BAB 13. WIDYA PULANG
Lili mendengus sepanjang jalanan yang menanjak. Kakinya terasa berat. Badannya kadang ia bungkukkan lalu berhenti sejenak sambil memegang pinggangnya. Tetapi raut wajahnya tetap gembira walau tangan kanannya memegang ikatan dengan dua ekor ikan nila yang bergerak-gerak. Tadinya, semua ikan yang berhasil ditangkap akan dibawa oleh Pak Basir dalam sebuah karung. Tetapi Lili memaksa Pak Basir untuk mengeluarkan dua ekor untuk ia bawa.
Begitu tiba di sekolah, teman-teman langsung duduk di teras masjid sambil berselonjor kaki. Ada rasa capai tentu. Setelah beberapa saat, aku dan teman-teman segera menuju kamar dan mengganti pakaian, membaringkan tubuh sejenak. Aku lalu bangun kembali melihat ke arah bukit yang didatangi tadi. Ternyata kabut yang membentuk seperti kurva sudah menipis. Artinya, aku harus menunggu esok pagi lagi. Bagaimana kalau besok tidak ada kabut?
Tetapi, Boby pernah berkata, tebal atau tipis tidak ada masalah, semua bisa difoto. Toh kemudian bisa diedit. Artinya, kabut yang di sana bisa diambil fotonya sekarang. Ah, aku jadi takut jangan-jangan besok pagi kabut itu beneran tidak ada.
Aku berlari kecil menuruni tangga menuju masjid untuk bertemu Pak Chiyam. Oh, beliau rupanya tidak ada, menurut Pak Basir, ternyata Pak Chiyam sedang menuju ke rumah dinas.
Aku segera mengikuti Pak Chyiam, berjalan cepat menuruni jalan kecil menuju kantin. Di depan kantin aku mendapati Pak Chiyam sedang berbincang dengan Ibu Nas. Melihat aku yang datang, Ibu Nas berbincang sebentar lalu segera masuk ke dalam rumah dinas Ibu Kamad.
"Maaf, Pak Ustaz, apa tidak sebaiknya kabut yang ada sekarang aku foto saja?"
Pam Chiyam kelihatan heran.
"Kan bisa besok, Cahaya?"
"Takutnya besok kabutnya tidak ada, Pak," kataku tersenyum, berharap agar Pak Chiyam mau membantu aku.
"Kenapa berubah pikiran?"
"Mumpung kabutnya masih ada, Pak. Lagi pula kata Boby, tebal atau tipis kabut itu tidak menjadi masalah, bisa diedit."
Pak Chiyam tersenyum menatapku, lalu mengangguk. "Oh begitu? Baiklah."
Akhirnya Pak Chiyam batal ke rumah dinas. Ia berbalik dan berjalan melalui lorong kecil.
"Aku ambil ponsel dulu ya, Pak," kataku lalu berjalan lebih cepat menuju kamar di lantai dua asrama.
Jam menunjukkan angka sepuluh. Dari jendela kamar, sepintas terlihat suasana masih seperti tadi, mendung tetapi tidak hujan. Di sana juga terlihat Pak Basir sibuk mengurus karung berisi ikan lalu diletakkannya di samping masjid. Ia mencari kayu-kayu kecil bekas mal para pekerja gedung di sebelah.
Ponsel sudah di tanganku. Segera aku ke masjid menemui kembali Pak Chiyam.
Asap mengepul dari samping masjid. Pak Basir tidak sendiri. Ada Pak Syafril membantu dan beberapa teman. Mereka sibuk dengan gembira. Hari Ahad yang berkesan dan menyenangkan.
Pak Chiyam mengajak ke depan gedung sekolah. Aku mengikutinya, sebab foto atau video yang diambil nantinya terdapat gambar sekolah atau masjid. Itu memang keinginan aku, tetapi tidak mesti juga. Yang terpenting adalah hasilnya akhirnya yang memukau.
Aku mengikuti saja kemauan Pak Chiyam mau memotret dari angle mana, kemudian aku mencontohnya. Aku juga akan mengambil beberapa gambar dan video. Ah, bisa-bisa nanti bingung memilihnya. Ternyata, angle dari sekolah juga sangat bagus.
Pak Chiyam tampak sibuk menyetel kameranya.
"Ternyata di sini juga bagus ya, Pak?"
Aku tersenyum sambil menyetel ponsel, mengambil foto dan video terbaik.
Di sana, di samping masjid, asap masih mengepul dari pembakaran yang dilakukan Pak Basir. Teman-teman yang lain ada yang memetik tomat dan lombok lalu membuat cobek mentah.
"Sudah ya, Cahaya. Ayo ke sana."
"Iya, Pak. Ini sudah banyak. Aku akan meminta bantuan Boby untuk memilih yang terbaik."
Aku berjalan ke depan masjid, ingin bergabung dengan teman-teman.
Keseruan saat membakar ikan bersama sangat terasa ketika bersama-sama merasakan ikan bakar nila yang masih hangat. Teman-teman nampak sangat senang. Wajah mereka ada yang berkeringat karena pedas.
Menjelang salat Zuhur, semua teman-teman pada bubar menuju kamar untuk mandi, bersiap untuk salat Zuhur. Sedang Pak Basir berusaha mematikan api dan membersihkan kembali tempat itu.
Setelah mandi dan berpakaian, aku berdiri sejenak di pintu kamar. Beberapa saat aku menatap ke arah kelas MIA 2. Di sana, ada Widya duduk sendiri, yang sebenarnya aku sudah melihatnya sejak datang dari bukit tadi. Tetapi aku pikir, mungkin ada sesuatu yang akan dikerjakannya, mengerjakan tugas atau pun yang lain.
Yang aku tahu, Widya adalah pribadi yang pendiam dan murah senyum. Ia rajin ke masjid dan ikut di grup seni juga.