Sore itu, langit di atas taman kota berwarna oranye keemasan, sebuah palet warna yang menenangkan. Matahari baru hendak turun menuju peraduannya dengan perlahan seperti malu-malu sementara angin sepoi-sepoi membelai dedaunan pohon yang menjulang tinggi, menciptakan simfoni alami yang menenangkan telinga. Burung-burung berkicau, berlomba-lomba mengisi kekosongan udara dengan suara merdu mereka, seolah tak mau kalah merdu dengan simfoni dedaunan yang menyejukkan hati. Taman itu sendiri penuh dengan kehidupan; keluarga-keluarga berkumpul di sekitar danau kecil, anak-anak berlarian di sekitar air mancur, dan pasangan-pasangan duduk di bangku taman, berbagi momen indah di bawah sinar matahari yang hangat.
Adrian berjalan santai di jalan setapak yang berliku-liku di antara pepohonan. Baru kali ini dia menyadari betapa menyenangkannya suasana taman yang berada tak jauh dari kantornya itu, meskipun dia bisa melihat taman itu dari jendela ruang kerjanya namun baru hari itu dia terdorong untuk mencoba menikmati suasana tempat itu setelah lepas dari deadline atau tenggat waktu yang menyesakkan dan turun berjalan-jalan di taman itu.
Maklum saja, sebagai seorang jurnalis, hari-harinya biasa dipenuhi tekanan tenggat waktu, dan tiga berita soal drama-drama politik yang terjadi belakang ini apalagi jelang masa Pilpres yang penuh riuh turbulensi serta manuver. Tetapi sore ini dia memutuskan untuk meluangkan waktu untuk dirinya sendiri setelah mengirim naskah-naskah berita yang jadi tugasnya ke redaktur. Seperti kebiasaannya, meskipun waktu ini adalah saat untuk menikmati waktu kosong namun kamera kecil tetap tergantung di lehernya, siap menangkap momen-momen menarik yang mungkin ditemuinya.
Ketika masih menjadi wartawan junior, seniornya pernah berkata jurnalis dengan kameranya itu ibarat tentara dengan pistolnya, mereka tidak akan terpisahkan kemana pun dan dimanapun mereka berada, wartawan dan kameranya harus bekerja atau pun tidur bersama-sama layaknya suami-istri, jadi itu sebabnya Adrian selalu merasa ada yang kurang bila keluar tanpa benda yang menggantung di lehernya itu.
Pandangannya terhenti pada seorang pelukis jalanan yang dengan tekun menggoreskan kuasnya di atas kanvas, mencoba menangkap keindahan taman yang sama di mana Adrian berdiri, dengan mengindahkan orang-orang yang ada di sekellilingnya. Merasa itu sebagai suatu yang unik Adrian mengarahkan kamera dan mengambil gambar pelukis tersebut, kemudian memandangi hasil jepretannya dengan puas karena dia merasa layaknya si pelukis yang juga mengambil suasana nuansa taman hanya dengan kecepatan yang lebih sepersekian detik, itulah keajaiban artis dengan teknologi.
Si pelukis rupanya menyadari dirinya tengah diambil gambarnya oleh kamera menoleh ke arah Adrian dan melambaikan tangan. Adrian balas melambaikan tangan, meskipun tidak kenal dengan lelaki itu namun keramahan yang demikian tidak mungkin diindahkan. Adrian tersenyum, merasa tenang untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Tak disadarinya bahwa saat itu ada bahaya tengah mengintai.
Di kejauhan, di tepi taman yang lain, seorang pria berdiri dengan gelisah, tangannya merogoh saku jaket tebalnya. Pria itu tampak seperti bagian dari kerumunan, tetapi pandangannya terpaku pada satu titik, dan wajahnya menunjukkan ekspresi berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Tak ada yang memperhatikannya, kecuali Adrian yang, entah mengapa, tiba-tiba merasa tertarik untuk memperhatikan pria itu lebih dekat.
Tindak-tanduk lelaki itu membangkitkan insting kecurigaan jurnalisnya, Adrian bertanya-tanya dalam dirinya, "Apa yang pria itu lakukan? Ada sesuatu yang aneh...apa yang disembunyikannya di balik kantung jaketnya?"
Adrian melangkah mendekat, mengambil beberapa foto pria itu dari kejauhan. Dalam pikirannya, dia menduga pria itu mungkin seorang penjahat kecil atau seseorang yang sedang merencanakan sesuatu yang tidak baik. Dia menoleh ke kanan-kiri untuk mencari-cari kemungkinan orang yang sedang diincar lelaki misterius di tepi taman tersebut namun nampaknya pandangan orang itu tidak terfokus selain kepadanya.