BAB 14. LIBUR TELAH TIBA
Tiba di rumah sore hari ini, aku langsung ke kamar, duduk di dekat jendela, menatap semua tanaman ayah. Angin sejuk menerpa wajahku. Buah delima, buah jeruk kristal dan tomat ayah sedang berbuah. Di sudut sebelah barat sana, jelas sekali beberapa mangga yang sedang ranum menggantung pada pohon yang tingginya tidak lebih satu meter. Rasanya, semua isi kebun itu menyambut kedatanganku.
Pada liburan kali ini bukan saja untuk melepas rindu kepada keluarga, atau rasa senang kembali berkumpul dan berkesempatan jalan-jalan dengan keluarga. Tetapi lebih dari itu, aku akan belajar serius tehnik memotret kepada Kak Zainal.
Pagi yang sejuk. Angin bertiup lembut. Matahari belum bersinar. Warna kemerah-merahan di ufuk timur sudah nampak.
Aku melongokkan kepala ke arah timur, tampak ibu sedang di teras, menyiangi bunga-bunganya yang telah menguning daunnya atau yang telah layu. Setelah itu menyemprot bunga yang masih kecil-kecil. Semalam, ibu mengatakan kalau Kak Zainal akan berangkat ke suatu acara pagi ini.
"Kak Zainal akan menginap, Bu?" Ibu segera menggeleng.
"Kakakmu akan berangkat pagi-pagi sekali. Takut kena macet katanya."
Aku mengangguk mendengar penjelasan ibu.
Ibu sudah tahu kegemaranku, ibu sudah tahu aku mempunyai minat yang sama dengan Kak Zainal. Sejauh ini, ibu hanya mengingatkan aku untuk melanjutkan sekolah di mana, setelah itu, ibu menyerahkan sepenuhnya kepadaku. Walaupun aku tahu, beliau sangat menginginkan aku melanjutkan kembali pendidikanku di pesantren. Tetapi itu sudah berlalu, ibu tak pernah menyinggung itu lagi. Mengenai kegemaranku, ibu pun tidak ambil pusing. Bahkan ibu selalu mendukung dan menyemangatiku, menanyakan segala kebutuhan hobiku itu.
"Bu, Kak Zainal membawa kameranya?" Ibu menggeleng tanda tidak tahu. Tetapi ibu tidak menyarankan mengecek di kamar Kak Zainal, apalagi aku, mau masuk saja, aku harus mengetuk sampai diizinkan masuk.
"Aku telepon saja, ya Bu?" Ibu mengangguk, melanjutkan pekerjaannya.
Aku masih duduk di dekat jendela di kamarku. Tempat yang paling kusukai di dunia ini. Sebuah jendela lebar yang tidak bertralis. Hanya dibingkai oleh kayu kemudian dilapisi alumimium yang bersiku. Jadi aku bebas melongokkan kepala keluar. Bebas meletakkan kedua tangan di bingkai jendela. Pokoknya aku menyukai jendela seperti ini. Ini jendela duniaku.
Aku meraih ponsel.
"Nah, ini dia. Hallo, Kak! Kapan pulang? Cahaya mau belajar memotret nih," kataku dengan sedikit bumbu manja.
Sebenarnya tanpa bermanja begitu pun, Kak Zainal selalu mengiyakan keinginanku, selama itu tujuan yang positif.
Kak Zainal ternyata ada di salah satu hotel di seputar pantai Losari. Ada pertemuan sesama mahasiswa calon pengacara di sana.
"Sebelum Azar kakak pulang, bidadari!" Baru kali ini Kak Zainal mengatakan aku bidadari. Ambil kosa kata dari mana tuh? Sudah habis istilahnya yang disematkan padaku? Aku tersenyum lalu membaringkan tubuh, menonton yutub tentang photography sambil menanti Kak Zainal pulang.
Tak terasa, hari sudah siang. Sebuah notifikasi berdentang dua kali. Aku bangkit, jangan-jangan …, pikiranku tiba-tiba ke arah lomba video aku.
Benar saja!
"Yeaa! Aku menang! Aku menang! Ibu, Ibu!" Aku segera keluar kamar, berlari-lari kecil di dalam rumah bak anak kecil menuju kamar ibu. Tetapi kamarnya terkunci. Ayah juga belum pulang dari kantor. Ibu pasti ada di kantornya. Aku segera menuruni tangga yang langsung ke garasi. Dari garasi itu, hanya beberapa langkah saja sudah tiba di salah satu ruang di kantor ibu.
Aku langsung memeluk ibu. "Cahaya menang, Bu!" Keseruanku membuat ibu berdiri, tersenyum dan memelukku. Salah seorang pegawai ibu melihatku.
"Anak ibu memang hebat!"
Ibuku itu, apa pun yang aku lakukan, pekerjaan kecil atau besar, pada saat aku kecil sampai besar seperti ini, ibu selalu melambungkan hatiku, selalu menerbangkan mimpiku. Ibu selalu mengatakan aku anak hebat, aku anak solehah yang cerdas.
Aku tahu itu harapan ibu, impian ibu kepada aku yang anak perempuan satu-satunya. Sehingga ucapan-ucapannya yang membuatku terbang itu justru membuat alam bawah sadarku mengamini setiap ibu mengatakan afirmasi seperti itu.
Kak Zainal juga seperti ibu. Selalu memberiku semangat hidup yang lebih, dengan menyebutkan banyak nama yang baik-baik sesuai harapannya.
Ibu, walaupun ada harapan yang dititipkan kepadaku, tetapi ibu sangat bijaksana. Tidak memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya.
Aku segera merenggangkan pelukan ibu. "Ada suara mobil terdengar."
Ibu lalu membuka vitrase berwarna kuning gading itu, menengok sebentar. "Itu kakakmu sudah datang!" Ibu duduk kembali, lalu kedua jari-jarinya lincah menekan tuts-tuts pada papan keyboard komputernya.
Aku meninggalkan ibu dan berjalan menuju rumah.
"Aku menang lomba foto dan video, Kak!" Mataku berbinar melihat Kak Zainal yang baru saja menutup pintu mobilnya.
"Benar? Hebat dong!" Kak Zainal bertepuk tangan.
Aku tentu tersenyum dipuji seperti itu.
"Asal …," kata Kak Zainal pelan.
Aku mengernyitkan kening.
"Asal hafalan tetap lancar. Eh sudah juz ke berapa sekarang, Anak solehah?"
"Hafalan insya Allah tetap, Kak! Sekarang sudah juz ke sepuluh."
"Baguslah, biar dunia dan akhirat seimbang, Putri." Namaku memang Cahaya. Tetapi Kak Zainal jarang memanggil namaku itu. Aku tertawa kecil. Sudah sebesar ini adiknya, Kak Zainal memanggilku seperti mempunyai adik kecil.
Aku mengikuti Kak Zainal menuju meja makan. Rupanya ia lapar.
"Ayo temani kakak makan."
"Sudah, Kak."
Aku membiarkan Kak Zainal makan dahulu. Aku berjalan ke taman belakang yang sejuk. Ada pohon belimbing tinggi yang sedang berbuah. Pada dua bidang tembok, ibu menggantung empat lembar planter bag, lalu ditanami sayur-mayur. Ada juga lombok dan kemangi. Di bawahnya, ibu menanam daun suji beberapa pohon. Lalu pada dinding berlawanan, ibu baru menggantung empat pot terracota yang ditanami sirih gading dan daun sirih merah.
"Kak!" Kak Zainal menyusulku ke taman ini, duduk di sampingku dan mulai sibuk dengan ponselnya.