALANAN MEMBURU KABUT
Hari masih pagi. Dingin sangat terasa. Perjalanan yang akan dipimpin oleh Pak Chiyam terasa bersemangat, ringan dan gembira. Oh iya, tidak lupa diajak Pak Basir selaku penunjuk jalan. Walaupun sebenarnya Pak Chiyam pernah melakukan perjalanan ke tempat yang dituju kali ini, tetapi alangkah bagusnya perjalanan kalau Pak Basir ikut, lagi pula, ia bisa membawa camilan dari warungnya.
Rute perjalanan dimulai dari sekolah tentu, lalu berjalan ke bawah, menuju sebuah lapangan sepakbola yang berjarak seratus meter dari sekolah. Lalu berjalan ke arah barat. Kata Pak Basir, jalanan ke gunung kali ini akan lancar, sebab jalanan kering. Biasanya jika hujan sudah turun, susah sekali ke sana. Menurut Pak Basir lagi, ada kemungkinan di hari Ahad ini banyak orang berkunjung ke sana sekadar menikmati alam yang terbuka nan hijau. Warga di sekitar sekolah, bahkan di luar desa tidak jarang datang ke tempat itu baik perorangan maupun rombongan. Biasanya, mereka datang membawa camilan atau makanan apa saja.
Aku bergandeng tangan dengan Lili, berjalan bersisian sambil membuka ranting-ranting yang runcing dan berduri. Sesekali teman-teman bersenandung menikmati perjalanan. Betapa riunya mereka.
"Masih jauh, Pak Basir?" Lili berpaling ke kiri. Melihat Pak Basir berjalan cepat, semuanya ikut berjalan cepat.
"Nah, tempat yang kita tuju sudah dekat." Pak Basir menunjuk ke arah selatan.
Namun tetap saja, tempat yang ditunjuk Pak Basir masih tertutup rerimbunan pohon. Sedangkan Pak Chiyam kelihatan santai. Aku tahu, beliau pernah mendatangi tempat itu. Namanya Bullirang. Sebuah tempat berupa hamparan rumput yang luas. Di sekelilingnya gunung dan ada bukit yang indah. Pak Chiyam kadang memperlihatkan foto-foto hasil jepretannya waktu di kaki gunung itu. Ada juga foto-fotonya di sebuah air terjun, di sungai dan masih banyak lagi tempat yang pernah diabadikan Pak Chiyam.
Bila pagi seperti ini, suasananya masih tetap dingin dan segar. Sudah beberapa hari ini cuaca mendung namun hujan tidak jua turun. Di sana, ada gunung dan beberapa bukit yang berselimut kabut. Kupikir, beruntunglah aku, diberi tugas seperti ini. Tidak susah mendapat kabut seperti yang kuinginkan.
"Kita telah tiba," kata Pak Chiyam.
Semua teman-teman bukannya kelihatan capai berjalan menelusuri pinggiran hutan. Malah wajah-wajah mereka cerah dan bersemangat.
Sampai di lokasi, teman-teman langsung mencari posisi. Ada yang berselonjor di hamparan rumput sambil memandang alam sekitar yang menghijau. Ada yang langsung berjalan-jalan mendekati kaki bukit berupa kebun jagung.
Terlihat Pak Chiyam dan Pak Basir bercerita sebentar, menunjuk ke suatu tempat. Tidak lama kemudian, Pak Chiyam berbalik dan melambaikan tangannya kepadaku, memberi kode agar segera mendekat.
Aku berlari-lari kecil, meninggalkan ransel di samping Pinggel. Oh, aku lupa, semalam sebelum tidur, Lili mengusulkan agar Pinggel ditulis sesuai sebutannya saja. Dan kami berempat setuju. Arumi lantas menulis kata "Pinggel" dengan spidol hitam pada selembar kertas tebal lalu menempelkan pada dua lemari.
"Wah, kabutnya sedang tebal, cocok sekali untuk pengambilan gambar. Cahaya mau mengambil angle dari mana?" Pak Chiyam menatapku, menanti jawaban. Dan aku pun terkejut, Pak Chiyam membuyarkan lamunan sesaatku.
"Sebenarnya, aku ingin mendapatkan video dari tiga angle, Pak." Aku mulai serius.
"Maksud Cahaya?" Pak Chiyam kembali menatapku lagi, tetap menginginkan jawaban yang jelas.
"Pertama, aku ingin mengambil video yang hanya fokus pada kabut. Yang kedua, kabut beserta bukit dan sekitarnya, termasuk bentangan langit. Dan yang ketiga, aku ingin memperoleh video dari angle sekolah. Biar sekolah kita tampak di videoku. Begitu, Pak." Aku memilin ujung hijabku sambil tersipu.
Pak Chiyam tersenyum mengangguk-angguk. Ia pasti sudah mengerti maksudku.
"Baiklah. Dua angle kita ambil hari ini ya, Cahaya. Kalau yang satunya kan di sekolah," kata Pak Chiyam lalu memintaku mengambil tripod.
Aku segera mengambil tripod di ransel dan segera memasang ponsel. Kali ini aku memakai tehnik timeskape. Artinya, posisi kamera didiamkan selama tiga puluh menit dalam keadaan merekam. Setelah itu, aku ganti posisi.
Aku melihat teman-teman begitu gembira, bebas dan merdeka dengan ponsel di tangan masing-masing. Semua sibuk berswafoto, bahkan ada yang ikutan mengambil foto kabut yang bertengger di pundak bukit.
"Kita bisa ke sana," kata Pak Basir, mengajak aku dan Pak Chiyam. Namun begitu, ada beberapa teman yang ikut menuju kaki bukit, lebih dekat dengan kabut.
Tiba di sana, ternyata kabutnya agak tebal dan tidak terlalu tinggi seperti yang terlihat dari sekolah.
Pak Chiyam meluruhkan ranselnya. Membuka resleting dan mengeluarkan andalannya, tripod dan kamera Sony A72.