Bab 30. HARU BIRU
Seperti biasa jika bangun subuh, aku segera membuka jendela separuh supaya udara segar bisa masuk ke kamar. Di luar masih gelap, azan di masjid belum terdengar.
"Oh, baru menunjukkan jam empat dua puluh menit," desisku pelan.
Karena dingin, kali ini aku membuka jendela beberapa jenak saja, lalu menutupnya kembali, mematikan AC dan merapikan tempat tidur.
Rencana bertemu Arumi dan Lili hari ini membuat dadaku bergemuruh indah. Tidak sabar rasanya menemui mereka. Terakhir mengobrol dengan mereka sampai lupa berapa tahun yang lalu. Ah, itu waktu yang terlalu lama memang. Dan rencana pertemuanku ini membuat duniaku tiba-tiba berseri indah.
Matahari pagi menyinari sebagian daun-daun yang menghijau di kebun ayah. Setelah sarapan, aku menyelesaikan separuh naskah cerpen, nonton TV dan menuju ruang tengah.
"Jam sepuluh pagi ini kita bertemu di kafe Yuana, bagaimana?"
"Oh kafe itu masih ada? Siplah. Insya Allah."
Aku lalu mematikan ponsel setelah menjawab pesan Arumi.
Jam sembilan pagi, Makassar sudah panas. Bahkan sudah menyengat. Kak Zainal sudah rapi dan duduk di ruang tamu menungguku. Aku minta Kak Zainal mengantar sampai di kafe Yuana dulu. Setelah tiba di sana, nanti bagaimanalah. Apakah Kak Zainal yang mengantar sampai ke sekolah atau tidak. Karena aku tahu, Kak Zainal hari ini berkantor.
Aku selalu terharu dengan Kak Zainal. Ia begitu memanjakan aku. Seberat apa pun pekerjaannya, selama masih bisa ia tinggalkan, aku pasti dibantu. Ada bulir bening yang tiba-tiba hadir di kedua sudut mataku melihat Kak Zainal dengan sabar menungguku sejak tadi di ruang tamu, tanpa protes apa pun.
Kafe Yuana masih sepi. Aku tiba jam sepuluh kurang lima belas menit dan langsung duduk di pojok, menghadap ke sawah, menatap hamparan padi yang baru saja dipanen.
Kafe Yuana, adalah salah satu dari sedikit kafe yang buka lebih awal. Untuk itulah, kemarin Kak Zainal menyarankan menunggu di sini saja karena lokasinya searah dengan jalan ke sekolah.
Tidak sampai setengah jam, Arumi dan Lili tiba. Aku tidak tahan untuk segera memeluk mereka bergantian. Waktu yang lama serta jarak yang jauh tidak akan pernah menggerus cita-cita yang selalu tersimpan di benak kami sebelum meninggalkan sekolah. Harapan dan impian yang telah kami ukir dan abadikan di prasasti sekolah tidak pernah terlupakan. Begitu bertemu, kami segera menyebut kembali nama panggilan masing-masing. Aku Pinggel 1, Arumi Pinggel 2, Lili Pinggel 3. Ah, sayang Anum tidak hadir, si Pinggel 4.
"Kita berangkat sekarang?" Lili segera berdiri diikuti Arumi.
Aku masih duduk sejenak, memandang mereka yang sudah berubah wujud. Arumi yang dahulu berbadan gemuk kini mengalami perubahan tubuh walaupun tidak signifikan. Intinya masih gemuk dia. Lili yang dahulu bertubuh subur, ternyata ia tetap mempertahankan berat badannya, malah mungkin bertambah. Kalau Anum, entahlah, mungkin menjadi gemuk atau tetap stabil. Sayang ia tidak hadir pada saat ini.
Kami serempak tertawa menatap bodi masing-masing. Arumi dan Lili dari sononya memang sudah besar, yah, mungkin tidak akan berubah lagi.
Akhirnya Lili mengusulkan agar mobilnya saja yang dipakai ke sekolah. Mobil tinggi yang berwarna hitam itu terdapat selembar stiker IDI di kaca depannya. Mobil seperti itu memang cocok untuk jalanan ke sekolah yang akan mendaki gunung dan melewati beberapa ruas jalan yang tidak mulus.
Aku meminta Kak Zainal pulang saja.
"Hati-hati!" Kak Zainal menepuk bahuku.
Betapa gembiranya hati kami bertemu kembali. Bagiku, inilah perjalanan paling menyenangkan selama beberapa tahun terakhir. Berjumpa dan bernostalgia dengan teman seperjuangan di Madrasah Insan Cendikia dalam usia yang sudah dewasa.
