Hujan turun sejak subuh. Dingin merayap ke dalam celah dinding kayu rumah-rumah di pinggiran kampung, menelusup ke kulit seperti peringatan bahwa sesuatu yang berat akan terjadi. Di sebuah rumah sederhana yang dikelilingi pohon pisang dan ilalang tinggi, seorang bayi laki-laki tergolek di dalam selimut lusuh di atas kursi bambu. Tangisnya sudah berhenti beberapa menit yang lalu, bukan karena kenyang, bukan karena nyaman—tapi karena kelelahan.
Ia belum diberi nama.
Ibunya, seorang wanita muda berambut panjang acak-acakan dan mata bengkak karena tangis, berdiri mematung di bawah hujan, memandangi bayi itu tanpa menyentuhnya. Tangannya gemetar, mulutnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Di balik tubuh yang kurus itu, luka yang lebih dalam dari hujan sedang membusuk pelan-pelan.
"Mak... jaga dia ya..." bisiknya pelan, nyaris seperti suara angin. Lalu tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari pekarangan rumah tua itu, membiarkan bayi mungil itu tertinggal di sana—bersama segalanya yang ia tinggalkan: kesalahan, cinta yang kandas, dan seorang anak yang tak pernah diminta untuk lahir dari pertengkaran.
---
Sang pemilik rumah keluar dari rumah itu yang seorang nenek yang bernama Mbah Sri. Usianya hampir enam puluh, wajahnya penuh keriput, dan tubuhnya sudah mulai membungkuk karena rematik. Tapi ketika ia melihat ada bayi yang tergeletak di kursi bambu, ia menahan napas sejenak.
Ia tidak marah. Tidak juga menangis. Ia hanya mengangkat bayi itu perlahan, memeluknya ke dada, dan menggumamkan kalimat lirih,
"Kamu gak salah, Le... kamu gak salah..."
---
Tahun-tahun berlalu seperti embun yang menguap diam-diam. Nama anak itu akhirnya ditentukan oleh Mbah Sri: Danu, artinya air yang tenang. Tapi hidup Danu jauh dari tenang.
Mereka tinggal di rumah tua peninggalan suaminya yang sudah lama meninggal. Atapnya sering bocor, dindingnya mulai lapuk, tapi rumah itu menyimpan satu hal yang selalu bertahan: kehangatan dari cinta yang tidak pernah diucapkan.
Mbah Sri bukan tipe nenek yang suka memeluk atau mengelus kepala. Tapi ia selalu memastikan nasi di piring Danu hangat, baju-bajunya bersih, dan lampu minyak tak pernah padam di malam hari. Ia menanam bayam di belakang rumah, menjual gorengan di pasar setiap pagi, dan sesekali membuatkan Danu mainan dari daun kelapa.
Danu tumbuh jadi anak yang pendiam. Matanya selalu mengamati, bibirnya jarang bicara. Anak-anak lain mengoloknya di sekolah, menyebutnya “anak buangan” atau “anak tanpa ayah.” Tapi Danu tak pernah membalas. Ia hanya pulang ke rumah, duduk di dekat tungku, dan membantu Mbah Sri meniup api.
---
Suatu hari, saat usianya baru enam tahun, Danu bertanya untuk pertama kalinya,
“Mbah... ibuku siapa?”
Mbah Sri terdiam. Tangan tuanya yang sedang mengupas singkong berhenti. Lalu, tanpa menatap Danu, ia menjawab dengan suara berat,
“Ibumu perempuan kuat. Tapi kadang orang kuat pun bisa kalah, Nak...”
Danu tidak mengerti maksudnya. Tapi ia tahu dari nada itu, tak ada jawaban lebih jauh yang bisa ia harapkan.
Sejak hari itu, ia berhenti bertanya.
---
Tahun berganti. Danu masuk SD dengan sandal jepit dan baju seragam yang sudah agak sempit. Ia tak pernah minta apa-apa. Saat teman-temannya membawa bekal roti atau susu kotak, ia hanya membawa nasi dingin dan tempe goreng, dibungkus daun pisang. Tapi ia selalu mengucapkan terima kasih pada Mbah Sri, bahkan saat bekalnya hanya nasi garam.
Suatu hari, guru kelasnya, Bu Ratna, memanggilnya setelah jam pelajaran selesai.
“Danu, boleh Ibu tanya sesuatu?”