23. DUA BINTANG BERSINAR
Setelah salat Azar, Kak Zainal meminta laptopku. Kak Ancak dan Kak Asrul akan segera mengecek seluruh hasil produksi aku dan tim ASA. Menurut Pak Chiyam, sebaiknya aku mengajak teman kakakku itu ke kelas MIA 1. Di sana aman dan tenang.
Hanya aku yang mendampingi Kak Ancak dan Kak Asrul di kelas. Kak Zainal tetap duduk di teras masjid. Sedangkan tim ASA yang lain tetap beraktifitas seperti biasa.
Nyaris satu jam hasil produksiku diperiksa oleh Kak Ancak. Hasilnya mengejutkan aku. Menurut Kak Ancak, seluruh adegan harus shooting ulang. Banyak adegan yang mesti diperbaiki. Kepalaku tiba-tiba pening. Ini hari rabu, deadline pengumpulan karya hari Sabtu jam 24.00.
Jadinya, sore itu juga aku harus mengumpulkan kembali tim ASA untuk shooting ulang. Aris segera ke masjid, mengumumkan agar tim ASA segera berkumpul di masjid.
"Ada apa, Yah?" Pinggel datang kepadaku.
"Semua adegan harus syuting ulang, mana hari sudah sore begini."
"Semua adegan diulangi?" Arumi mengulangi perkataanku seakan tidak percaya apa yang kukatakan.
Aku mengangguk. Arumi diam.
Seluruh tim ASA sudah berkumpul dan kami segera menuju pada dua lokasi. Untunglah, yang punya rumah di gunung itu kebetulan ada, jadi proses syuting bisa segera dimulai. Anelon segera minta izin. Dan proses syuting pun berlangsung.
Kak Ancak sungguh cekatan menuntun kami, mengoreksi dialog, mengoreksi adegan, mimik bahkan sampai pada persoalan kecil seperti gerakan mata, bibir, artikulasi dan lain sebagainya. Sedangkan Kak Asrul berdiri di samping Boby, menuntun bagaimana Boby seharusnya merekam seluruh adegan yang diambil.
Lewat jam lima, proses syuting di gunung selesai. Kami beralih pada lokasi kedua.
"Hm, sebentar lagi magrib." Aku menghela napas panjang.
Di lokasi, semua harus siap. Untunglah teman-teman begitu mudah menghafal setiap tugas masing-masing. Jadi tidak terlalu menyulitkan bila ada yang harus diubah.
Di lokasi kedua ini proses syuting segera berlangsung. Ada beberapa adegan atau dialog dihilangkan sama sekali. Aku kadang pening jadinya. Kadang panik. Hanya Zabila yang terlihat tenang dan meresapi semua penjelasan dari Kak Ancak maupun Kak Asrul.
Boby tentu saja banyak menimba ilmu dari kameramen profesional seperti Kak Asrul. Tidak mudah bisa memanggil kameramen sekelas Kak Asrul, begitu pula Kak Anca, selain pelaku seni, ia juga seorang dosen muda pada salah satu perguruan tinggi di kota Makassar.
Begitu tiba waktunya salat Magrib, kami menjalankan di rumah Pak Anang. Sungguh sulit memanjat pada tebing. Walaupun bukan tebing yang curam sebenarnya hanya rumah dinas dan lokasi syuting ada perbedaan ketinggian, mungki dua meter.
Waktu menunjukkan jam tujuh malam. Untunglah ada lampu yang dipasang pada salah satu tiang di lokasi. Kak Asrul juga rupanya membawa lighting. Kak Ancak maupun Kak Asrul benar-benar profesional. Keduanya bekerja serius, bukan asal memerintah saja. Aku dan mungkin teman-teman merasa ini adalah pengalaman dan ilmu yang sangat berharga.
Jam delapan tepat, seluruh proses syuting selesai. Aku sedikit lelah, mungkin juga teman-teman yang lain. Dan kami segera pulang, langsung menuju kantin. Meskipun sebenarnya kantin sudah tutup pada saat jam begini, tetapi adalah Aris yang cekatan memberi tahu kepada Ibu Tika agar menyimpan jatah makan untuk tim ASA. Sedangkan makanan untuk Kak Ancak dan Kak Asrul rupanya sudah disiapkan oleh Kak Zainal.
Setelah kami makan, sebagian tim ASA ke kamar masing-masing. Hanya aku dan Zabila yang menemani Kak Ancak dan Kak Asrul, juga Kak Zainal.
Kak Ancak banyak memberiku masukan, ilmu dan pencerahan seputar dunia sinematografi. Ah, tiba-tiba aku ingin seperti mereka. Meskipun lelah, tetapi rasa senangnya jauh mengalahkan rasa lelah dan capai itu sendiri.
Kak Ancak mengajarkan dasar-dasar bagaimana harus membuat naskah dari sebuah gagasan, bagaimana menulis skenario sampai pada proses cara pengeditan. Semua ilmunya itu diberikan di sela-sela waktu syuting atau saat jeda. Wah, aku makin senang. Kak Zainal pasti bisa membaca wajahku.
Tiba-tiba Pak Chiyam muncul dari kamarnya dan langsung bergabung dengan kami.
Jam sembilan lewat beberapa menit, Kak Zainal pamit kepada Pak Chiyam.
Aku tentu sangat berterima kasih kepada Kak Zainal dan kedua sahabatnya itu.
*
Di kamar, aku masih menyimpan rasa senang. Bukan lagi rasa lelah dan pening. Entahlah rasa itu begitu saja menyusup kepada pikiranku untuk lebih mendalami dunia sinematography.
"Alangkah bahagianya, jika aku bisa memproduksi film sendiri, membuat skenario dari gagasanku, aku ingin berdakwah lewat film," cetus batinku tiba-tiba.
"Tidur, Cahaya!" Suara Lili mengejutkanku. Wajahnya muncul dari balik selimut.
"Belum tidur juga toh?"
"Aku menunggumu, tahu!"