BAB 17. PREPARE DEPOK
Angin pagi bertiup sepoi mengirim rasa dingin. Hari Ahad ini giliran siswa laki-laki yang pesiar. Aku dan Pinggel hanya baring-baring di kamar, rasanya malas untuk keluar.
Ketika aku berjalan ke pintu, langit semakin dipenuhi awan hitam. Aku mengamati kendaraan di depan kantor, karena pagi ini Kak Zainal akan datang membezuk.
Jam tujuh pagi, aku berteriak senang tatkala aku berjalan ke pintu kamar, terlihat Kak Zainal melambaikan tangannya dari bawah sana. Tanpa menunggu lama, aku segera berlari kecil menuruni tangga ke bawah, menuju Kak Zainal.
Kak Zainal mengambil sebuah tas berwarna hitam. Hm, itu pasti berisi selimut, bantal dan boneka yang kupesan. Kuambil tas hitam itu dan kuajak Kak Zainal ke teras masjid. Setelah duduk, Kak Zainal melihat-lihat sekeliling. Mengamati gunung yang mengelilingi sekolah. Setelah itu, memperhatikan beberapa sudut masjid yang belum selesai. Lantai yang waktu pertama kali datang masih berupa pasir, kini sudah bisa digunakan walau belum dipasang keramik.
Kak Zainal mengambil ranselnya yang tadi diletakkan di sampingnya. Lalu mengeluarkan sebuah kamera. Melihat itu, aku mengira, Kak Zainal pasti akan mengambil beberapa foto di sini. Tetapi betapa terkejutnya aku ketika Kak Zainal menyerahkan kamera kesayangannya itu sambil tersenyum."Pakailah kamera ini, Putri yang jelita."
Aku tiba-tiba terharu, tentu merasa senang menerima kamera itu.
"Kakak punya kamera baru?"
Kak Zainal menggeleng.
"Tapi, kenapa kamera ini Kakak berikan padaku?"
"Biar hasil foto kamu lebih bagus dan suatu saat bisa juara memotret," kata Kak Zainal tersenyum.
"Terima kasih, ya Kak."
"Baik, kakak akan pulang dahulu. Hati-hati menggunakan kamera itu, jangan sampai jatuh," kata Kak Zainal kemudian berjalan ke mobil.
Aku masih berdiri mengantar Kak Zainal pulang dengan mata yang berkaca-kaca. Lalu si Pinggel datang mengejutkan.
"Wah, kamera baru ya, Yah?" Tangan Lili mengusap kamera di tanganku.
"Bukan, ini kamera kakakku. Mungkin ia sibuk, tidak sempat lagi memakainya. Jadi ia memberikannya kepadaku."
"Kamu sudah bisa memotret memakai kamera ini, Yah?"
"Sudah, tapi belum hafal semua, masih harus belajar lagi. Aku akan belajar kepada Pak Chiyam atau Boby kali ya."
*
Pagi yang cerah, tidak seperti di hari Ahad kemarin. Setelah salat Subuh tadi, seperti biasanya, para siswa dan siswi berolah raga ringan di depan masjid, depan kelas atau di titik nol. Setelah itu aku segera ke kamar, bersiap-siap mandi, sarapan dan ke kantor. Pagi ini aku harus mengejar Ibu Kamad untuk melaporkan perihal rencanaku ke Depok.
Sebelum keluar kamar, aku bercermin sebentar di balik pintu lemari. Cermin itu pemberian Lili. Cermin yang berbentuk persegi panjang itu berbingkai sebuah bunga-bunga kecil artificial, hadiah ulang tahun dari kakaknya. Tapi karena sudah punya cermin, ia memberikannya kepadaku, waktu masih di diklat.
Pintu lemari itu aku tutup dan segera meninggalkan Pinggel yang belum memakai baju seragam. Aku menatap mereka sesaat bergantian, memberi kode kalau aku harus turun lebih dahulu. Setelah mengambil tas, aku segera keluar kamar, menuruni tangga dan berjalan menuju samping masjid, terus menuruni tangga batu dan ke halaman kantor. Aku langsung mengintip ke ruangan Ibu Kamad.
"Oh, syukurlah, beliau sudah ada di tempat," kataku dan segera masuk tanpa menunggu waktu lama.
"Hm, bagaimana, Cahaya? Ada yang bisa ibu bantu?" Ibu Kamad menatapku senyum-senyum yang terus terang membuatku sedikit kikuk.
Aku mengangguk.
"Ibu sudah tahu rencanamu ke Depok. Kamu bisa ikut ujian susulan bersama teman-temanmu yang remedial nantinya. Itu kan ada waktunya." Ibu Kamad tampak serius.
Aku hanya mengangguk.