BAB 26. UJIAN
Dua bulan di rumah, menjalani aktifitas sehari-hari, bersekolah, mengerjakan tugas-tugas yang semakin bertumpuk, zoom, mengikuti lomba vlog atau yang sejenis, aktif di media sosial, kadang membuatku lupa beranjak dari depan laptop.
Berjemur di bawah sinar matahari akhir-akhir ini sering lupa, makan diingatkan, kadang salat di pertengahan waktu, pernah beberapa kali salat di ujung waktu karena ketiduran dan asyik memainkan mouse. Ah, semuanya larut dalam waktu tanpa kendali.
Menjelang memasuki bulan Ramadan, semua tugas-tugas sekolah dan beberapa kompetisi yang kuikuti bersamaan, aku selesaikan sesegera mungkin. Aku akan vokus menghadapi bulan puasa dan berusaha menambah hafalanku yang belum beranjak dari juz dua belas.
Tibalah saatnya bulan Ramadan. Karena pandemi, komplek aku, dan masjid-masjid yang lain belum diizinkan untuk melaksanakan salat tarwih. Jadinya, aku dan keluarga melakukan salat tarwih berjamaah di rumah.
Masa-masa indah yang aku nantikan pada bulan Ramadan adalah masa berbuka. Ibu menyediakan makanan yang bervariasi lauknya, sayurnya dan makanan lainnya. Di rumah, biasanya ada tante bersama sepupu yang menemani ibu. Tetapi sekarang, semua pintu rumah tertutup, semua pada enggan bertamu, takut dicurigai sebab sekarang waktunya saling mencurigai. Batuk sebentar saja dicurigai. Ah, rasanya ini saat-saat yang menyedihkan. Silaturrahim, berjabat tangan bahkan cipika dan cipika sudah tidak dilakukan lagi.
Jika sore tiba, sepulang dari kantor, ibu langsung ke dapur, mengecek apa yang menjadi bahan buka puasa. Biasanya jika siang hari, ibu membuat panganan lainnya berupa kue-kue, puding, es buah dan tidak ketinggalan cake marble yang selama ini selalu tersedia di samping laptop aku. Ibu membuat semua itu tidak membutuhkan waktu banyak. Sebab semua bahan yang akan dipakai akan ibu persiapkan pada malam harinya.
Dua hari menjelang lebaran Idul Fitri.
Setelah salat berjamaah Isya, kami sekeluarga jeda beberapa saat, seperti makan panganan atau minum segelas es buah, kemudian dilanjutkan salat tarwih. Pada saat asal salat, rasanya kepalaku berat. Tetapi kulanjutkan saja salatnya. Pada sujud terakhir salat witir, kepalaku masih berat. Sehingga aku menggerak-gerakkannya ke kiri dan ke kanan.
Setelah salat, aku mendekati laptop yang kusimpan di dekat TV, sebab kami sekeluarga salat berjamaah di depan kamar ibu dan ayah, persis di depan TV yang berukuran lima puluh inchi itu.
Pada saat mouse kupegang, rasa pening di kepalaku masih terasa. Aku segera ke kamar dan berbaring. Lima menit kemudian kepalaku sudah berangsur membaik. Aku bangun dan membuka laptop, lusa ada tugas yang harus aku kirim, sebuah lomba photo yang bertema. Aku mengedit sampai jam sebelas malam.
Tiba-tiba rasa pening itu berubah menjadi sakit. Bahkkan terasa sakit sekali. Kucoba untuk bertahan dengan memijat sendiri. Tidak berhasil. Aku berusaha bangun menggapai ponsel untuk menelepon ibu. Sebelum memegang ponsel aku muntah. Tetapi setelahnya, aku merasa tenang kembali. Aku pikir, setelah muntah keadaanku menjadi baik kembali. Aku miscall Kak Zainal karena jam begini ia belum tidur.
