Cahaya Dari Bellapunranga

Andi Sukma Asar
Chapter #25

BAB 25. PANDEMI MELANDA


BAB 25. PANDEMI MELANDA

Pinggel membangunkan aku saat azan terdengar dari bawah. Aku kedinginan, pilek yang kurasa membuat kepala dan badanku terasa berat. Tetapi aku tetap bangun menuju toilet, dibantu Lili. Ia memegang keningku lalu berpikir sejenak.

"Cahaya itu kuat!" Ia menggandeng tanganku selepas keluar dari kamar mandi. Aku tahu, ia berusaha menguatkan aku. Lalu tanganku diayunkannya ke atas kepala.

Aku masih merasa kedinginan. Kupakai sweater. Lalu berselimut sesaat dan duduk di bibir tempat tidur. Aku berharap ada perubahan yang tiba-tiba kurasakan.

"Tidak usah ke bawah, Cahaya. Salat di sini saja," kata Anum.

Aku mengangguk, meringkuk dalam selimut.

Ruangan ini telah sepi, semuanya ke bawah menunaikan salat Subuh. Setelah merasakan sedikit hangat, aku mengambil botol air mineral di lemari, meminumnya beberapa teguk. Selanjutnya aku menunaikan salat sunat, lalu salat Subuh.

"Pak Anang menanyakan kamu, Cahaya."

Aku hanya mengangguk kepada Arumi. 

Di luar, gerimis masih turun sejak tadi. Dingin menyeruak ke dalam kamar setiap kali teman-teman membuka pintu. Walaupun tubuh terasa kurang fit, ada rasa lega yang menyelimuti perasaanku. Aku mengingat kejadian semalam. Masalah menang atau tidak, itu bukan yang terlalu kupikirkan. Melainkan aku telah merasa lega, karena berhasil menyelesaikan bahkan mengalahkan tantangan dari panitia. Besok, aku tentu akan mengabari ayah, ibu dan kakakku.

Hari ini aku tetap masuk sekolah karena ada ulangan dua mata pelajaran. Aku paling tidak suka ikut ulangan susulan, apalagi remedial. Rasanya kedua kegiatan itu membuang-buang waktuku. Itu bukan kesombongan, tetapi salah satu tujuan aku belajar giat untuk menghindari keduanya.

Saat aku duduk di depan kelas, Boby datang mengembalikan konsep pidato yang pernah kuberikan padanya. Lomba yang diikutinya beberapa hari lalu berhasil mendapatkan juara dua.

"Selamat ya."

Ia mengangguk satu kali.

"Kenapa dengan konsep ini?"

"Simpan saja!" Lalu ia pergi.

Pulang sekolah, kami siswi perempuan langsung menuju kantin. Sesaat sebelum makan, untuk pertama kali, teman-teman ribut tentang berita yang sedang melanda negeri tirai bambu itu, khususnya di Wuhan. Serta-merta berita itu menjadi hangat di sekolah dan selalu menjadi perbincangan yang menakutkan. Hari demi hari berita itu selalu menjadi trending di kalangan para siswa. Akhirnya menimbulkan kengerian dan kekhawatiran.

Seminggu kemudian, sekolah benar-benar geger dengan berita dari Wuhan itu. Sebulan setelah merebaknya pandemi di berbagai negara di dunia, sekolah pun memutuskan untuk memulangkan para siswanya.

Minggu pertama pada bulan Maret, aku dijempuk Kak Zainal, padahal ia baru saja pulang dari Bali. Beberapa orang teman ikut dan kuminta Kak Zainal mengantarkan mereka sampai ke rumahnya.

"Bagaimana situasi di Bali, Kak?"

"Virus itu?"

"Iya, Kak."

"Iya, kakak belum tahu berita tentang corona di Bali, sudah ada korban atau belum, kakak tidak tahu. Kemarin kakak sibuk sekali. Karena itulah acara kakak untuk dua hari ke depan dibatalkan oleh panitia, makanya kakak pulang segera."

Melihatku turun dari mobil, ibu muncul dari kantornya. Setelah menanyakan beberapa hal, ibu lalu meninggalkan kami.

Di kamar, aku segera mengambil remote TV, mencari berita merebaknya virus yang bernama corona itu. Aku bergidik melihat tayangan layar kaca di depanku. Banyak orang meninggal dan banyak mayat ditemukan di beberapa tempat. Sehingga rumah sakit di sana tidak bisa lagi menampung pasien yang terus-menerus bertambah jumlahnya.

Aku menarik napas panjang, tidak bisa membohongi diri. Aku benar-benar khawatir dan takut.

Lihat selengkapnya