Dua kilo meter sebelum tiba di lokasi sekolah, adalah hal yang paling aku hafal. Ada beberapa penjual jagung rebus dan nasi bakar yang sampai hari ini masih berjualan. Sekilas melihat penjualnya, rasanya masih orang yang sama saat masih sekolah.
Dahulu, jika tiba giliranku dan beberapa teman lainnya untuk pesiar, kami selalu membeli sekantong atau dua kantong jagung rebus lalu dibawa ke sekolah. Kemudian jagung itu dimakan ramai-ramai di teras kelas. Atau kami bawa di depan masjid, duduk di pasir beralas koran. Ah, kenangan yang tidak pernah hilang dalam ingatan.
Mobil sudah memasuki jalanan yang berkelok-kelok. Pada kiri dan kanan jalanan masih jarang rumah penduduk. Yang banyak itu adalah pohon rambutan dan pohon lainnya yang berjejer di sepanjang jalan. Sejak dahulu sampai sekarang buahnya masih tetap lebat. Pohon-pohon ini seakan menutupi pandangan untuk melihat hamparan sawah yang telah menguning di seberang.
Beberapa rumah panggung yang berdiri jauh di bawah lembah. Atau malah sebaliknya, melihat rumah penduduk dengan cara mendongak, yang dibangun pada tebing yang tidak terlalu tinggi.
Lili mengurangi laju kendaraannya. Aspal sudah jauh lebih baik, membuat Lili tidak kesulitan lagi membawa mobil dalam keadaan menanjak. Dokter yang baru saja mengambil spesial kandungan ini memang sejak sekolah ingin sekali pintar menyetir mobil.
Aku menghela napas panjang seraya tersenyum lepas. Musim panas seperti ini masih bisa menyuguhkan kesejukan dan kenyamanan. Itu ciri khas desa ini, Bellapunranga, dikelilingi gunung, bukit dan lembah subur. Banyak pepohonan yang tua dan rimbun yang masih menghijau, masih menyimpan banyak cadangan air. Angin terasa sangat sejuk yang bertiup dari gunung. Tetapi, masih ada sebagian semak belukar yang tidak tahan panas, tampak kering dan meranggas.
"Tuh! Sekolah tinggal seratus meter lagi," ucap Arumi sambil menunjuk ke arah depan. Di sana, di pundak gunung, atap sekolah yang berwarna hijau sudah jelas sekali terlihat.
Mobil segera menanjak lebih tinggi mengikuti alur aspal yang hitam. Efek dari teriknya sinar matahari, aspal terlihat mengeluarkan uap. Duilah fatamorgana!
Semakin dekat, semakin terlihat seluruh gedung sekolah yang berada di antara beberapa pegunungan. Jika menoleh ke belakang untuk melihat jalanan, mata akan melihat ke bawah. Bahkan, tempat kami sekarang ini jauh lebih tinggi dari menara masjid yang kami lewati tadi.
"Lihat! Itu gedung aula yang terakhir kita pakai untuk acara pelepasan, kan?" Aku menunjuk ke arah kanan setelah beberapa saat berdiri di samping mobil. Gedung aula itu terletak di belakang kantor dan ruang guru-guru.
Beberapa jenak kami terdiam. Mengenang semua yang pernah kami rasakan sebagai siswa dan siswi angkatan pertama.
"Eh, itu ruang kelas MIA 1. Kelas di sampingnya itu yang dipakai tidur, kan?" Kami semua terbahak-bahak.
"Airnya bagaimana ya? Sudah lancar atau masih seperti dahulu?"
"Ah, pasti sudah lancar, Ibu Dokter! Masa iya, airnya belum lancar juga?" Aku mengambil sekeping snack dari tangan Arumi.
"Titik nol bagaimana ya, jembatan Anelon?" Arumi berkedip-kedip matanya. Kami tidak dapat menahan tawa.
Sekolah itu sudah jauh lebih bagus, berdiri kokoh di antara pegunungan yang hijau dan kabut yang sesekali menambah indah pemandangan. Tanah di depan pintu gerbang di depan gedung sudah rata, begitu pula tangganya sudah permanen.
Kami kembali duduk di dalam mobil. Mengunyah jagung rebus yang masih hangat, dicocol gerusan lombok dan garam.
"Eh, apa ada berita dari Anum?" Satu-satunya anggota Pinggel yang belum hadir saat ini.