BAB 21. ACTION
Angin bertiup sejuk. Di tangga masjid kami duduk bersama. Aku, Anelon dan Zabila sepakat memberi nama pada tim ini. Namanya tim ASA. Dan pada sore hari yang cerah ini, akhirnya tim ASA telah menemukan tema dan judul. Walaupun Boby rada-rada diam dan dingin, tetapi dia tetap memberikan pendapatnya. Ia setuju saja.
Judul yang kami sepakati itu diambil dari adat, kebiasaan dan tata krama masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan.
"Tabe" adalah salah satu cara orang Bugis memberikan penghargaan kepada orang tua, kepada orang yang dituakan, kepada guru, kakak dan kepada siapa pun yang pantas dihargai dan dihormati. Bukan saja kepada manusia perilaku "tabe" ini diberlakukan, tetapi kepada alam juga.
Bagaimana caranya? Praktek sikap tabe ini dilakukan dengan sederhana, jika dilakukan kepada manusia, sikap yang harus dilakukan adalah berjalan pelan dengan punggung sedikit dibungkukkan. Atau kepala sedikit ditekuk. Bersamaan dengan itu, telapak tangan dilebarkan kemudian disejajarkan dengan lutut sambil berjalan. Boleh juga setinggi paha.
Lalu bagaimana pula perlakuan"tabe" kepada alam? Dengan cara menghargai keberadaan alam, tidak membuang sampah di sembarang tempat, serta menjaga kelestarian alam.
Umpama, jika suatu waktu berjalan di hutan, di gunung atau di laut, tidak boleh berbicara sombong atau berbicara tidak sopan. Semua itu adalah perilaku tabe kepada alam.
Dari pemikiran itu, aku, Boby dan Zabila akan segera membuat konsep berupa naskah manuskrip. Kami akan melibatkan enam orang pemain, tiga orang laki-laki yaitu Ari, Firman dan Anelon. Sedangkan tokoh perempuan diperankan oleh Tiara, Zabila dan aku sendiri.
"Tiara bersedia?" Anelon tiba-tiba bertanya.
Aku mengangguk. "Tiara bersedia asal tidak banyak dialog untuk dia katanya."
"Baik, kita bisa atur itu," kata Anelon.
Kami memaklumi. Tiara bukan anggota club seni melainkan anggota club karya ilmiah yang aktif. Dia anak biologi, satu club dengan Widya dulu. Aku dan teman-teman tim sangat berterima kasih kepada Tiara, karena, walaupun Tiara tidak tertarik di dunia akting, tetapi ia mau membantu menjadi salah satu tokoh. Sebenarnya beberapa orang teman yang telah aku ajak, tetapi mereka tidak bersedia dengan berbagai alasan.
Jam menunjukkan angka delapan lewat tiga puluh menit. Malam yang tenang. Tak ada suara anjing yang menggonggong, atau suara hewan lainnya yang menakutkan. Aku baru saja dari kamar mandi bersama Arumi dan Anum. Lagi-lagi air tidak berjalan lancar. Bak tidak sampai penuh. Di luar kamar mandi hanya ada tiga ember yang terisi air, itu pun hanya setengahnya saja.
Di kamar, di saat teman-teman mulai belajar, aku memilih keluar di teras. Duduk memandang malam di kejauhan berteman dingin. Memaksa mata melihat gunung nun jauh yang diselimuti kegelapan. Aku hanya ingin mendapatkan truktur cerita yang pas, alur cerita dan konflik yang sesuai. Ada pelajaran penting dan hikmah dari lakon ini. Bagaimana kalau aturan alam dilanggar. Bagaimana akibatnya jika kesopanan dan saling menghargi sudah tak diindahkan lagi.
Aku beranjak ke ruangan setelah merasa pas apa yang aku dapatkan. Besok ketika istirahat, aku akan musyawarahkan kepada tim ASA.
*
Pagi sebelum jam pertama dimulai, aku minta tolong kepada Anelon agar Boby menemuiku di depan kelasku, sekalian aku memanggil Zabila.
Ketika Zabila sudah ada di dekatku dan menunggu Boby, yang muncul malah Anelon. Aku ingin menawarkan kesepakatan tentang ideku. Sebab, hanya aku, Boby dan Zabila yang akan membuat naskah.
"Boby mana?"
"Katanya nanti istirahat pertama, Boby sedang mengerjakan sesuatu," kata Anelon.
Aku tiba-tiba bersungut.
"Eh jangan bilang apa-apa. Dilarang zuudzon ya." Anelon lalu meninggalkan aku dan Zabila.
Aku menceritakan dengan singkat konsep yang kurencakan kepada Zabila. Aku juga memberi gambaran sekilas bagaimana lakon "tabe" itu masih begitu dihargai oleh masyarakat Sulawesi-Selatan, khususnya di daerah Bugis.
Zabila hanya mengangguk mendengar apa yang kusampaikan padanya. Setelah diam sejenak, Zabila mengusulkan agar ide itu dibicarakan dan minta pendapatnya Ibu Dhanti, guru bahasa Indonesia, atau Ibu Wirda guru seni. Tentunya, harus ada kesepakatan dulu kami bertiga.
Aku kagum dalam hati kepada Zabila. Ah, aku selalu mengingat dia menangis di belakang sekolah.
Waktu istirahat pertama tiba. Aku cepat keluar kelas menunggu Boby di pintu, sambil menunggu Zabila juga. Namun Boby tidak kunjung muncul dari ruang kelasnya. Aku mulai gusar karena setelah ada kata sepakat dari Boby, saya akan mengajaknya bersama Zabila menghadap Ibu Wirda dan Ibu Dhanti.
Hingga bel tanda masuk berdering, Boby tidak kunjung keluar kelas menemuiku. Aku menghela napas panjang. Gerangan apa yang dikerjakan si Boby itu sehingga dia enggan keluar kelas? Apa dia tidak paham kalau yang ingin kusampaikan itu penting?
"Anelon! Boby mana?"
"Oh, Boby belum keluar menemui kalian?" Wajah Anelon tampak heran.
"Iya, aku dan Zabila sejak tadi menunggu."
"Wah, ini pelanggaran HAM."
"Catat itu!" Aku menggamit tangan Zabila lalu bergegas meninggalkan Anelon.
Sebelum pak guru datang, aku masih membaca konsep yang kutulis pada selembar kertas. Aku menajamkan konsepku agar lebih jelas dan tentu saja bisa diterima bahkan dibantu oleh baik Ibu Dhanti maupun Ibu Wirda.
"Ada masalah? Wajahmu kok seperti itu?" Arumi memandang lekat ke wajahku.
"Boby kumat!" Mataku menatap tajam ke papan tulis.
"Penyakit apa memang dia?" Arumi malah bertanya lagi.
"Penyakit sombongnya!" Menjawab dengan ketus begitu, tentu saja Arumi heran bin kaget.
"Hush! Jangan berprasangka buruk dulu. Siapa tahu apa yang dikerjakan Boby lebih penting."
Aku diam mendengar Arumi. Memejamkan mataku dan menarik napas panjang.
"Hei, istigfar, Cahaya! Kan kita harus sabar menghadapi sikap seorang teman. Iya kan?" Arumi segera kembali ke tempat duduknya karena di luar sudah terdengar langkah selop yang semakin mendekat.
Waktu istirahat kedua, aku hanya di dalam kelas, membaca kembali konsep yang akan kuajukan. Tetapi rasanya aku kurang konsentrasi. Aku tidak mengharapkan lagi bertemu si Boby hari ini. Arumi dan Lili tiba-tiba masuk bersama Anelon.