BAB 15. ZABILA
Tahun ajaran baru telah dimulai. Sebelum kembali ke asrama, beberapa orang teman, terutama para ketua kelas sebelumnya, ditunjuk sebagai panitia penerimaan siswa baru.
Selain Tiara sebagai ketua OSIS, aku salah seorang yang ditunjuk, diberi tugas berpidato, memberikan sambutan dan pengalaman kepada adik-adik kelas.
Aku rasanya malu sekaligus bangga, artinya sekolah telah memberi kepercayaan penuh kepadaku. Walau begitu, aku merasa senang, bisa berbagi pengalaman, memberikan motivasi, memberitahukan kepada siswa-siswi baru bagaimana keadaan sekolah. Aku rasa, sudah menjadi tugasku untuk membakar semangat mereka. Agar tetap bersemangat meski dalam keterbatasan.
Aku ingat, dulu waktu pertama kali menginjakkan kaki di sini, keadaan di depan pintu gerbang sekolah berlumpur. Anelon yang saat itu sedang berdiri di dekat pintu gerbang tiba-tiba dengan refleks berteriak "cemungud, cemungud" sambil kepalan tangan kanannya diayun-ayunkan ke atas kepala. Entah apa alasan si Anelon mengatakan kata itu, padahal menurut dia, cemungud itu artinya semangat, ia hanya membuat plesetan. Siapa pun yang lewat, akan diajaknya berteriak dengan yel-yel itu.
Sekarang, aku ingin mengambil kembali yel-yel itu untuk menyemangati siswa dan siswi baru. Biarlah, aku tidak akan merubahnya, biar menjadi yel-yel khas.
Dengan masuknya menjadi salah satu panitia, aku mesti kembali ke sekolah dua hari maju dari yang direncakan. Jadinya, aku hanya mempunyai waktu libur lima hari.
Aku dan teman-teman panitia belajar mengurus adik-adik siswa baru. Kami dilatih mandiri, dilatih berorganisasi dan memecahkan sendiri masalah yang ada. Apalagi situasi sekolah dari segi properti belum sempurna. Air yang kadang macet, masjid yang belum rampung, plafon asrama sudah ada yang bocor. Bahkan laboratorium bahasa, biologi masih merupakan hayalan.
Anehnya di tengah mimpi-mimpi itu, aku dan teman-teman semakin rajin mengikuti setiap kompetisi dan selalu saja menang. Padahal madrasah ini masih angkatan pertama dengan sekolah yang serba kekurangan.
Kami para siswa sangat merindukan laboratorium.
Keadaan itu pulalah yang aku sampaikan kepada adik-adik siswa baru. Agar mereka tetap gembira, tetap fokus belajar meski keadaan sekolah belum lengkap fasilitasnya.
"La tahzan! La tahzan! Allah beserta kita!" Aku meletakkan telapak tangan di dada.
Ketika adik-adik kelas itu bertepuk tangan, menerima dan menyetujui semua, aku sampai terharu, suaraku menjadi serak, jeda beberapa jenak untuk melanjutkan pidato. Setelah ini sang ketua OSIS, si cantik Tiara akan menyampaikan pula beberapa hal, intinya, adik-adik siswa baru akan dibakar semangat belajarnya.
Para panitia bekerja maksimal, belajar berorganisasi dan merasa bertanggung jawab atas semua pekerjaan, membuat kami begitu bersemangat membina adik-adik baru.
Setelah itu para pemimpin klub kesenian nantinya akan siap mendata bakat seni mereka masing-masing.
Aku menyukai keseharian yang begitu menyibukkan dengan kegiatan bermanfaat.
Aku suka berinteraksi dengan teman-teman yang care dengan keadaan sekolah, care dengan kegiatan ekstrakulikuler dan care dengan dirinya sendiri dan semangatnya untuk berprestasi.
Anelon mendekatiku, ia seakan membisik dan tidak ingin didengar yang lain.
"Ada apa?"
"Ada seorang siswa baru yang sedang menangis di belakang gedung."
Aku langsung mengernyitkan kening, menatap Anelon.
"Kamu tahu namanya?"
"Zabila, sepertinya ia dari Papua." Anelon balik menatapku, menunggu responku.
"Oh sudah tahu namanya?"
Anelon mengangguk.
"Baik, aku ke sana sekarang!"
Di belakang gedung sekolah, seorang gadis bertubuh mungil sedang duduk pada sebuah bangku panjang. Entah dari mana dan siapa yang menyimpan bangku itu. Suasana yang sejuk, duduk berhadapan langsung dengan gunung luar biasa indahnya.
Kita tidak akan pernah menemukan pemandangan seperti ini di kota. Bising di mana-mana oleh kendaraan yang lalu lalang tiada henti. Klakson bersahut-sahutan, deru mobil dan motor kadang memekakkan telinga, kadang membuat suasana kelas menjadi terganggu.
Di sekolah ini, mau di tempat mana pun semua asyik untuk belajar. Hijau, teduh dan tenang.
Aku duduk di sebelah gadis itu.
"Hai! Zabila?"
Ia sedikit terkejut, lantas memalingkan wajahnya kepadaku, bersamaan ia berusaha menyeka air di matanya dengan punggung tangannya, yang sudah terlanjur merembes di pipinya.
Ia mengangguk dan berusaha untuk tersenyum. Zabila memegang kepalanya, membetulkan letak hijabnya yang terlihat kedodoran.
"Maaf. Saya belum terlalu pintar pakai hijab seperti ini. Dulu di pondok saya memakai hijab instan, Kak."
Aku tersenyum memaklumi. "Tidak apa-apa."
Zabila akhirnya bercerita, ia merasa rindu dengan keluarganya di Papua. Sudah lama tidak bertemu. Jauh sebelumnya Zabila sudah berpisah dengan ayah ibunya. Ia sekolahkan di sebuah pesantren yang tidak jauh dari kota Makassar.