BAB 27. SEBUAH KEAJAIBAN
Tiba di rumah sakit Wahidin, aku malah melihat ibu yang semakin prihatin kepadaku. Bukannya apa, ini sedang boomingnya wabah covid. Saat-saat yang paling menegangkan. Setelah mengambil tempat, urus administrasi sampai tempat perawatan, akhirnya aku ditempatkan di kamar VIP. Kamar yang kutempati bersebelahan dengan kamar tempat para suster yang bertugas menangani pasien covid mengganti bajunya. Dari kaca pintu, setiap saat kulihat para petugas covid itu lalu lalang di depan kamar.
Tidak lama, suster datang untuk memasang selang infus. Kata suster, karena hari Ahad, aku belum bisa diperiksa oleh dokter.
Setiap ada suster yang masuk memeriksa, ibu selalu menyemprotkan hand sanitizer di besi ranjang, di selang infus bahkan di tanganku yang pernah disentuh oleh suster. Pokoknya cairan itu sudah menjadi barang wajib di tangan ibu.
Aku dan ibu hanya berdua di kamar. Penjaga pasien hanya satu orang. Itu yang diizinkan. Jadilah ibu sibuk mengatur barang-barang yang dibawa, menyuapiku dan mengantar aku ke kamar mandi. Kalau ada sesuatu di infusku atau keluhanku dengan cepat ibu keluar memanggil suster. Waktu tidur ibu tersita. Setiap melihat ibu, ada kehangatan di kedua sudut mataku.
Hari ketiga, aku dijemput suster untuk ke ruang rontgen. Ibu tentu saja ikut. Aku, ibu dan suster menelusuri koridor panjang yang kebanyakan dipenuhi pasien yang antri. Tak jarang perawat yang berpakaian putih-putih lalu lalang di sana-sini membuat ibu semakin diselimuti rasa takut. Saat covid sedang booming dan pasien di rumah sakit ini pun sudah banyak. Di mana-mana, rotokol kesehatan semakin diperketat.
Esoknya, menjelang magrib, asisten dokter datang memberitahukan pesan dari dokter mengenai hasil rontgen itu.
"Adik Cahaya tidak perlu dioperasi, hasil rontgennya kemarin luka di kepala sudah membaik," kata dokter itu tersenyum.