BAB 18. CERITA DARI DEPOK
Setelah salat Subuh, aku mengambil koper yang ada di atas lemari. Koper itu dulu yang aku bawa pertama kali masuk ke pesantren. Waktu Kak Zainal datang menjemput pulang pada minggu keenam, aku membawanya pulang ke rumah. Di asrama sudah banyak barang-barang yang bikin sesak kamar. Bahkan sebagian barang-barang teman disimpan saja di dalam koper mereka untuk menghemat tempat di lemari.
Aku mengambil koper itu, aku ingin mengganti tas tentengan dengan koper agar gampang membawanya, tinggal didorong saja. Ah, melihat koper itu aku jadi tertawa sendiri, tiba-tiba aku mengingat Nasrul. Teman satu lemari dulu di pondok. Nasrul berasal dari kota Pare-Pare. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakaknya sudah kuliah, satu orang di Jogya dan satu orang lagi di Makassar.
Ah, Nasrul sekarang di mana ya. Ibu dahulu suka melihat lemari punya Nasrul, yang selalu rapi dan bersih. Barang-barangnya selalu teratur dan tempatnya menetap. Jadi Nasrul tidak pernah bingung mencari barangnya jika sedang ia butuhkan.
Aku segera memasukkan baju-bajuku ke koper. Seminggu di sana sudah lumayan lama sebenarnya meninggalkan sekolah. Tetapi ini adalah kesempatan langka. Kesempatan menimba ilmu dari pakar-pakar photography dan penyutradaraan. Dan di Sulawesi-Selatan, hanya vlog aku yang lolos. Uh, betapa terharunya aku mendapatkan kesempatan itu. Aku melap bulir bening yang ingin jatuh di pipiku. Belum lagi mengingat, bagaimana besarnya dukungan guru-guruku dan teman-teman. Aku harus belajar bersungguh-sungguh, aku ingin membuat mereka senang, aku ingin membuat mereka tidak sia-sia memberiku dukungan.
Kulipat kembali baik-baik baju-bajuku, celana panjang dan perlengkapan lainnya. Mengerjakan hal-hal seperti ini aku mengurusnya sendiri. Kemandirian itu benar-benar aku dapatkan dari pondok di Shohid dahulu. Waktu aku masih kecil, masih belum bisa mandiri, tamat sekolah dasar langsung masuk pondok.
Aku menutup koper yang tidak terlalu penuh. Dari luar, ibu terdengar memanggil untuk sarapan.
Setengah enam pagi, aku dan Kak Zainal berangkat menuju bandara internasional Sultan Hasanuddin. Pesawat yang kutumpangi akan take off satu setengah jam ke depan.
Memasuki bandara sendiri adalah hal yang tidak biasa bagiku. Kak Zainal yang mengantarku tentu hanya bisa berdiri sampai di pintu. Sebelumnya, Kak Zainal sudah mengajariku agar segera chek in begitu masuk di ruang bandara.
Setelah selesai chek in dan mendapatkan selembar tiket, aku berjalan menuju ke lantai atas, harus menunggu di gate lima.
Matahari bersinar cerah. Ruang bandara di gate lima sudah banyak penumpang yang menunggu. Aku selalu menunggu komando Kak Zainal. Ia menuntunku dari luar. Untuk yang terakhir, ia memperingatkan agar selalu was-was mendengar pengumuman dari petugas. Aku berdiri menuju pintu cek tiket. Pesawat akan segera berangkat. Sekali lagi aku mengirim pesan kepada Kak Zainal bahwa aku sudah menuju ke pesawat. Biar ia lega.
"Terima kasih, Kakakku," ucapku lega.
Di pesawat, aku berjumpa dengan Mirani, namanya aku ketahui dari daftar peserta yang dibagikan panitia. Entah mengapa, aku merasa, dialah orangnya. Ia satu-satunya peserta yang mewakili daerah dari Sulawesi Barat.
"Sendiri?" Aku memulai pembicaraan.
"Iya, aku sendiri. Kamu?"
"Sama, aku sendiri juga. Ini pertama kali naik pesawat tidak bersama keluarga," kataku tersenyum.
"Kita tidak perlu khawatir, di bandara nanti ada panitia yang menjemput kita," kata Mirani dengan muka ceria.
Aku mengangguk. "Benar, Insya Allah."
Saatnya pesawat tinggal landas, aku merasakan nyeri sesaat. Sambil memejamkan mata, kulantunkan doa di dalam hati.
DEPOK.
Pesawat tiba di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Aku dijemput oleh panitia dan langsung dibawa ke hotel Selia. Di hotel inilah aku dan teman-teman dari berbagai daerah di seluruh Indonesia akan dikarantina dan belajar.
Pertama menginjakkan kaki di pintu halaman hotel, aku sudah takjub dengan suasananya. Teduh. Itu yang pertama aku tangkap. Setelah itu, aku berjalan didampingi salah seorang panitia, bukan yang menjemput tadi di bandara, menuju lantai dua, ke kamar tempat aku menginap.
Sebuah hotel bernuansa resor yang sejuk. Dari luar, hotel ini tidak terlalu mewah, didominasi warna putih dengan halaman samping kiri dan kanan menawarkan kesejukan.
Seluruh peserta sudah tiba. Kami diarahkan ke lobi hotel. Setelah itu, diberi pengarahan beberapa saat oleh kakak panitia sekaligus memberikan kunci kamar.
Aku ditempatkan pada salah satu kamar di lantai dua. Sebuah kamar yang luasnya cukuplah untuk menampung empat orang.
Rupanya aku sekamar Maulidya dari Bandung, Kirana dari Jogya dan Febri dari Semarang. Setelah perkenalan singkat itu, kami kompak untuk serius belajar.
Menjelang salat Azar kami dibeitahu di mana kami harus melaksanakan salat berjamaah. Setelah itu, ada pertemuan seluruh peserta di aula yang terletak di samping hotel.
Kami segera menuruni anak tangga yang berlantai putih. Di ujung anak tangga aku bertemu dengan banyak peserta yang sedang berkumpul untuk bersama-sama ke lobi hotel. Ada yang senang, ada yang bercerita, ada yang diam saja sambil melihat-lihat sekelilingnya, bahkan ada yang tampak masih bingung.
Akhirnya seorang panitia datang dan mengajak kami mengikutinya.
Kami berjalan menelusuri koridor hotel yang di samping kiri dan kanan terhampar rumput yang bersih. Ditanami banyak pepohonan yang dipangkas rapi. Semakin kami berjalanan, suasana semakin sejuk, ada pohon yang besar, ada area yang kami lalui seperti taman hutan yang luas.