Benar saja, Kak Zainal datang pada saat aku sedang muntah hebat. Kepalaku sakit tak tertahankan. Kakak membaringkan aku dan keluar sebentar memanggil ayah dan ibu.
Begitu mereka datang, ibu segera menyuruh Kak Zainal ke rumah dokter yang tidak jauh dari rumah. Sementara itu, ibu terus memijit kepalaku dan atah memijit tanganku.
Kak Zainal datang membawa selembar kertas berusi resep. Ia ke kamarnya sebentar dan memberitahukan kepada ibu untuk menebus obat malam ini juga. Sementara itu sakit kepalaku kian bertambah dan aku masih muntah setiap tiga menit.
Beberapa menit setelah minum obat, rasa sakit di kepalaku berangsur ringan walaupun peningnya belum terasa. Beberapa obat minyak angin dan balsem dikerahkan ibu pada lengan, belakang dan kedua pelipisku.
Selain sakit di kelala, badanku pun terasa pegal-pegal. Aneh, padahal sebelum ini tubuhku baik-baik saja.
Ibu semakin tampak cemas, mulutnya komat-kamit membaca surat Al Fatihah dan ayat Kursi lalu meniupkan pada air mineral dalam botol lalu kepada kepalaku sambil terus memijit jari-jari tanganku.
Setelah beberapa saat, aku mulai memejamkan mata, tetapi aku tidak bisa tidur walau berusaha keras, supaya sakit di kepala tidak terasa.
Aku terus merasakan sakit hingga pagi. Salat Subuh terlewati, aku menangis karena itu. Aku minta ampun dalam hati. Terus beristigfar tiada henti walau sakit kepala masih terasa.
Jam tujuh pagi, ibu telah bersiap akan mengantarku ke rumah sakit. Kudengar ibu berbicara dengan ayah dan kakakku. Mereka sepertinya memilih rumah sakit yang aman. Karena sudah beberapa rumah sakit dijadikan rujukan penderita corona.
Dari kesepakatan mereka, pagi ini aku di bawa ke rumah sakit yang terletak di dekat pantai. Sampai di sana, ibu langsung mendaftar dan dibawa ke salah satu ruang untuk diperiksa. Di tempat ini sebenarnya bukan gedung rumah sakit. Melainkan sebuah posko untuk menerima pasien sebelum memasuki gedung rumah sakit. Letaknya bersebelahan, pintu samping tempat ini bersambungan dengan salah satu pintu besar menuju gedung rumah sakit. Dari pintu itu, terhubung ruangan yang luas, di tempat itu terdapat beberapa ruang poli.
Aku disuruh barbarung oleh dua orang suster yang memeriksa. Ibu dilarang masuk. Setelah diperiksa oleh seorang dokter, aku dipasangi selang untuk diinfus. Akhirnya keadaanku mulai membaik. Aku mulai tersenyum.
Satu botol cairan infus telah habis, aku diperbolehkan pulang dan diberikan resep obat. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur. Menjelang siang, aku pulang ke rumah. Ibu melakukan persiapan untuk menyambut hari raya. Sementara aku di kamar istirahat sambil menonton TV. Dokter menyarankan aku tidak melihat layar ponsel atau laptop dulu. Keadaanku sudah membaik. Bahkan pada saat salat Ied yang dilakukan di rumah, aku pun turut serta.
Sehari setelah lebaran, kembali aku merasakan sakit kepala. Jika malam, rasa sakit itu lumayan berkurang. Keadaanku ini berlangsung tiga malam. Ibu menghubungi beberapa teman dan keluarga yang berprofesi dokter. Ibu sebebarnya takut ke rumah sakit. Karena pada saat ini, pandemi corona sedang booming.
Karena malam itu aku masih merasakan sakit ibu berinisitif membawaku ke dokter yang berpraktek di klinik. Besok sorenya, aku dibawa ke sana dan diperiksa oleh seorang dokter sahabat ibu. Dokter itu malah menyarankan agar ke rumah sakit saja. Ia menunjuk rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari rumah.