BAB 19. MASIH CERITA DARI DEPOK
Hari ke empat ini adalah hari yang bebas, terikat namun menyenangkan. Seluruh peserta ditugaskan mempraktekkan ilmu yang telah diberikan. Masing-masing peserta bebas mau memotret di mana saja, asal masih di area hotel tentunya.
Mau memotret sendiri atau berkelompok, kami diberi kebebasan penuh untuk berekspresi.
Tentu saja, aku, Kirana, Febri dan Maulidya segera bergabung di samping kolam ikan. Kami berembuk untuk membuat film pendek dengan melibatkan pemain empat orang. Yah, tentu saja kami yang sekamar saja.
Makanya, setelah makan malam, aku dan sekamarku itu segera beranjak ke kamar, berdiskusi untuk menentukan judul dan tema yang akan kami ambil.
Malam ini tidak ada kegiatan. Kami dibebaskan mengerjakan PR yang merupakan tantangan pertama. Untungnya kami bisa berkolaborasi dengan siapa pun. Bukan hanya teman sekamar.
Febri langsung membuka kopernya begitu memasuki kamar. Dia jongkok membelakang sembari krasak-krusuk mencari sesuatu. Tidak mendapat apa yang dicari, dia menutup kembali kopernya dan berjalan ke lemari mengambil tasnya. Kembali mencari sesuatu yang membuat wajahnya terlihat sedih.
"Cari ponsel kali!" Maulidya menyenggolku.
Aku mengangkat bahu. "Ah, bukan!"
Aku duduk di bibir tempat tidur menchrool ponsel. Tepatnya ingin mencari gagasan, berharap muncul dari balik layar ponsel.
"Ah, cari inspirasi biasanya di kamar mandi." Aku tertawa kecil sambil berjalan menuju toilet.
"Mau ke mana?" Maulidya bertanya kepadaku sambil membuka sebuah buku.
Aku hanya menunjuk ke toilet. Tidak sampai lima menit aku keluar sembari tersenyum.
"Kebelet kok sebentar saja?"
"Aku tidak kebelet kok. Cuma cari inspirasi saja."
Semua tertawa mendengarku, termasuk Febri.
"Sudah ketemu, Feb?"
"Sudah! Ini!" Febri memperlihatkan sebungkus snack kegemarannya. Kacang disco berwarna-warni.
Aku menghela napas. "Ooh!"
Kami menggeleng-geleng kepala.
Kirana sudah duduk di depan lemari, dia menggeser kursi dan meja. Di dekat jendela yang menghadap ke taman, kami berempat berusaha menemukan ide yang paling unik malam ini.
"Apa ide dari toilet, Cahaya?" Maulidya bertanya dengan logat Sunda yang kental.
Aku tertawa. "Ada!"
"Begini saja, bagaimana kalau kita berempat menulis ide masing-masing pada kertas. Kemudian kita diskusikan. Kita pilih salah satu ide diantara empat itu. Bagaimana?" Kirana melihat kami bergantian.
"Setuju!" Aku menaikkan ujung telunjuk di depan wajah.
Begitu pula Febri dan Maulidya, semuanya setuju.
Sunyi. Kami berempat sibuk menuangkan ide pada selembar kertas. Sengaja bukan menulisnya di ponsel, biar bisa dan gampang dibahas selembar demi selembar. Menurut aku, tidak semua sesuatu itu harus ditulis di ponsel.
Febri menyetor lebih dahulu. Dia menyimpannya di depan kami. Lalu melanjutkan ritual wajibnya, ngemil. Menyusul Kirana dan Maulidya. Terakhir aku. Sebetulnya akulah yang pertama selesai dari teman-teman itu. Tetapi aku sengaja tidak menyetornya, sebab aku tidak mau teman-teman menjadi terburu-buru sehingga idenya malah terbang.
"Baik, kita bahas satu persatu ya teman," kataku sambil mengambil kertas yang paling bawah.
"Ang ing eng …, ini ide milik Febri, arek Suroboyo. Ini isi idenya: Mencari sahabat yang sedang kehilangan jejak di sebuah hutan.
Wah ini ide yang bagus, mengajak kira berpetualang. Seru pokoknya."
Aku mengambil kertas punya Kirana. Isi idenya begini : Seorang remaja yang memburu alien yang tiba-tiba mengganggu ketenangan desanya.
Aku mengernyitkan kening. Hm, ide yang unik. Sebuah cerita yang menampilkan seorang super hero, mengarah ke gendre fantasi.
Aku mengambil kertas selanjutnya, kertas ide milik Maulidya. Isinya begini: Seorang anak remaja mencuri emas milik ibu tirinya. Dia marah melihat ibunya diperlakukan tidak adil oleh ayah kandungnya.
Kami saling memandang dengan bola mata yang berputar-putar. Lalu tersenyum, sedangkan Maulidya malah terbahak dan menaikkan tangannya. "Iyess! Ideku paling brilian!"
"Oh, kejamnya ibu tiri!"
"Aku menangis, ah!"