Cahaya dari setitik harapan

Rian feb rino
Chapter #3

Di Antara Roti Kering dan Harapan

Pagi masih gelap saat alarm murah di pojok tikar Danu berdenting pelan. Ia bangkit perlahan, menggosok mata, lalu duduk termenung beberapa detik. Hawa dingin menusuk kulit, tapi Danu tahu tak bisa berlama-lama. Ada roti kering yang harus dijual, dan jarak ke sekolah masih jauh seperti biasa.


Ia menuju dapur sempit yang hanya berisi kompor minyak dan lemari kayu reyot. Di dalam plastik hitam tergantung, tersisa dua puluh potong roti kering buatan Bu Sumi yang dititipkan padanya setiap pagi.


Roti itu dijajakan dari rumah ke rumah, warung ke warung, dengan harga seribu rupiah per potong. Untuk setiap lima potong yang terjual, Danu dapat komisi seribu. Jumlah yang kecil, tapi cukup untuk membeli beras setengah liter atau sabun cuci.


Danu menggantung plastik roti di setang sepedanya. Sepeda tua itu peninggalan tetangga sebelah yang sudah pindah kota—ban depannya sering bocor, tapi Danu selalu membawa pompa kecil di tasnya.



---


“Roti kering... seribu satu!” teriaknya lirih di depan warung pertama.


“Roti kamu keras kayak batu, Nu,” kata ibu warung sambil tertawa.


Danu ikut tersenyum. “Biar keras asal kenyang, Bu.”


Setiap kali menjajakan dagangan, Danu melatih kesabarannya. Kadang ada yang beli, kadang hanya tatapan iba. Tapi yang paling membuat hatinya perih adalah tatapan kasihan yang berubah jadi pengusiran halus:


“Danu, sini... ambil ini aja,” kata seorang ibu muda, memberinya sekeping uang logam. “Gak usah jualan terus. Kamu sekolah aja yang bener.”


Danu hanya bisa menunduk. Ia memang ingin sekolah sungguh-sungguh. Tapi dunia tak memberi pilihan semewah itu. Ia butuh uang untuk tetap bertahan hidup.



Lihat selengkapnya