Matahari belum sepenuhnya terbit saat Danu membuka matanya. Suara ayam berkokok di kejauhan dan aroma embun pagi menyeruak masuk lewat jendela bambu. Sejak kepergian Mbah Sri, rumah itu terasa jauh lebih sunyi, meski semua benda masih berada di tempatnya—gelas email favorit neneknya, sandal butut di pojok dapur, dan radio tua yang kini tak lagi menyala.
Danu bangkit dari tikar tipis yang jadi alas tidurnya. Ia menyikat gigi dengan air yang ia tampung dari hujan semalam, lalu mencuci muka dengan cepat. Seragam sekolahnya—putih dan merah—masih seragam yang sama sejak semester lalu. Warnanya mulai pudar, kerahnya sedikit robek, dan bagian lutut celana sudah ditambal berkali-kali. Tapi ia tetap mengenakannya dengan rapi.
Di meja, hanya ada setengah potong roti tawar sisa semalam dan segelas air putih. Ia memakannya perlahan, seolah mencoba mengisi bukan hanya perutnya, tapi juga rasa sepi yang sejak beberapa waktu lalu tinggal menetap di hatinya.
---
Setelah merapikan rumah seadanya, Danu mengunci pintu dan menaruh kunci kecil itu di dalam kaleng bekas yang ia sembunyikan di bawah pot bunga. Ia berjalan kaki ke sekolah sejauh tiga kilometer. Jalannya berlumpur dan penuh genangan karena hujan semalam, tapi Danu sudah terbiasa.
Sesampainya di sekolah, beberapa anak langsung menertawakannya seperti biasa.
"Eh, si anak yatim! Seragamnya robek tuh!"
"Gak malu ya sekolah sendirian, gak punya orang tua!"
Danu hanya diam. Ia menunduk dan masuk ke kelas. Tak ada teman dekat, tak ada tempat curhat. Tapi ada satu hal yang membuatnya tetap datang ke sekolah setiap hari: harapan. Ia percaya, kalau ia bertahan, suatu hari semuanya akan berubah.
---
Bu Ratna, wali kelasnya, memperhatikan Danu lebih dari biasanya. Ia tahu anak itu berbeda. Ia tahu beban yang Danu pikul tidak seharusnya ditanggung oleh anak seusianya. Tapi ia juga tahu, Danu adalah anak yang kuat—dan terkadang, anak seperti itu hanya butuh sedikit kepercayaan.
Setelah pelajaran selesai, Bu Ratna memanggilnya.
“Danu, sini sebentar.”
“Iya, Bu?”