BAB 20. PULANG
Tidak ada waktu berleha-leha setelah pulang dari Depok. Kemarin sore dari bandara aku dijemput Kak Zainal langsung dibawa ke sekolah. Padahal ibu sangat berharap agar bisa menginap semalam di rumah. Esok pagi-pagi baru diantar ke sekolah.
Tiba di asrama, aku langsung salat Magrib, makan dan selanjutnya mengambil buku-buku pelajaran. Semua harus cepat, kukejar waktu agar semuanya berjalan sesuai rencana.
Aku tidak mau mengambil resiko terlambat. Mulai besok, aku akan mengikuti ujian susulan selama empat hari. Atau mungkin juga tidak sampai empat hari.
Arumi, Lili dan Anum hanya memberiku roti dan kerupuk. Mereka tidak banyak berbicara kepadaku. Mereka paham, aku sedang mengejar waktu. Hingga jam sepuluh lewat dua puluh lima menit, aku sudah merasakan mata ini mengantuk. Arumi mendekatiku dan menyuruhku tidur saja.
Setelah salat Subuh, kembali aku membuka buku. Mengenai mata pelajaran yang akan kuikuti, Pak Anang sudah memberikannya kepada Arumi kemarin, sebelum aku datang.
Untunglah, aku diberi kebijaksanaan. Jadwal ujian yang fleksibel pula, asal semua mata pelajaran yang tertinggal kuikuti.
Pagi ini, aku akan mengambil waktu ujian sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Selanjutnya pada waktu istirahat. Setelah itu, sore setelah salat Azar.
Begitulah seterusnya sehingga aku bisa menyelesaikan semua ujian mata pelajaran selama tiga hari berturut-turut. Memang aku kekeh dan sedikit memaksa diri agar ujian susulanku cepat kuselesaikan. Aku juga takut jika ada ujian pengulangan yang menyusul, sementara pelajaran yang lain belum selesai.
Namun syukurlah, semuanya berjalan lancar. Hingga hari ke empat setelah ujian tidak ada berita kalau aku masuk dalam daftar remedial.
"Sudah lega, Yah," kata Anum dan Lili mendekat.
"Sekarang minumlah ini sebagai hadiah perjuanganmu mengikuti ujian susulan." Arumi tiba-tiba datang memberikan sebotol minuman beraroma jeruk.
"Sekarang, apa rencanamu setelah menimba ilmu dari Depok?" Lili menatapku senyum-senyum.
"Pulang ke rumah."
Semua tertawa. "Aku mengundang kalian bertiga kali ini ikut pesiar bersamaku. Kita akan ke rumahku menikmati masakan ibuku yang enak. Mau?"
Ketiganya serempak mengucapkan kata mau.
Seketika kami berempat berjalan ke masjid mencari Pak Anang.
"Pak, bisa pinjam sebentar ponsel?"
Pak Anang yang berbicara dengan Pak Syafril segera memberikan ponselnya kepadaku.
"Ingat, lima menit ya!"
"Insya Allah, Pak. Ini hanya mengirim pesan saja kepada Kak Zainal. Minta dibikinkan kapurung besok."
"Wah, pasti enak kapurung buatan ibu kamu, Cahaya," kata Pak Anang lalu menyimpan kembali ponselnya di saku baju koko-nya.
Kami di sini memang tidak memegang ponsel. Tetapi jika ada hal yang perlu kami sampaikan kepada keluarga, kami diberi waktu untuk menyampaikannya, tentu ponsel yang dipakai milik Pak Anang. Sebenarnya, menelepon keluarga bagi yang tidak pesiar itu waktunya pada hari Ahad saja.
Para guru asuh, mempunyai WAG bersama orang tua anak asuhnya. Sehingga orang tua tetap bisa memantau perkembangan atau pun berita dari anaknya. Bukan itu saja, seluruh orang tua siswa madrasah ini telah tergabung dalam sebuah WAG yang adminnya guru kami. Di grup itu ada ibu kepala sekolah dan wakilnya, grup itu adalah grup komite.
Di grup itu, para orang tua bisa mengetahui perkembangan maupun prestasi anaknya. Para orang tua bisa memberi saran atau masukan yang positif untuk kelangsungan kegiatan belajar anaknya. Bahkan jika sesuatu terjadi atau ada kebutuhan mendesak kami, dengan mudah hal itu diinformasikan kepada keluarga kami.
Setelah salat Isya, aku dan Pinggel 1, Pinggel 2 dan Pinggel 3 tidak langsung masuk ke ruang asrama. Kami duduk di teras sambil makan rambutan. Angin dari gunung bertiup lembut. Ujung mukena kami sampai melambai.
Aku melihat ke belakang, ke arah gunung yang jauh, tentu yang kelihatan adalah kegelapan saja. Begitu pula gunung yang ada di belakang gedung sekolah dan asrama, yang hanya diantarai dua puluh meter, semuanya sudah gelap. Lampu dengan bias warna kuning yang dipasang di tiang listrik pas di titik nol, tentu tidak bisa menerangi semua yang ada di sekitarnya.
Di bawah sana, di masjid, beberapa siswa laki-laki masih menemani Pak Anang dan Pak Chiyam. Keduanya memang suka bercerita apa saja kepada semua siswa. Keduanya memang dikenal guru yang paling dekat dengan para siswanya.
Aku berdiri sejenak, menengok ke kamar sebelah. Penghuninya pada sibuk merapikan barang-barang mereka. Maklum, besok giliran siswa putri yang akan pesiar.
"Aku mau mengajak Zabila ikut ke rumah ya," bisikku.
"Boleh tuh. Biar ramai," kata Arumi.
Aku berjalan beberapa langkah ke kamar tempat Zabila. Dia terlihat sedang melipat mukenanya. Ketika ia berpaling, aku memberi kode untuk keluar. Zabila segera menyelesaikan lipatannya lalu keluar kamar.
"Sini Zabila," kataku sambil menggeser kantong kresek yang berisi rambutan.
"Kamu mau ke mana besok pesiar?" Anum bertanya sambil memandang Zabila.